Sejak tumbangnya rezim Orde Baru dan digantikan dengan gerakan
reformasi, istilah Good Governance begitu popular. Hampir di setiap
event atau peristiwa penting yang menyangkut masalah pemerintahan, istilah ini
tak pernah ketinggalan. Meskipun kata Good Governance sering disebut
pada berbagai event dan peristiwa oleh berbagai kalangan, pengertian Good
Governance bisa berlainan antara satu dengan yang lain. Ada sebagian
kalangan mengartikan Good Governance sebagai kinerja suatu lembaga,
misalnya kinerja pemerintahan suatu negara, perusahaan atau organisasial
masyarakat yang memenuhi prasyarat-prasyarat tertentu. Sebagian kalangan lain
ada yang mengartikan good governance sebagai penerjemahan konkret demokrasi
dengan meniscayakan adanya civic culture sebagai penopang
sustanaibilitas demokrasi itu sendiri.
Dalam proses demokratisasi good governance sering mengilhami para
aktivis untuk mewujudkan pemerintahan yang memberikan ruang partisipasi bagi
pihak diluar pemerintah, sehingga ada pembagian peran dan kekuasaan yang
seimbang antar negara, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar. Adanya pembagian
peran yang seimbang dan saling melengkapi antar ketiga unsur tersebut, bukan hanya
memungkinkan terciptanya check and balance, tetapi juga menghasilkan sinergi
antar ketiganya dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Prof.Bintoro Tjokroamidjojo, “Good Governance, (Paradigma Baru
Manajemen Pembangunan)”, Jurnal Manajemen Pembangunan No.30 Tahun IX, Mei 2000
memandang good governance sebagai suatu bentuk manajemen pembangunan, yang juga
disebut administrasi pembangunan, yang menempatkan peran pemerintah sentral
yang menjadi agent of change dari suatu masyarakat berkembang/developing di
dalam negara berkembang. Agent of change dan karena perubahan yang
dikehendakinya, menjadi planned change (perubahan yang berencana), maka disebut
juga agent of development. Agent of development diartikan pendorong proses
pembangunan dan perubahan masyarakat bangsa. Pemerintah mendorong melalui
kebijaksanaan-kebijaksanaan dan program-program, proyek-proyek, bahkan
industri-industri, dan peran perencanaan dan anggaran penting. Dengan
perencanaan dan anggaran juga menstimulusi investasi sector swasta.
Kebijaksanaan dan persetujuan penanaman modal di tangan pemerintah. Dalam good governance peran pemerintah tidak
lagi dominan, tetapi juga citizen, masyarakat dan terutama sektor usaha/ swasta
yang berperan dalam governance. Pemerintah bertindak sebagai regulator dan
pelaku pasar untuk menciptakan iklim yang kondusif dan melakukan investasi
prasarana yang mendukung dunia usaha. Usaha pembangunan dilakukan melalui
koordinasi/sinergi (keselarasan kerja) antara pemerintah-masyarakat-swasta).
Masyarakat dan dunia usaha mempunyai peran lebih dalam perubahan masyarakat.
Beberapa lembaga bilateral/multilateral memberikan rekomendasi mengenai
karakteristik dari istilah good governance, antara lain :
1.
United Kingdom Overseas Development Administration (UK/ODA), 1993
UK/ODA menjelaskan karakteristik good government, yaitu:
legitimasi, akuntabilitas, kompetensi, penghormatan terhadap hukum/ hak-hak
asasi manusia. Dalam pandangan UK/ODA, istilah good governance atau good
government tidak dibedakan. Keduanya dianggap sama-sama merujuk aspek-aspek
normatif pemerintahan yang digunakan dalam menyusun berbagai kriteria dari yang
bersifat politik hingga ekonomi. Kriteria tersebut digunakan dalam merumuskan
kebijaksanaan pemberian bantuan luar negeri, khususnya kepada negara-negara
berkembang.
2. United Nations Development Program
(UNDP)
UNDP merekomendasikan beberapa karakteristik governance,
yaitu: legitimasi politik, kerjasama dengan institusi masyarakat sipil,
kebebasan berasosiasi dan partisipasi, akuntabilitas birokratis dan keuangan
(finansial), manajemen sektor publik yang efisien, kebebasan informasi dan
ekspresi, sistem yudisial yang adil dan dapat dipercaya.Karakteristik yang
dibangun UNDP melalui anggapan dasar sebagai berikut : Gejala-gejala dari
kegagalan pemerintah terlihat sebagai keseluruhan yang sama, yaitu pelayanan
yang rendah, kapabilitas kebijakan yang rendah, manajemen keuangan yang
lemah,peraturan yang terlalu berbelit-belit dan sewenang-wenang, alokasi
sumber-sumber yang tidak tepat. Tetapi UNDP kurang menekankan pada asumsi
mengenai superioritas majemuk, multipartai, sistem orientasi pemilihan umum,
dan pemahaman bahwa perbedaan bentuk kewenangan politik dapat dikombinasikan
dengan prinsip efisiensi dan akuntabilitas dengan cara-cara yang berbeda.
