Abstrak
Desentralisasi fiskal adalah salah
satu bentuk reformasi kebijakan anggaran.
Melalui desentralisasi fiskal diharapkan pemerintah daerah dapat melihat
kebutuhan daerah secara tepat dan
menggunakan segala bentuk inovasi dalam mencapai efektifitas dan efisiensi
anggaran baik dalam sektor penerimaan maupun pengeluaran. Sistem penganggaran yang selama ini
diterapkan di Indonesia yang bersifat kaku, hirarkis dan tradisional dirasa
sudah tidak cocok lagi dengan perkembangan di Indonesia khususnya setelah
diterapkannya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.
Dengan
dikeluarkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang memuat
berbagai perubahan mendasar dalam pendekatan penganggaran maka jelaslah bahwa
pemerintah pusat telah berusaha untuk berbagi kewenangannya kepada pemerintah
daerah. Perubahan-perubahan itu didorong oleh berbagai faktor termasuk
diantaranya perubahan yang begitu cepat di bidang politik, desentralisasi, dan
berbagai tantangan pembangunan yang dihadapi pemerintah. Berbagai perubahan ini
membutuhkan dukungan sistem penganggaran yang lebih responsive, yang dapat
memfasilitasi upaya memenuhi tuntutan masyarakat atas peningkatan kinerja
pemerintah dalam bidang pembangunan, kualitas layanan dan efisiensi pemanfaatan
sumber daya.
Melihat
kondisi di pemerintahan daerah maupun pusat serta dengan didukung oleh
aturan-aturan yanjg berlaku maka sudah seharusnya sistem penganggaran di
Indonesia yang masih bersifat tradisional diganti dengan sistem penganggaran
yang mampu merespon perubahan-perubahan tersebut. Sebagai gantinya adalah
Anggaran Negara Berdasarkan Prestasi Kerja atau istilah yang lebih sering
digunakan adalah Anggaran Berbasis Kinerja. Proses penyusunan dan sasaran yang
ingin dicapai dari sistem anggaran berbasis kinerja menggambarkan adanya
peluang bagi daerah untuk mengembangkan visi dan misi serta mewujudkan
keinginan dan harapan masyarakat sesuai dengan potensi yang dimiliki daerah yang
bersangkutan.
Keywords: Kebijakan
Fiskal, Desentralisasi Fiskal, Anggaran Berbasis Kinerja.
Pendahuluan
Krisis
Global yang terjadi pada tahun 1999 memberikan efek domino pada perekonomian
Indonesia. Krisis menyebAnggaran Berbasis Kinerjaan ketidakstabilan
perekonomian di Indonesia. Krisis tersebut terus berlanjut karena tingginya
tingkat premi resiko dalam berinvestasi, terkendalannya program pemerintah
dalam melakukan pemulihan ekonomi dan masih belum jelasnya prospek keberhasilan
pemerintah sehingga perlu konsilidasi APBN dalam tahap perbaikan dan pemulihan.[1]
Salah satu upaya pemulihan tersebut dapat dilakukan melalui kebijakan fiskal.
