Ada 2 ciri stuktur masyarakat Indonesia yang unik yaitu
secara horizontal,adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan
perbedaan-perbedaan suku bangsa,agama, adat serta perbedaaan-perbedaan kedaerahaan
dan secara vertical adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan
lapisan bawah yang cukup tajam.
Perbedaan suku bangsa, agama, adat dan kedaerahan sring
kali disebut sebagai ciri masyarakat Indonesia
yang bersifat majemuk, istilah yang pertama kali dikemukakan oleh Furnivall
untuk mengambarkan masyarakat Indonesia
saat masa Hindia-Belanda. Konsep masyarakat saat ini memang merupakan perluasan
dari konsep tersebut.
A. STRUKTUR MASYARAKAT INDONESIA PADA MASA HINDIA-BELANDA
Menurut Furnivall, masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda
merupakan suatu masyarakat majemuk
plural (plural societies) yaitu suatu masyarakat yang terdiri atas 2 elemen
atau lebih yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembaruan satu sama lain dalam
kesatuan politik. Sebagai masyarakat majemuk, masyarakat Indonesia ia sebut sebagai suatu
tipe masyarakat daerah tropis dimana mereka yang berkuasa dan dikuasai memiliki
perbedaan ras. Orang-orang Belanda sebagai golongan minoritas walau jumlahnya
terus bertambah terutama pada akhir abad ke-19 adalah penguasa memerintah bagian
yang amat besar orang-orang Indonesia
pribumi (biasa disebut golongan pribumi) yang menjadi warga kelas tiga di
negerinya sendiri. Golongan orang-orang Tiongha sebagai golongan terbesar
diantara orang-orang Timur asing lainnya menempati kedudukan menengah.
Didalam kehidupan politik tanda yang paling jelas kemajemukan
masyarakat Indonesia
adalah tidak adanya kehendak bersama (common will). Masyarakat Indonesia
sebagai keseluruhan terdiri dari elemen-elemen yang terpisah satu sama lain
oleh karena perbedaan ras,masing-masing lebih merupakan individu-individu
daripada suatu keseluruhan yang bersifat organis dan sebagai individu sosial
mereka tidaklah utuh . Cuntohnya : Orang-orang Belanda datang ke Indonesia untuk bekerja tetapi mereka tidak
tinggal tetap di Indonesia
. Kehidupan mereka berada di sekitar pekerjaannya itu dan mereka memandang
masalah-masalah kemasyarakatan, politik ekonomi yang terjadi di Indonesia
tidak sebagai warga Negara melainkan kapitalis atau majikan dari buruh-buruh
mereka. Banyak pula dari mereka yang tinggal lebih dari 20 tahun tetapi sesudah
itu mereka kembali ke negerinya untk menghabiskan sisa hidupnya di negeri asal
mereka dengan pengetahuan mereka tentang Indonesia
tidak lebih dari pengetahuan ketika mereka ketika pertama kali ke Indonesia.
Begitu juga dengan orang-orang Timur asing terutama Tiongha dan Belanda yang
datang ke Indonesia
semata-mata hanya untuk kepentingan ekonomi. Sedangkan kehidupan orang pribumi
tidak lebih sebagai pelayan di negerinya sendiri. Secara keseluruhan masyarakat
Indonesia
pada masa Hindia-Belanda merupakan suatu masyarakat yang tumbuh diatas system
kasta tanpa ikatan agama. Orang Belanda, Tiongha maupun pribumi melalui agama,
kebudayaan, dan bahasa masing-masing mempertahankan dan memelihara poal pikiran
dan cara hidup masing-masing. Maka hasilnya adalah berupa masyarakat Indonesia
yang sebagai keseluruhan tidak memiliki kehendak bersama (common will) .
Di dalam kehidupan ekonomi , tidak adanya kehendak
bersama berarti tidak adanya permintaan sosial yang dihayati bersama oleh
elemen masyarakat(common social demand) . Menurut Furnival, setiap masyarakat
politik dari kelompok nomad sampai bangsa yang berdaulat berangsur-angsur
membentuk peradaban dan kebudayaannya sendiri. Semua kebutuhan kultural seperti
kebutuhan-kebutuhan agama, politik dan keindahan memiliki aspek ekonomi karena
semuanya terorganisir hanya sebagai kebutuhan ekonomi yakni sebagai permintaan (demand) masyarakat
sebagai keseluruhanya. Tetapi pada masa Hindia-Belanda , permintaan masyarakat
tersebut tidaklah terorganisir melainkan bersifat seksional dan permintaan
sosial tidak dihayati oleh seluruh elemen masyarakat. Masing-masing memiliki
pola pemrintaan sendiri .