Hal-hal tersebut juga berkaitan terhadap argumentasi mengenai nilai-nilai
kebudayaan yang relatif; sistem penyelenggaraan pemerintahan yang mungkin
bervariasi mengenai respon terhadap perbedaan kumpulan nilai-nilai ekonomi,
politik, dan hubungan sosial, atau dalam hal-hal seperti: partisipasi, individualitas,
perintah dan kewenangan.UNDP menganggap bahwa good governance dapat diukur dan
dibangun dari indikatorindikator yang komplek dan masing-masing menunjukkan
tujuannya.
3.
World Bank (Bank Dunia)
World Bank, “Development in Practice, Governance: The World
Bank Experience, World Bank Publication, Washington D.C, 1994 Bank Dunia
mengungkapkan sejumlah karakteristik good governance, yaitu: masyarakat sipil
yang kuat dan partisipatoris; terbuka; pembuatan kebijakan yang dapat
diprediksi; eksekutif yang bertanggung Jawab; birokrasi yang profesional; dan
aturan hukum. Bank Dunia
lebih suka menggunakan istilah good (public) governance. Dalam perspektif Bank
Dunia, governance adalah sifat dari kekuasaan yang dijalankan melalui manajemen
sumber ekonomi dan sosial negara yang digunakan untuk pembangunan.
4.
OECD’s Development Assistance Committee (DAC)
Good governance memiliki kriteria yang mencakup ruang
lingkup sebagai berikut:
a.)
Pembangunan partisipatoris
(participatory development);b.) Hak-hak azasi manusia (human rights);c.)
Demokratisasi (democratization).
Good Governance sebagai suatu gerakan adalah segala daya upaya untuk
mewujudkan suatu pemerintahan yang baik. Oleh karena itu gerakan good
governance harus memiliki agenda yang jelas tentang apa yang mesti dilakukan
agar tujuan utamanya dapat dicapai. Untuk kasus Indonesia, agenda good
governance harus disesuaikan dengan kondisi riil bangsa saat ini, yang
meliputi:
1.
Agenda Politik
Masalah politik seringkali
menjadi penghambat bagi terwujudnya good governance. Hal ini dapat terjadi
karena beberapa sebab, diantaranya adalah acuan konsep politik yang
tidak/kurang demokratis yang berimplikasi pada berbagai persoalan di lapangan.
Krisis politik yang melanda bangsa Indonesia dewasa ini tidak lepas dari
penataan sistim politik yang kurang demokratis. Oleh karena itu perlu dilakukan
pembaharuan politik yang menyangkut masalah-masalah penting seperti: a.
Amandemen UUD 1945 Sebagai sumber hukum dan acuan pokok penyelenggaraan
pemerintahan, amandemen UUD 1945 harus dilakukan untuk mendukung terwujudnya
good governance seperti pemilihan presiden langsung, memperjelas susunan dan
kedudukan MPR dan DPR, kemandirian lembaga peradilan, kemandirian kejaksaan
agung dan penambahan pasal-pasal tentang hak asasi manusia.
b. Perubahan Undang-Undang
Politik dan Undang-Undang Keormasan yang lebih menjamin partisipasi dan
mencerminkan keterwakilan rakyat.
c. Reformasi agraria dan
perburuhan
d. Mempercepat penghapusan
peran sosial politik TNI
e. Penegakan supremasi hukum
2. Agenda Ekonomi
Krisis ekonomi bisa melahirkan
berbagai masalah sosial yang bila tidak teratasi akan mengganggu kinerja
pemerintahan secara menyeluruh. Mengingat begitu banyak permasalahan ekonomi di
Indonesia, perlu dilakukan prioritas-priotitas kebijakan. Prioritas yang paling
mendesak untuk pemulihan ekonomi saat ini antara lain:
- Agenda Ekonomi Teknis.