Pengeluaran
dan pendapatan negara akan mempengaruhi berbagai sisi kehidupan masyarakat baik
yang berkaitan dengan jumlah uang yang beredar, kesempatan memeroleh pendapatan
dan menumpuk kekayaan maupun iklim untuk berinvestasi. Pengeluaran negara akan
berdampak pada peningkatan pendapatan nasional(expansionary) sedangkan penerimaan negara akan mengurangi
pendapatan nasional(contractionary). Mengurangi
atau menambah pengeluaran dan memperkecil atau memperbesar pendapatan dapat
digunakan pemerintah sebagai alat untuk menjaga stabilitas ekonomi. Pola ini
disebut sebagai fiscal policy(Kebijakan Fiskal)
Kebijakan
fiskal adalah kebijakan yang dikeluarkan untuk memulihkan kondisi ekonomi
dengan cara mengeluarkan kebijakan seputar pajak, pinjaman , pengeluaran dan
investasi. Fungsi utama kebijakan fiskal yaitu distribusi , alokasi dan
stabilisasi. Fungsi Distribusi adalah pembagian pendapatan untuk menjamin
pemerataan keadilan . adalah peranan kebijakkan fiskal dalam rangka pembagian
kembali pendapatan. Berdasarkan mekanisme harga, pembagian pendapatan didasarkan pada
pemilikan sumberdaya atau fakor- fakor produksi. Pemilik sumberdaya tanah akan
memperoleh sewa tanah, pemilik sumberdaya modal akan memperoleh bunga, pemilik
tenaga kerja akan memperoleh upah , dan para wirausaha akan memperoleh laba,
dengan adanya mekanisme seperti itu tentu saja ada kelompok anggota masyarakat
yang karena kondisi asalnya hanya akan memiliki sebagian atau bahkan tidak
memiliki faktor-faktor produksi sama sekali. Hal yang demikian menimbulkan
suatu kesenjangan ditengah-tengah masyarakat kita.Oleh karena distribusi
pendapatan mengandung unsur publik maka pemerintahlah yang harus tampil untuk
mengatasi ketidakmerataan pembagian pendapatan. Misi pemerataan pendapatan yang
diemban pemerintah tersebut dilaksanakan melalui sisi penerimaan, terutama
pajak yang dapat menjadi instrumen bagi pemerintah untuk lebih bisa mengadilkan
pembagian pendapatan, yaitu melalui pajak penghasilan dengan struktur tarif
pogresif. Tarif progresif ini merupakan suatu tariff pajak dimana makin besar
pendapatan maka tariff pajak rata-rata ( average tax rate ) maupun tarif pajak marginal ( marginal tax rate ) nya
meningkat. Pengenan tar if pajak progresif ini memungkinkan jarak antara
pendapatan kelompok berpenghasilan rendah dengan yang berpenghasilan tinggi
menjadi lebih sempit. Sisis pengeluaran dari anggaran juga dapat menjadi
instrumen dalam pembagian kembali pendapatan, yaitu melalui program pembayaran
transfer atau subsidi.
Fungsi
alokasi yaitu mengatur alokasi faktor-faktor produksi dalam menghasilkan
barang publik dan privat. Seperti
diketahui bahwa masyarakat membutuhkan baik barang private dan barang publik.
Selain dalam rangka penyediaan barang publik, sumberdaya nasional juga harus
dialokasikan ke sektor publik karena perlunya peranan pemerintah didalam
mengatasi kegagalan meknisme pasar. Pengertian fungsi alokasi itu sendiri
adalah mengalokasikan sebagian sumberdaya dalam rangka menghasilkan barang dan
jasa guna memenuhi kebutuhan konsumen yang dalam hal ini adalah masyarakat
indonesia. Dengan adanya konsep Desentralisasi Fiskal
maka fungsi alokasi ini seharusnya bisa memberikan ruang yang cukup luas dalam
berbagai macam alokasi-alokasi terutama pada berbagaimacam sumberdaya serta
pajak kepada daerah, sehingga proses distribusinya berjalan secara adil dan
merata yang nantinya dalam jangka panjang akan mengakibatkan keadaan yang
merata sesuai dengan apa yang dicita-citakan bangsa ini, ketidak merataan yang
disebAnggaran Berbasis Kinerjaan karena ketimpangan kepemilikan sumberdaya
tidak akan dirugikan karena dalam desentralisasi ini keikutsertaan pemerintah
tidak 100% hilang namun masih ada sedikit campur tangan dari pemerintah dalam
mengatasi hal ini, sehingga daerah yang banyak terdapat sumberdaya dan pajaknya
tidak merasa dirugikan karena alokasi serta distribusi penghasilan yang tidak
adil, lebih banyak tersentralisasi daripada terdesentralisasi, dan daerah yang
sedikit memiliki sumberdaya tidak akan merasa kekuarangan karena distribusi
dalam desentralisasi fiskal yang sesuai.