Tidak adanya permintaan sosial yang dihayati bersama
oleh semua elemen masyarakat menjadi dasar yang membedakan karakter ekonomi
majemuk (plural economi) pada masyarakat majemuk dengan ekonomi tunggal
(unitary economi) pada masyarakat homogeneous.Proses ekonomi pada masyarakat
homogeneous dikendalikan oleh common will sedangkan hubungan sosial pada
masyarakat majemuk hanya dibimbing oleh proses produksi dengan barang-barang
material sebagai tujuan utama kehidupan masyarakat. Oleh karena penggolongan
masyarakat berdasarkan perbedaan ras maka pola produksi pun terbagi berdasarkan
perbedaan ras pula, setiap ras memiliki fungsi sendiri-sendiri seperti orang
Belanda dalam bidang perkebunan, orang pribumi dalam bidang pertanian dan orang
Tiongha sebagai kelas pemasaran yang menjadi perantara diantara keduanya. Pada
masyarakat majemuk konflik kepentingan yang terjadi lebih tajam Karena
perbedaan kepentingan bersaaman dengan perbedaan ras.
Pemerintah Hindia-Belanda (350 tahun) membiarkan
perbedaan yang terjadi antar masyarakat jawa dan luar Jawa dalam hal pengolahaan pertanian. Sejak
abad ke-18 tekanan perdagangan Belanda di Maluku berpindah ke Jawa. Sejak sat
itu pengawasan Belanda ke daerah luar Jawa lebih bersifat tidak langsung. Pola perdagangan tersebut tetap terpelihara di daerah-daerah
di luar Jawa sementara kekuasaan langsung pemerintah Hindia-Belanda di pulau
Jawa mematikan kegiatan perdagangan di daerah tersebut. Sebaliknya untuk
mencukupi kebutuhan administrasi yang murah maka penduduk pulau Jawa lebih banyak direkrut
dalam birokrasi daripada yang di luar Jawa.
Perbedaan suku bangsa, agama, dan regional merupakan dimensi-dimensi
horizontal sedangkan polarisasi sosial berdasarkan kekuatan politik dan
kekayaan merupakan dimensi vertikal dari stuktur masyarakat Indonesia. Dengan semakin meluasnya
pertumbuhan sektor ekonomi modern beserta organisasi admnistrasi maka kontras pelapisan sosial antar sejumlah
besar orang-orang yang ekonomis dan politis
berposisi lemah pada lapisan bawah dan sejumlah kecil orang kaya dan
berkuasa pada lapisan atas menjadi
semakin mengeras. Proses tumbuhnya ketimpangan yang demikian telah berakar
sejak zaman Hindia-Belanda, digambarkan oleh Boeke sebagai duel
economy.
Dalam struktur ekonomi yang demikian, dua macam sektor
ekonomi yang berbeda saling berhadapan satu sama lain. Sektor yang pertama berupa
struktur ekonomi modern yang secara komersial lebih bersifat canggih
(sophisticated) dan bersentuhan dengan lalu lintas perdagangan internasional
yang dibimbing oleh motif-motif memperoleh keuntungan maksimal, dalam konteks
kolonial sebagian besar dikuasai orang asing. Sedangkan sektor kedua berupa
struktur ekonomi pedesaan yang bersifat tradisional yang menurut teori ekonomi
modern merupakan struktur ekonomi yang berorientasi pada sikap-sikap konservatif yang dibimbing oleh motif-motif
untuk memelihara keamanan dan kelanggengan sistem yang sudah ada, tidak
berminat untuk memperoleh keuntungan dan menggunakan sumber-sumber secara
maksimal serta lebih berorientasi pada pemenuhan kepuasan dan kepentingan
sosial dari pada menanggapi rangsangan dari internasional serta kurang
mampu mengusahakan pertumbuhan
perdagangan secara dinamis. Sebagian besar penduduk Indonesia berada pada sektor kedua.
B. STRUKTUR MASYARAKAT INDONESIA
SETELAH KEMERDEKAAN
Berbeda dengan pendapat
Furnivall yang mengartikan pluralitas masyarakat Indonesia
dengan membedakan golongan Eropa, Tiongha, dan pribumi maka pluralitas
masyarakat Indonesia
sesudah kemerdekaan berada dalam konteks perbedaan-perbedaan internal diantara golongan pribumi. Sejak bangsa Indonesia merdeka, golongan Eropa terlempar
keluar dari sistem sosial masyarakat Indonesia.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan pluralitas masyarakat Indonesia,
yaitu :
1.