Otonomi Daerah. Pemerintah dan rakyat
Indonesia telah membuat keputusan politik untuk menjalankan otonomi daerah yang
esensinya untuk memberikan keadilan, kepastian dan kewenangan yang optimal
dalam pengelolaan sumber daya daerah guna memungkinkan daerah dapat
mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya. Agar pelaksanaan otonomi
daerah ini berjalan tanpa gejolak dibutuhkan serangkaian persiapan dalam bentuk
strategi, kebijakan program dan persiapan institusi di tingkat pusat dan
daerah.
Sektor Keuangan dan Perbankan.
Permasalahan terbesar sektor keuangan saat ini adalah melakukan segala upaya
untuk mengembalikan fungsi sektor perbankan sebagai intermediasi,serta upaya
mempercepat kerja BPPN. Kemiskinan dan Ekonomi Rakyat. Pemulihan ekonomi harus
betul-betul dirasakan oleh rakyat kebanyakan. Hal ini praktis menjadi prasarat
mutlak untuk membantu penguatan legitimasi pemerintah, yang pada giliranya
merupakan bekal berharga bagi percepatan proses pembaharuan yang komprehensif
menuju Indonesia baru.
b. Agenda Pengembalian
Kepercayaan
Hal-hal yang diperlukan untuk
mengembalikan atau menaikkan kepercayaan terhadap perekonomian Indonesia adalah
kepastian hukum, jaminan keamanan bagi seluruh masyarakat, penegakkan hukum
bagi kasus-kasus korupsi, konsistensi dan kejelasan kebijakan pemerintah,
integritas dan profesionalisme birokrat, disiplin pemerintah dalam menjalankan
program, stabilitas sosial dan politik, dan adanya kepemimpinan nasional yang
kuat.
3. Agenda Sosial
Masyarakat yang berdaya,
khususnya dalam proses penyelenggaraan pemerintahan merupakan perwujudan riil
good governance. Masyarakat semacam ini akan solid dan berpartisipasi aktif
dalam menentukan berbagai kebijakan pemerintahan. Selain itu masyarakat semacam
ini juga akan menjalankan fungsi pengawasan yang efektif dalam pelaksanaan
penyelenggaraan pemerintahan. Salah satu agenda untuk mewujudkan good
governance pada masyarakat semacam ini adalah memperbaiki masalah sosial yang
sedang dihadapi. Oleh karena itu masyarakat bersama pemerintah harus melakukan
tindakan pencegahan terhadap daerah lain yang menyimpan potensi konflik. Bentuk
pencegahan terhadap kekerasan komunal dapat dilakukan melalui; memberikan
santunan terhadap mereka yang terkena korban konflik, mencegah berbagai
pertikaian _vertikal maupun horizontal_ yang tidak sehat dan potensial
mengorbankan kepentingan bangsa dan mencegah pula segala bentuk anarkhi sosial
yang terjadi di masyarakat.
4. Agenda Hukum
Hukum merupakan faktor penting
dalam penegakan good governance. Kekurangan atau kelemahan sistim hukum akan
berpengaruh besar terhadap kinerja pemerintahan secara keseluruhan. Dapat
dipastikan, good governanance tidak akan berjalan mulus di atas sistim hukum
yang lemah. Oleh karena itu penguatan sistim hukum atau reformasi hukum
merupakan kebutuhan mutlak bagi terwujudnya good governance.
Good Governance pada umumnya diartikan sebagai
pengelolaan pemerintahan yang baik. Kata ‘baik’ disini dimaksudkan sebagai
mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Good
Governance. Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas
prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan
tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai
bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance.
Menyadari pentingnya masalah ini, prinsip-prinsip good governance diurai satu
persatu sebagaimana tertera di bawah ini:
1.
Partisipasi Masyarakat
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan
keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah
yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun
berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas
untuk berpartisipasi secara konstruktif.
2.
Tegaknya Supremasi Hukum
Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang
bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
3.
Transparansi
Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas.
Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses
oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai
agar dapat dimengerti dan dipantau.
4. Peduli pada Stakeholder
Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus
berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.
5. Berorientasi pada Konsensus
Tata pemerintahan yang baik menjembatani
kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus
menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan
bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.
6.
Kesetaraan
Semua warga masyarakat
mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
7.
Efektifitas dan Efisiensi
Proses-proses pemerintahan dan
lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan
menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
8.
Akuntabilitas
Para pengambil keputusan di
pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung
jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan.
Bentuk pertanggung jawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari
jenis organisasi yang bersangkutan.