Sedangkan
fungsi stabilitas yaitu untuk menjamin tingkat pertumbuhan, mempertahankan
stabilisasi harga, kesempatan kerja dan kurs. Pada negara maju kebijakan fiskal
bertujuan untuk stabilitas laju pertumbuhan sedangkan pada negara berkembang
lebih kepada pembentukan modal.
Ketika perekonomian lesu maka pemerintah dapat
menanggulanginya melalui kebijakan fiskal. Mekanisme tersebut dilaksanakan
melalui kebijakan menaikan pengeluaran pemerintah dan mengurangi pajak.
Peningkatan pengeluaran pemerintah dapat berupa peningkatan bantuan maupun
pengeluaran lainnya yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam
kebijakan fiskal terkandung anggapan bahwa rumahtangga negara(pemerintah) tidak
dapat disamakan dengan individu dan pengaruh tindakannya masing-masing terhadap
keseluruhan masyarakat.[2]
Individu ketika penghasilannya menurun tindakan yang diambil biasanya adalah
mengurangi pengeluaran, sedangkan pemerintah ketika penerimaan menurun maka
kebijakan yang diambil tidak harus mengurangi pengeluaran karena tindakan
mgurangi pengeluaran dapat berdampak pada berkurangnya pendapatan masyarakat
sebagi pembayar pajak. Hal tersebut justru akan menyebAnggaran Berbasis Kinerjaan
penerimaan negara makin berkurang karena
kecilnya jumlah pajak yang diterima dari masyarakat.
Selain
meningkatkan pengeluaran pemerintah maka dapat dilakukan juga penurunan
tarif pajak. Penurunan tarif pajak akan
berimplikasi langsung pada kenaikan pendapatan real masyarakat. Sehingga
peningkatan pengeluaran pemerintah maupun penurunan pajak akan berdampak kepada
meningkatnya permintaan barang dan jasa. Permintaan barang dan jasa yan
meningkat akan menyebAnggaran Berbasis Kinerjaan produksi meningkat. Pada tahap
ini berlaku teori “supply and demand”.
Hal tersebut berdampak pada peningkatan ekonomi yang akan berdampak pula pada
peningkatan ekonomi masyarakat. Sebab semakin meningkat kegiatan ekonomi
berarti akan meningkat pula kesejahteraan masyarakat. Sebab kesejahteraan
masyarakat berada dapat dicapai dengan kegiatan ekonomi yang berimplikasi pada
pendapatan masyarakat.
Pelaksanaan
desentralisasi fiskal yang digencar-gencarkan oleh pemerintah mengharuskan
pemerintah daerah memiliki kesiapan dan inovasi dalam mengeluarkan
kebijakan-kebijakan yang terkait. Pemerintah daerah memiliki hak dan wewenang
untuk mengatur pendapatan dan pengeluarannya tetapi harus berada dalam koridor
aturan nasional yang berlaku. Pemerintah pusat akhir-akhir ini telah menerapkan
sebuah sistem yang mengatur agar efektifitas dan efidiensi anggaran tercapai
melalui sebuah sistem yang disebut anggaran berbasis kinerja. Proses penyusunan
dan sasaran yang ingin dicapai dari sistem anggaran berbasis kinerja menggambarkan
adanya peluang bagi daerah untuk mengembangkan visi dan misi serta mewujudkan
keinginan dan harapan masyarakat sesuai dengan potensi yang dimiliki daerah yang
bersangkutan.[3]
Hal tersebut menjadi bentuk desentralisasi fiskal.