KEADAAN/GEOGRAFIS
Geografis yang membagi Indonesia
pulau-pulau yang terpisah yaitu kurang lebih 3000 pulau menyebabkan penduduk
yang menempati setiap pulau tumbuh menjadi kesatuan suku bangsa yang sedikit
banyaknya terisolasi dari kesatuan suku bangsa lain. Setiap orang dalam
kesatuan suatu suku bangsa memandang dirinya sebagai suatu jenis tersendiri
dengan bahasa dan kebudayaan yang sama pada umumnya. Menurut Nasikun terdapat
40 suku bangsa, Hildretz berpendapat ada 300-an suku bangsa, Grimes mengatakan
ada 500 suku bangsa sedangkan Zulyani Hidayah mengatakan ada sekitar 654 suku
bangsa.
2.
LETAK INDONESIA
Indonesia terletak
diantara samudra Indonesia
dan Samudra Fasifik. Hal itu sangat mempengaruhi pluralitas agama dalam
masyarakat Indonesia.
Oleh karena letaknya yang berada di tengah-tengah lalu lintas perdagangan laut
melalui kedua samudra trsebut maka masyarakat Indonesia telah lama memperoleh
pengaruh kebudayaan bangsa lain melalui pedagang asing. Pengaruh pertama kali datang
pada abad 400 sesudah masehi berupa pengaruh kebudayaan Hindu-Budha dari India.
Kemudian sejak abad 13 pengaruh budaya Islam masuk ke Indonesia tetapi
baru benar-benar mengalami proses penyebaran yang meluas sepanjang abad 15.
Pengaruh reformasi agama Islam yang memasuki
Indonesia
pada permulaaan abad ke-17 terutama pada akhir abad ke-19 tidak tidak mampu
mengubah keadaan kecuali memperkuat pengaruh agama Islam di daerah yang
sebelumnya memang telah merupakan daerah pengaruh Islam.
Pengaruh kebudayaan Barat mulai memasuki masyarakat Indonesia melalui kedatangan bangsa
Portugis pada abad ke-16 karena tertarik kekayaan rempah-rempah. Dalam
perdagangan tersebut disertai dengan kegiatan misssionaris yang membawa
pengaruh agama katolik. Kemudian ketika Portugis berhasil didesak oleh Belanda pada 1600-an
maka pengaruh agam katolik berganti dengan Protestan tetapi karena Belanda pada
saat itu lunak dalam soal agama maka protestan hanya mampu memasuki daerah yang
sebelumnya tidak cukup kuat dipengaruhi oleh Islam dan Hindu.
3.
IKLIM DAN STRUKTUR TANAH
Perbedaan iklim dan struktur tanah menciptakan
pluralitas regional. Kesuburan tanah dan sistem pertanian yang lebih intensif
di pulau Jawa menjadi landasan bagi pentingnya daerah tersebut dahulunya.
Karena sistem pertanian yang intensif
berkembang disana maka desa-desa di Jawa tidak mungkin sepenuhnya bisa berdiri
sendiri sebagai selfsufficient unit.
Keadaan ini membutuhkan suatu unit kemasyarakatan
yang lebih besar untuk mengintegrasikan berbagai desa tersebut. Maka muncullah
kerajaan-kerajaan yang didukung oleh sejumlah besar desa-desa sebagai pembayar
pajak, sedangkan kerajaan memberikan pelayanan birokrasi, perlindungan dan
tuahnya kepada masyarakat sebagai imbalan. Berdasarkan pola tersebut maka
kerajaan dengan raja dan bangsawannya tidak hanya sebagai pusat pemerintahan
tetapi juga sebagai pusat kebudayaan. Pengaruh Hinduisme dan Budhaisme yang
datang sebelum islam juga memperkokoh sistem ini sehingga system aritokrasi
semakin tegas dan terinci dengan konsep tentang kerajaan yang suci dan
mengandung kekuatan magis sebagai landasannya.
Proses tersebut terus berjalan dan mencapai kematangan
pada awal kedatangan orang kulit putih
ke Indonesia.
Pada abad 17 karena terdesak oleh
perdagangan laut maka kebudayaaan Jawa berpaling dari dunia luar dan
membalik ke dalam semata-mata untuk mempertinggi dan memeperluas kehidupan keraton.
Walaupun bukan baru tetapi sifat kenigratan kebudayaan Jawa mencapai tingkatnya
yang tinggi waktu itu.