9. Visi
Strategis
Para pemimpin dan masyarakat
memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang
baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan
untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki
pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar
bagi perspektif tersebut.
Otonomi daerah termasuk pemekaran mempunyai tujuan untuk meningkatkan Pelayanan
Publik dengan mendekatkan akses pelayanan publik kepada rakyat dan rentang
kendali (span of control) birokrasi pemerintahan lokal. Pelayanan publik merupakan
strategis untuk memulai menerapkan good governance. Sehingga diasumsikan dapat
meningkatkan kualitas pelayanan publik tersebut kemudian meningkatkan
kesejahteraan rakyat/masyarakat. Suatu logika sederhana, dengan dimilikinya
kewenangan mengatur/mengelola pemerintahan sendiri dan mengelola keuangan
daerah sendiri serta dengan makin dekatnya akses pelayanan public dan rentang
kendali pemerintahan, maka segala kegiatan pemerintahan daerah dimaksudkan agar
semakin bersentuhan langsung dengan pemenuhan hak-hak dasar rakyat/masyarakat
menuju peningkatan kesejahteraan.
Ada beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi strategis
untuk memulai menerapkan good governance. Pertama, pelayanan publik selama ini
menjadi ranah dimana Pemerintah berinteraksi dengan masyarakat. Ini berarti
jika terjadi perubahan yang signifikan pada pelayanan publik, dengan sendirinya
dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat luas. Keberhasilan
mempraktekkan good governance pada pelayanan publik mampu membangkitkan
kepercayaan masyarakat luas bahwa menerapkan good governance bukan hanya sebuah
mitos, tetapi menjadi suatu kenyataan. Kedua, pelayanan publik adalah ranah
dimana berbagai aspek good governance dapat diartikulasikan secara lebih mudah.
Nilai-nilai yang selama ini mencirikan praktek good governance seperti efisien,
non diskriminatif, dan berkeadilan, berdaya tanggap, dan memiliki akuntabilitas
tinggi dapat dengan mudah dikembangkan parameternya dalam ranah pelayanan
publik. Ketiga, pelayanan publik melibatkan kepentingan semua pihak, Pemerintah
mewakili negara, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar, yang semuanya memiliki
kepentingan dan keterlibatan yang tinggi dalam ranah ini. Keberhasilan penguasa
dalam membangun legitimasi kekuasaan sering dipengaruhi oleh kemampuan mereka
dalam menyelenggarakan pelayanan publik yang baik. Dengan memulai perubahan
pada bidang yang dapat secara langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat
sipil dan para pelaku pasar, upaya melaksanakan good governance akan memperoleh
dukungan dari semua pemangku kepentingan. Dukungan ini sangat penting dalam
menentukan keberhasilan karena memasyarakatkan good governance membutuhkan
stamina dan daya tahan yang kuat.
Tujuan mulia untuk menciptakan kesejahteraan pada daerah otonomi
senyatanya secara faktual masih belum menunjukkan hasil yang optimal. Beberapa
kasus membuktikan bahwa ternyata selama perjalanannya, otonomi daerah termasuk
pemekaran daerah sebagai solusi untuk peningkatan kesejahteraan dan peningkatan
kualitas pelayanan tidak terlalu signifikan menunjukkan dampak terhadap
perubahan taraf kehidupan masyarakat. Secara politik, rakyat dimanipulir
aspirasinya demi, oleh dan untuk kepentingan elit daerah, muncul pula
rezim-rezim lokal yang bergaya bak diktator baru atau adipati-adipati penguasa
daerah setempat, rezim ini menjadi kelas penguasa baru. Di beberapa daerah malah
rezim ini seakan kebal hukum, termasuk kroni-kroninya. Mereka juga yang
menguasai sebagian besar aset dan fasilitas, menguasai juga SDA dan sumber daya
lainnya. Skor korupsi pun
meningkat dan melibatkan struktur yang paling dekat dengan rakyat, mulai dari
desa hingga kabupaten-kota. Apa mau dikata, otonomi mewabahkan KKN di tingkat
daerah ini, dan ini bukan rahasia umum. Aparatur birokrasinyapun berjalan tidak
efektif dan efisien, malah menjadi benalu yang membebani rakyat dan keuangan
negara. Dalam konteks ini, proses berotonomipun tidak melahirkan pelayanan
publik yang maksimal, malahan birokrasi pemerintahan menjadi cenderung boros,
infesiensi, inefektifitas dan sarang korupsi. Masalah lainpun bermunculan,
seperti semakin senjangnya kualitas pembangunan manusia, menurunnya kualitas
lingkungan dampak rusaknya lingkungan yang diakibatkan dari eksploitasi
lingkungan yang tidak terkendali, bahkan malah makin marak di era otonomi
daerah.
Untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan
masyarakat dalam Otonimi Daerah perlu tiga pendekatan yang harus sekaligus
dilakukan. Pertama adalah menetapkan dan memasyarakatkan pedoman good
governance secara nasional, baik untuk kalangan korporasi maupun publik, yang
kemudian bisa ditindak lanjuti dengan pedoman sektoral dari masing-masing
industri atau bidang kegiatan. Pedoman ini merupakan suatu rujukan yang selalu mengikuti perkembangan
jaman. Oleh karena itu, dalam kurun waktu tertentu perlu dilakukan
penyesuaian-penyesuaian. Pendekatan kedua adalah perlu dilakukan penyuluhan,
konsultansi, dan pendampingan bagi perusahaan-perusahaan, maupun kantor pemerintah
yang bermaksud untuk mengimplementasikan good governance, dengan melakukan
kegiatan self assessment, kemudian memasang rambu-rambu pada masing-masing
perusahaan atau instansi Pemerintah. Pendekatan ketiga adalah dengan
memperbanyak agen-agen perubah dengan mengembangkan semacam sertifikasi bagi
direktur dan komisaris pada perusahaan-perusahaan serta bagi pejabat-pejabat
publik.
Maka langkah-langkah konkret yang harus
dilakukan adalah :
1. Amandemen konstitusi
Konflik
politik yang terjadi sepanjang riwayat negeri ini, bersumber dari cacatnya
konstitusi, baik ditinjau dari sisi kemanusiaan, maupun dalam hubungan antar
lembaga demokrasi.
2. Pembentukan lembaga anti korupsi
Lembaga
anti korupsi harus juga mampu masuk ke wilayah-wilayah rawan, seperti militer,
dan jaringan pejabat tinggi dan tertinggi negara, sebagaimana yang pernah
diterapkan di Hong Kong.
3. Meletakkan lembaga yudisial sebagai lembaga independen
Intervensi
kekuatan-kekuatan politik atas lembaga seperti MA, masih menunjukkan bahwa
utang politik sangat mempengaruhi pengambilan keputusan. Dalam tingkatan paling
tinggi, adalah menerapkan prinsip-prinsip pemisahan kekuasaan (distribution of
power), yang dilakukan di pusat dan daerah. Otonomi daerah harus ditingkatkan
menjadi otonomi kekuasaan yang berbasiskan local.
4. Debirokratisasi
Birokrasi Indonesia adalah sumber kemacetan dalam merespons
tuntutan publik, juga lamban dalam menjalankan tugasnya. Jumlah Pegawai Negeri
Sipil yang banyak, menimbulkan inefisiensi, di samping penumpukan tugas di
salah satu level birokrasi serta dengan banyaknya birokrat-birokrat yang tidak
berkompeten dibidangnya yang direkrut dengan cara spoil system.
5. Persebaran ilmu
pengetahuan.
Pemberdayaan daerah otonom, juga mesti diimbangi dengan
melakukan distribusi ilmu pengetahuan secara bersamaan dan merata. Pemerintahan
daerah harus makin banyak mengeluarkan ikatan dinas bagi kalangan mudanya untuk
studi di manapun, lalu kemudian kembali ke daerah, terutama untuk bidang
manajemen, industri, kelautan, dan agribisnis.
6. Penumbuhan media
massa independen.
Media massa ini tentunya bersifat nonprofit, berorientasi
local, dan langsung menyalurkan berita-berita yang bersifat bottom up, sembari
melakukan pendidikan dalam arti luas.
Semua hal langkah tersebut diharapkan dapat menciptakan good governance
dalam pelakasanaan otonomi daerah sehingga peningkatan pelayanan yang berujung
pada kesejahteraan masyarakat dapat tercapai sebagaimana mestinya.
Daftar Pustaka
Daftar Pustaka
Jurnal
“Good Governance dalam Kerangka Otonomi Daerah”, 18 Juni 2001
Oleh
: Indra J. Piliang
Peneliti
pada Department of Politics and Social Change CSIS, Jakarta, Pengamat Otonomi
Daerah
Beberapa Pemikiran Tentang Good Governance, 21 Januari 2009
Rahmat Saputra, SH, MH
Beberapa Pemikiran Tentang Good Governance, 21 Januari 2009
0 komentar:
Posting Komentar