Sebelum
berlakunya sistem Anggaran Berbasis Kinerja, metode penganggaran yang digunakan
adalah metoda tradisional atau item line budget. Cara penyusunan anggaran ini
tidak didasarkan pada analisa rangkaian kegiatan yang harus dihubungkan dengan
tujuan yang telah ditentukan, namun lebih dititikberatkan pada kebutuhan untuk
belanja/pengeluaran dan sistem pertanggung jawabannya tidak diperiksa dan
diteliti apakah dana tersebut telah digunakan secara efektif dan efisien atau
tidak. Tolok ukur keberhasilan hanya ditunjukkan dengan adanya keseimbangan
anggaran antara pendapatan dan belanja namun jika anggaran tersebut defisit
atau surplus berarti pelaksanaan anggaran tersebut gagal. Dalam perkembangannya,
muncullah sistematika anggaran kinerja yang diartikan sebagai suatu bentuk
anggaran yang sumber-sumbernya dihubungkan dengan hasil dari pelayanan.
Anggaran Berbasis Kinerja
Anggaran
berbasis kinerja adalah sistem yang
menekankan pada keterkaitan antara pendanaan dengan hasil-hasil yang dicapai.
Anggaran berbasis kinerja disusun berdasarkan UU No 17 tahun 2003 pasal 19 ayat
1. Dengan membangun suatu sistem penganggaran yang dapat memadukan perencanaan
kinerja dengan anggaran tahunan akan terlihat adanya keterkaitan antara dana
yang tersedia dengan hasil yang diharapakan.[4]
Anggaran
berbasis Kinerja:
1. Anggaran
disusun berdasarkan pertimbangan anggaran kerja dan unit cost setiap kegiatan.
2. Menitik
beratkan pada aspek manajemen stategis
dalam rangka efektifitas dan efisiensi
yang dihasilkan dari input tertentu.
3. Orientasi
tidak hanya output tetapi juga outcomes,
benefit dan dampak.
4. Tujuan
telah ditetapkan lebih dahulu.
Untuk mengukur efektifitas
kerja suatu organisasi perlu dilakukan
pengukuran atas pencapaian pelaksanaan kegiatan/program dan kebijakan yang
dilaksanakan. Indikator pengukuran
kinerja:
1. Pengukuran
kinerja berbasis Penilaian kemajuan organisasi
Dilakukan
melalui tujuan yang telah ditetapkan, visi , misi dan program serta kebijakan
organisasi. Penentuan visi, misi, tujuan, sasaran, dan target merupakan tahap
pertama yang harus ditetapkan suatu organisasi dan menjadi tujuan tertinggi
yang hendak dicapai sehingga setiap indikator kinerja harus dikaitkan dengan
komponen tersebut. Oleh karena itu, penentuan komponen-komponen tidak hanya
ditentukan oleh pemerintah tetapi juga mengikutsertakan masyarakat sehingga
dapat diperoleh informasi mengenai kebutuhan publik.
2. Pengukuran
kinerja berbasis anggaran.
Pengukuran dilakukan melalui
penilaian selisih antara anggaran dengan realisasinya. Teknik tersebut dikenal
dengan analisis selisih anggaran(analysis of budget variance). Jika selisih
terjadi menunjukkan aktual yang lebih kecil daripada jumlah pengeluaran yang
ditetapkan dalam anggaran (underspending) maka berarti kinerja sebuah satuan
kerja adalah baik. Jika dalam pelaksanaan anggaran mengalami perubahan maka
yang dijadikan tolak ukur adalah anggaran setelah mengalami perubahan(Mahsun
,2006). Contohnya adalah dalam menganalisa anggaran berbasis kinerja pada
sebuah dinas pendidikan. Maka aspek yang dilihat adalah indikator kinerja dan
indikator pencapaian organisasi.