Berbeda dengan sistem pertaniaan sawah di Jawa yang
mendorong tumbuhnya suatu system kemasyarakatan yang mendasarkna diri pada
kekuasaan diri di daratan maka sistem pertanian di luar Jawa mendorong
tumbuhnya suatu sistem kemasyarakatan yang berasarkan kekuasaan di laut melalui
keunggulan perdagangan. Apabila di Jawa muncul kerajaan Majapahit di luar Jawa
juga ada kerajaan yang gemilang yaitu Sri Wijaya. Sayangnya, sebagian besar
petani Indonesia tidak
memiliki tanah hanya sekitar 3% diantara
petani Indonesia
yang bisa dikatakan petani kaya. Maka dapat kita perkirakan betapa tajam
perbedaan vertikal antar lapisan atas dan bawah pada tingkat nasional.
Sistem Ekonomi. Ekonomi modern, berorientasi pada efisiensi (maksimum
atau (optimum). Ciri utamanya adalah kemampuan untuk memelihara pertumbuhan
yang berkelanjutan (self sustaining growth). Mekanisme ekonomi modern
adalah pasar. Sistem ekonomi yang demikian memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
Pertama, memiliki daya yang memungkinkan pengembangan dan penyerapan teknologi
(atau gagasan-gagasan) baru. Peran industri dan jasa lebih besar dibandingkan
pertanian. Oleh karena itu, proses modernisasi acapkali disinonimkan dengan industrialisasi.
Kegiatan-kegiatan yang sarat modal dan teknologi yang menghasilkan nilai tambah
yang tinggi, lebih besar dibandingkan dengan yang sarat tenaga kerja yang
berharga murah. Ada
keseimbangan antara modal manusia (yang berkua litas) dengan modal fisik.
Sektor formal lebih dominan dibandingkan dengan sektor informal. Dengan
demikian, organisasi dan manajemen produksi menjadi wahana yang penting dalam
sistem ekonomi modern. Sebagai konsekuensinya ada pemisahan antara pemilikan
dan pengelolaan (manajemen) aset dan kegiatan produksi. Pada masyarakat yang
lebih modern, atau pascamodern, peran informasi dan teknologi informasi makin besar
dan pada akhirnya menjadi dominan. Sebagai akibatnya ekonomi modern makin tidak
mengenal tapal batas negara. Oleh karena itu, kemampuan (dan options) negara
untuk mengadakan intervensi menjadi makin berkurang. Sistem ekonomi modern
bersifat mandiri. Mandiri tidak berarti keterisolasian, karena dalam
hubungannya dengan ekonomi-ekonomi lainnya, ekonomi yang modern mempunyai
keunggulan-keunggulan yang membuatnya memiliki kekuatan tawar-menawar (“bargaining
position”) dalam hubungan saling ketergantungan antarekonomi. Dengan
demikian ekonomi yang modern bukan merupakan “vassal” dari ekonomi lainnya.
Sistem Sosial. Dalam masyarakat modern, hubungan primer antar individu
telah jauh berkurang dan hubungan sekunder yang lebih bersifat impersonal menjadi
lebih predominan. Dalam masyarakat tradisional atau pramodern, status, hubungan
dan keterkaitan sosial lebih didasarkan pada apa atau siapa seseorang; latar
belakang keluarga atau keturunan, suku atau ras, jender (pria atau wanita), dan
usia (yang antara lain melahirkan paternalisme). Dalam masyarakat tradisional,
di samping pertimbangan-pertimbangan itu, memang ada juga pertimbangan
kemampuan (capability), tetapi lebih bersifat fisik (jagoan, misalnya)
atau magis (paranormal).
Dalam masyarakat modern apa
dan siapa bukannya sama sekali diabaikan, tetapi bobotnya kurang dibandingkan
dengan prestasi yang telah dicapai dan potensi yang dapat dicapai. Penghargaan
terhadap kemampuan fisik tidak juga diabaikan seperti pahlawan-pahlawan
olahraga, tetapi penghargaan lebih besar diberikan kepada kemampuan
intelektual. Sukses seseorang karena prestasinya sendiri dihargai tinggi dalam
masyarakat modern (contoh: penghargaan kepada Bill Gates padahal ia adalah
seorang yang putus sekolah).
Manusia modern ingin
memperoleh pengakuan sebagai individu selain sebagai anggota masyarakat. Juga
ia senantiasa berupaya untuk terus maju, tidak statis, dan berusaha menampilkan
dan mencari yang terbaik. Karena itu, profesionalisme adalah cirinya manusia
modern. Pada umumnya ciri personalitas manusia modern adalah manusia yang mampu
membimbing dirinya sendiri, mampu mengambil keputusan sendiri (menetapkan
pilihan-pilihan) dan mampu menghadapi perubahan.