Dengan pengertian Anggaran berbasis kinerja
tersebut maka setiap alokasi dana harus
dapat diukur dari input yang ditetapkan. Untuk menghasilkan penyelenggaraan
Anggaran Daerah yang efektif dan efisien, tahap persiapan/perencanaan anggaran
merupakan salah satu faktor penting dan menentukan dalam keseluruhan siklus
anggaran. Prinsip anggaran berbasis kinerja adalah pertama, transparansi yang
merupakan keterbukaan dalam proses perencanaan, penyusunan, pelaksanaan dan
pelaporan evaluasi anggaran, kedua, akuntabilitas yang merupakan pertanggungjawaban
pada masyarakat, dan ketiga, ekonomis, efektif dan efisien
yaitu pemilihan dan penggunaan sumber daya yang murah, penggunaan dana
masyarakat yang efisien dan dapat mencapai target / tujuan pelayanan publik.
Untuk
dapat menyusun Anggaran Berbasis Kinerja terlebih dahulu harus disusun
perencanaan strategik (Renstra). Penyusunan Renstra dilakukan secara obyektif
dan melibatkan seluruh komponen yang ada di dalam pemerintahan dan masyarakat.
Agar sistem dapat berjalan dengan baik perlu ditetapkan beberapa hal yang
sangat menentukan yaitu standar harga, tolok ukur kinerja dan Standar Pelayanan
Minimal yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundangundangan. Pengukuran
kinerja (tolok ukur) digunakan untuk menilai keberhasilan atau kegagalan
pelaksanaan kegiatan/program/kebijakan sesuai dengan sasaran dan tugas yang
telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan misi pemerintah daerah. Salah
satu aspek yang diukur dalam penilaian kinerja pemerintah daerah adalah aspek
keuangan berupa ANGGARAN BERBASIS KINERJA. Untuk melakukan suatu pengukuran
kinerja perlu ditetapkan indikator-indikator terlebih dahulu antara lain
indikator masukan (input) berupa dana, sumber daya manusia dan metode kerja.
Agar input dapat diinformasikan dengan akurat dalam suatu anggaran, maka perlu
dilakukan penilaian terhadap kewajarannya. Dalam menilai kewajaran input dengan
keluaran (output) yang dihasilkan, peran Analisa Standar Biaya (ASB) sangat
diperlukan. ASB adalah penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya yang
digunakan untuk melaksanakan suatu kegiatan.
Anggaran
yang disusun dengan pendekatan kinerja dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Suatu
sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (output) dari
perencanaan alokasi biaya (input) yang ditetapkan
2. Output
(keluaran) menunjukkan produk (barang atau jasa) yang dihasilkan dari program
atau kegiatan sesuai dengan masukan (input) yang digunakan
3. Input
(masukan) adalah besarnya sumber dana, sumber daya manusia, material, waktu,
dan teknologi yang digunakan untuk melaksanakan program atau kegiatan sesuai
dengan masukan (input) yang digunakan
4. Kinerja
ditunjukkan oleh hubungan antara input (masukan) dengan output (keluaran).
Dalam
makalah ini, penulis mencontohkan secara sederhana anggaran berbasis
kinerja pada dinas pendidikan. Indikator
kinerja berdasarkan PP no 6 tahun 2008 yaitu :
1. Angka Melek
huruf.
Adalah
proporsi penduduk berusia 15 tahun keatas.
2. Angka
Partisipasi Kasar
Perbandingan
jumlah siswa pada tingkat SD/SMP/SMA dibagi jumlah penduduk berusia 7-18 tahun.
3. Angka
Partisipasi Murni
Perbandingan
penduduk berusia 7-18 tahun yang terdaftar sekolah pada tingkat pendidikan
SD/SMP/SMA dibagi jumlah penduduk berusia 7-18 tahun.
4. Angka
Partisipasi Sekolah(dasar)
Jumlah murid
kelompok usia pendidikan dasar(7-12 dan 13-15 tahun) yang masih menempuh
pendidikan dasar per 1000 jumlah penduduk usia pendidikan dasar.
5. Angka
Partisipasi Sekolah(Menengah)
Jumlah murid
kelompok usia pendidikan dasar(16-18 tahun) yang masih menempuh pendidikan
dasar per 1000 jumlah penduduk usia pendidikan menengah.