Struktur Sosial. Struktur yang mewarnai suatu masyarakat tradisional
berintikan kekerabatan, kesukuan, atau keagamaan. Struktur yang bersifat
primordial itu tertutup bagi yang lain di luar hubungan-hubungan itu dan tidak
bersifat sukarela. Dalam masyarakat modern, struktur sosial bersifat terbuka
dan bersifat sukarela. Jadi, yang berkembang dan menjadi tiang-tiang masyarakat
adalah organisasi politik, organisasi ekonomi, organisasi sosial, termasuk
organisasi profesional dan fungsional. Dalam masyarakat tradisional atau
pramodern, organisasi-organisasi serupa itu sekalipun sudah ada, dasarnya masih
tetap lebih bersifat primordial dan masih lebih tertutup.
Namun, apabila kita berbicara
mengenai struktur sosial, ada ciri-ciri yang nyata dalam masyarakat modern,
yaitu:
a.
Sebagian besar anggota
masyarakat berada pada lapisan menengah; lapisan atas dan bawah adalah
minoritas. Pada masyarakat tradisional dan pramodern, sebagian besar masyarakat
berada di lapisan bawah.
b.
Dalam masyarakat
modern tidak tampak batas pemisah (diskontinuitas), tetapi stratanya lebih
bersifat suatu kontinum. Dalam masyarakat tradisional pembatas antar strata
sangat tegas, bahkan acapkali tabu atau ada sangsi bagi yang melewati batas
itu.
c.
Dalam masyarakat
modern mobilitas sosial tinggi baik ke atas, maupun ke bawah. Sebaliknya dalam
masyarakat tradisional mobilitas itu rendah, yang di bawah betapa pun
potensinya tetap di bawah, dan yang di atas betapa pun rendah kemampuannya
tetap berada di atas.
d.
Dalam masyarakat
modern, pandangan keadilan, kesamaan hak dan kewajiban menjadi kredo, yang
berarti juga kesamaan kesempatan.
Pancasila jelas adalah paham yang demokratis. Silanya
yang keempat mencerminkan hal itu. Namun, demokrasi itu sendiri bukan suatu
wujud yang kaku. Memang, ada unsur-unsurnya yang baku seperti partisipasi yang bebas, luas,
dan terbuka dari rakyat, tetapi sistemnya tidak harus seragam di semua tempat.
Dari dalam dan dari luar kita akan menghadapi tantangan-tantangan terhadap
sistem demokrasi yang kita anut dan ingin tegakkan, yang sesuai dengan kondisi
sosialkultural bangsa kita yang demikian majemuk dan latar belakang historis
bangsa kita.
Dalam konteks ini, kita menyadari bahwa ada ciri-ciri
dari konstruksi struktur sosial (social structural construct) masyarakat
modern yang berlaku buat semua, tetapi kita yakin bahwa, misalnya, asas
kekeluargaan (bukan dalam arti nepotisme) adalah suatu bangun nilai yang unggul
dan dapat diterapkan dalam masyarakat modern. Manifestasinya antara lain adalah
kita ingin selalu mendahulukan musyawarah, dan menghindari diktator mayoritas
atau tirani minoritas.
Bagi masyarakat modern (Barat) mungkin ini konsep yang
kuno (archaic), bertele-tele dan juga mahal, tetapi bagi kita lebih
banyak baiknya daripada buruknya.
Dan yang terakhir dalam rangka pemberdayaan masyarakat,
pada waktu kita berbicara mengenai masyarakat Indonesia, sesungguhnya kita
berbicara mengenai masyarakat yang majemuk, bukan hanya komponen-komponen
budayanya, tetapi juga taraf perkembangannya. Tidak mungkin kita menyamakan
masyarakat Jakarta
atau bahkan Jawa dengan masyarakat Irian Jaya. Pada waktu kita berbicara
mengenai masyarakat Indonesia
modern, dalam pikiran kita tentunya adalah seluruh masyarakat Indonesia. Tentunya hanyalah suatu
lamunan terciptanya masyarakat tanpa kelas atau tanpa perbedaan sosial ekonomi,
tetapi haruslah diusahakan bahwa lapisan yang terbawah sekali pun, tidak jauh
tertinggal dari kehidupan yang berkemanusiaan, yang bermartabat, dan mendapat
kesempatan untuk memasuki kehidupan modern. Ini suatu tantangan yang tidak
kecil pula.
SUMBER:
Sistem Sosial Indonesia(Nasikun)
Internet
(Google)
0 komentar:
Posting Komentar