6. Angka
Pendidikan yang ditamatkan
Yaitu
menyelesaikan pelajaran pada kelas atau tingkat terakhir sutu jenjang sekolah
di sekolah negeri atau swasta dengan mendapatkan surat tanda tamat belajar.
7. Angka rata-rata
lama sekolah.
Adalah
rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk usia 15 tahun keatas untuk
menempuh semua jenis pendidikan formal yang pernah dijalani.
Sedangkan Aspek pencapapaian
organisasi dapat dilihat dari beberapa indikator, yaitu:
1. Realisasi
Belanja . Pencapaian yang dibandingkan dengan Anggaran yang disediakan. Ketika
pemerintah telah memiliki anggaran yang cukup namun dalam realisasinya tidak
mampu menyerap seluruh anggaran berarti ada 2 kemungkinan. Kemungkinan pertama
terjadi efisiensi anggaran atau justru ada beberapa program yang tidak
terlaksana.
2. Tren
penggunaan Anggaran. Penggunaan anggaran yang baik adalah dengan memperhatikan
kondisi organisasi dan lingkungan.
Jadi, antara anggaran yang
dialokasikan harus sesuai dengan kinerja yang dihasilkan. Pemerintah harus
mampu mengelola agar tujuan dari anggaran tersebut dapat terealisasi dan
memberikan dampak/efek tehadap target group.
Tantangan dan Peluang Implementasi
Anggaran Berbasis Kinerja.
Penerapan
sistem Anggaran berbasis Kinerja merupakan sebuah peluang bagi pemerintah namun
disisi lain dapat menjadi tantangan. Hal itu dikarenakan dengan penerapan
sistem anggaran berbasis kinerja berarti pemerintah daerah dapat menyusun arah,
kebijakan dan program yang sesuai dengan kondisi masyarakat dan kondisi
lingkungan daerah tersebut. Namun disisi
lain , pemerintah harus memiliki perhatian lebih khususnya dalam penampungan
aspirasi masyarakat, skala prioritas yang harus tepat dan fungsi pengawasan yang
lebih ketat.
Salah
satu hal yang harus dipertimbangkan dalam penetapan belanja daerah adalah
Analisa Standar Biaya (ASB). Alokasi belanja ke dalam aktivitas untuk
menghasilkan output seringkali tanpa disertai alasan dan justifikasi yang kuat.
ASB mendorong penetapan biaya dan pengalokasian anggaran kepada setiap
aktivitas unit kerja menjadi lebih logis dan mendorong dicapainya efisiensi
secara terus-menerus karena adanya pembandingan (benchmarking) biaya per unit
setiap output dan diperoleh praktek-praktek terbaik (best practices) dalam
desain aktivitas. Dalam rangka penyusunan analisis biaya diperlukan
prosedur-prosedur yang dapat menjawab pertanyaan berikut :
1. Berapa biaya yang harus dibebankan pada
suatu pelayanan sehingga dapat menutupi semua biaya yang dikeluarkan untuk
menyediakan pelayanan tersebut?
2. Apakah lebih efektif jika kita
mengontrakkan pelayanan kepada pihak luar daripada melaksanakannya sendiri?
3. Jika kita meningkatkan/menurunkan volume
pelayanan, apa pengaruhnya pada biaya yang akan kita keluarkan? Biaya apa yang
akan berubah dan berapa banyak perubahannya?
4. Biaya pelayanan apa yang harus dibayar
tahun ini bila dibanding dengan tahun selanjutnya?
Perhitungan
ASB tidak dapat distandarisasi antara propinsi/kabupaten/kota dengan
propinsi/kabupaten/kota lainnya karena standarisasi harga antara suatu tempat
dengan tempat lainnya dapat berbeda. Misalnya harga obat di Jawa Barat dengan
Papua sangat berbeda. Demikian juga, tarif perjalanan dinas, honor-honor dll
dapat berbeda antara Jawa Barat dan Papua. Secara ringkas dari uraian tersebut
di atas, pada dasarnya menjelaskan bahwa anggaran berbasis kinerja disusun
harus ada keterkaitan tahapan secara menyeluruh. Oleh karena tidak dapat
distandarisasikan tersebut maka hal itu bisa menjadi tantangan bagi pemerintah
daerah sebab jika tidak dapat perhatian khusus maka hal ini bisa menjadi sumber
terjadinya KKN.
Manfaat
ASB diantaranya adalah 1. Dapat
menentukan kewajaran biaya untuk melaksanakan suatu kegiatan sesuai dengan
Tupoksinya 2. Meminimalasi terjadinya pengeluaran yang kurang jelas yang
menyebabkan inefisiensi anggaran 3. Menghindari tumpang tindih (overlapping)
antara pengeluaran rutin dan pembangunan. 4. Penentuan anggaran berdasarkan
tolok ukur kinerja yang jelas. 5. Unit kerja mendapat keleluasaan yang lebih
besar untuk menentukan anggarannya sendiri.
Selain tantangan dalam analisa standar
biaya , pemerintah daerah juga dihadapi dengan tantangan lainnya yaitu dalam proses
untuk memperoleh informasi mengenai aspirasi dan kebutuhan masyarakat suatu
daerah sebagai bahan masukan dalam proses penyusunan anggaran daerah guna
menjamin agar arah dan kebijakan umum APBD sesuai dengan aspirasi murni
(kebutuhan dan keinginan riil) masyarakat dan bukan aspirasi politik. Hal itu dilakukan
dengan menggali informasi, mendeskripsikan, dan memaparkan aspirasi yang berkembang
di masyarakat. Pemerintah daerah seharusnya mempu merubah tantangan tersebut
menjadi sebuah peluang untuk dapat memperoleh hasil yang maksimal dari sistem
anggaran berbasis kinerja tersebut.
Kesimpulan
Anggaran
berbasis kinerja merupakan anggaran yang penyusunannya menggunakan pendekatan
“bottom-up budgeting”. Anggaran merupakan komitmen antara pimpinan dengan pelaksana.
Dengan demikian, anggaran berbasis kinerja ini dapat memacu pelaksana untuk
beraktivitas secara optimal dan atau berperilaku sebagaimana yang diharapkan. Proses
perencanaan anggaran dalam sistem anggaran berbasis kinerja dilakukan dengan
dua pendekatan, yaitu penjaringan aspirasi masyarakat dan perencanaan strategis.
Sistem anggaran baru memberikan desentralisasi urusan anggaran daerah dan
menggunakan pendekatan manajemen yang terpadu. Sistem anggaran ini memungkinkan
semua unsur dalam sistem kemasyarakatan di daerah terlibat dalam menentukan
arah pembangunan sehingga pembangunan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan
riil masyarakat serta terintegrasi antarpihak terkait.
Sistem
anggaran berbasis kinerja dan otonomi daerah menuntut Pemda kreatif untuk
menggali dan memanfaatkan potensi daerah secara optimal untuk kemajuan daerah.
Perencanaan strategis juga memungkinkan Pemda menegakkan akuntabilitas
(pengukuran kinerja), pelaksanaan rencana, pemantauan pelaksanaan, dan
penyediaan umpan balik untuk masyarakat sehingga ada perubahan yang positif di
berbagai bidang secara terus-menerus.
Kesulitan
lain dalam pengukuran kinerja adalah kesulitan dalam memastikan hubungan antara
input dan output. Di pihak lain penentuan ukuran kinerja merupakan hal penting
sebagai alat motivator. Contoh, salah satu akuntabilitas kinerja instansi
pemerintah adalah akuntabilitas progam. Fokus kinerja akuntabilitas progam adalah
pada pencapaian hasil kegiatan instansi apakah sudah memberikan kepuasan/kenyamanan
kepada pelanggan (customer) dan stakeholders serta memberikan dampak positif
kepada kemajuan masyarakat. Alat ukur untuk kinerja ini sangat kompleks
sehingga dibutuhkan ketelitian pemerintah daerah dalam membuat dan
mengawasinya.
Daftar
Pustaka
Ahmeth.
2010 . Kebijakan Fiskal. Diunduh pada http://adie-wongindonesia.blogspot.com
/2010 /02/kebijakan-fiskal.html' tanggal 5 Juni 2010, jam 20.00 WIB.
Ajeng. 2007. Korupsi Sebuah Endemik Bangsa yang
besar ini. Diunduh pada
"http://ajeng-tita.blog.friendster.com/2006/11/untuk-dipikirkan-bersama/">
tanggal 5 Juni 2010, jam 20.00 WIB.
Basuki. 2007. “Pengelolaan Keuangan Daerah”.
Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Brata, Atep Adya dan Trihartanto dan Bambang.
2004. ”Kekuasaan Pengelolaan Keuangan
Negara/Daerah”. Jakarta: Alex Media Kompotindo.
Durachman. 2005.
Analisis Proses Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja Di Dinas Kesehatan
Provinsi Jambi. Tesis. Program
Pascasarjana Universitas Gajahmada.
Tidak Diterbitkan
Fatimah. 2009. Analisiss kebijakan Belanja dan
kinerja pelayanan dinas pendidikan dan kesehatan kota Payakumbuh. Tesis . Program Pasca Sarjana Unand. Tidak diterbitkan.
Subiyantoro, Heru dan Riphat Singgih. 2004. “Kebijakan fiskal. Pemikiran , konsep dan
implementasi.” Jakarta : Kompas Media. 2004.
Soedibyo, Bambang .2001. Stabilisasi dan harmonisasi
perekonomian Indonesia. Kompas, jumat 8 juni 2001 hal 4. Diunduh pada
“http://kompas.com/ Stabilisasi dan harmonisasi perekonomian Indonesia”
,tanggal 5 Juni 2010, jam 20.00 WIB
Yenida. 2007. Analisis pengaruh desentralisasi
fiskal terhadap belanja pelayanan daerah di Kabupaten/kota Propinsi Sumatera
Barat. Tesis. Program Pasca Sarjana
UNAND. Tidak diterbitkan.
Waluyo, Joko.
2007. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dan
Ketimpangan Pendapatan Antardaerah Di Indonesia. Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta. Tidak diterbitkan.
Ahmad, Afridian. 2008. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap
Outcomes Bidang Kesehatan: Studi Empiris di Kabupaten/Kota Propinsi Sumatera
Barat. Tesis. Jurusan Akuntansi
Politeknik Negeri Padang. Tidak diterbitkan.
Pemerintah Gorontalo. 2009. Anggaran Berbasis
Kinerja (Bagian II - Akhir). Diunduh pada "http://dppkad.gorontalokab. go.id/images/gorontalo.ico"
/> tanggal 5 Juni 2010, jam 20.00 WIB
[1] Subdiyanto, Heru dan Riphat, Singggit.
2004.” Kebijakan fiskal. Pemikiran , konsep dan implementasi.” Jakarta : Kompas Media. Hal:56
[2] Brata, Atep Adya dan Trihartanto dan Bambang. 2004. ”Kekuasaan Pengelolaan Keuangan
Negara/Daerah”. Jakarta: Alex Media Kompotindo. Hal : 19.
[3] Bambang Suprasto H. 2006. Buletin Studi Ekonomi .
“Peluang Dan Tantangan Implementasi Anggaran Berbasis
Kinerja.” Volume 11 Nomor 3 Tahun 2006.
[4] Tesis.
Fatimah. 2009. Analisiss kebijakan Belanja dan kinerja pelayanan dinas
pendidikan dan kesehatan kota Payakumbuh. Program Pasca Sarjana UNAND.
0 komentar:
Posting Komentar