Masalah
kependudukan yang antara lain meliputi jumlah, komposisi dan distribusi
penduduk merupakan salah satu masalah yang harus diperhatikan secara saksama
dalam proses pembangunan. Jumlah penduduk yang besar dapat menjadi potensi,
tetapi dapat pula menjadi beban dalam proses pembangunan jika kualitasnya
rendah. Namun seiring perubahan kondisi global maka dampak era globalisasi dan
informasi mempengaruhi kebijakan kependudukan .
Namun
seiring perubahan globalisasi dan informasi yang belum sepenuhnya dapat
diantisipasi bahkan dampak tersebut mempengaruhi banyak hal seperti memberikan
dampak kepada Indonesia dalam bentuk krisis ekonomi dan reformasi yang berujung
pada tuntutan otonomi, demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia. Berbagai
hal tersebut saling berkaitan satu sama lain. Tuntutan-tuntutan tersebut wajar
saja muncul tetapi yang menjadi permasalahan adalah bagaimana pemerintah mampu
mengatasi tuntutan-tuntutan yang ada. Hingga saat ini banyak masalah muncul dan
belum bisa diselesaikan secara serentak dan tepat sasaran . Hal itu karena
masalah-masalah yang ada tersebut sangat kompleks.
Perubahan-perubahan
yang terjadi tersebut juga berkaitan
dengan kependudukan. Pada hakikatnya semua permasalahan tersebut berkaitan pada
masalah pokok yaitu demografi seperti fertilitas(kelahiran),
morbiditas(persakitan), mortilitas(kematiaa), dan mobilitas(perpindahan). Sebab
semua permasalahan yang ada berada di seputar kehidupan manusia baik sebagai
individu , kelompok maupun masyarakat. Secara sepintas masalah ini memang
terlihat sederhana . Sebenarnya masalah yang ada tersebut apabila itu, dikaji lebih mendalam akan terlihat
bahwa masalah tersebut sangat kompleks. Oleh karena itu, permasalahan
kependudukan sering merembes pada permasalahan lainnya seperti permasalah
sosial dan ekonomi.
Misalnya
masalah ketenagakerjaan dan kemiskinan , apabila dilihat secara sepintas masalah
ini menyangkut permasahan ekonomi tetapi apabila kita telaah lebih mendalam
masalah tersebut erat kaitannya dengan permasalahan kependudukan. Sehingga
sering dapat kita jumpai beberapa program BKKBN(Badan Kordinasi Keluarga
Berencana Nasional) berupa kebijakan sebagai bentuk ikut bertanggung jawab
terhadap masalah kemiskinan yang terjadi. Apabila jumlah penduduk dapat
terkendali maka pemerintah akan semakin ringan dalam hal penyediaan lapangan
pekerjaan sebab jumlahnya pelamar pekerjaan dapat dikurangi seiring berkurangnya
jumlah penduduk. Penduduk miskin yang masih banyak dan meningkatnya
pengangguran akibat krisis adalah masalah penting yang tidak dapat diabaikan
juga.
Selain itu, perubahan lingkungan
kebijakan seperti pemberdayaan perempuan, perlindungan hak asasi manusia dan
otonomi luas membuat lingkup kajian kebijakan kependudukan perlu dikaji ulang
kembali sehingga tercipta relevasinya. Kebijakan-kebijakan yang dahulu telah
dibuat perlu dilakukan pembaharuan , baik dari segi isi, arah , maupun strategi
kebijakan kependudukan untuk merespon perubahan-perubahan yang terjadi akibat
globalisasi. Kegagalan dalam merespon tuntutan perubahan akan menyebabkan
munculnya konflik baru anatara pemerintah dan masyarakat.
Kebijakan-kebijakan
kependudukan yang dibuat tidak pernah terlepas dari campur tangan pemerintah
sebab pemerintah merupakan agen resmi pada pembuatan kebijakan dalam sistem
pemerintahan kita. Peran pemerintah terdapat hampir pada semua tahapan
kebijakan baik dalam pembuatan kebijakan , pelaksanaan kebijakan bahkan pada
pengevaluasiaan/ penilaian kebijakan. Kuatnya peran negara dalam masalah
kependudukan menyebabkan terproyeksinya masalah kependudukan hanya sebagai tanggung
jawab monopoli pemerintah saja. Tetapi ketika terjadi banyak perubahan sebagai
dampak globalisasi seperti penerapan otonomi daerah menyebabkan lembaga-lembaga
diluar pemerintah seperti DPR(Dewan Perwakilan Rakyat) dan DPRD(Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah), Lembaga
swadaya masyarakat dan partai politik memiliki peran yang semakin besar . Hal
itu berarti peran dan orientasi pemerintah yang mendominasi arah dan proses
kebijakan kependudukan akan menjadi berubah pula.Peran dari berbagai pihak
seperti DPRD dan masyarakat dalam kebijakan kependudukan memiliki peran yang
semakin besar sehingga arah kebijakan kependudukan yang selama ini mengabaikan
peran dan partisipasi masyarakat serta aspirasi masyarakat sudah tidak bisa
dilanjutkan. Oleh karena itu , perlu pengkajian ulang terhadap kebijakan
–kebijakan kependudukan untuk mengubahnya kearah yang lebih responsif dengan
kondisi riil di lapangan dan kondisis masa depan.
Perubahan
kebijakan kependudukan seiring dengan perubahan indikator –indikator
kependudukan. Pada tahun1971-1080 diperkirakan terjadi peningkatan penduduk
sebesar 2,32% pertahun sedangkan tahun1995-2000 BPS memperkirakan terjadi
pertumbuhan sebesar 1,50% pertahun. Penurunan ini terjadi karena fertilitas
mengalami penurunan menjadi sebesar 2,78% dari sebelumnya sebesar 5,20%. Angka
kematian bayi juga mengalami penurunan dari 145(1971) menjadi 51(1997).
Perubahan tersebut menjadi kabar baik untuk menjadi dasar dalam menyusun kebijakan
baru. Namun hal itu belum cukup sebab masih banyak indikator-ondikator
kependudukan lainnnya yang berindikasi negatif.
Tuntutan terhadap perubahan
kebijakan seharusnya dilakukan secara total dan mendasar bukan hanya bersifat
tambal sumlam saja. Hal itu dikarenakan masalah-masalah kependudukan dan
lingkup kebijakan yang terjadi di masa depan akan mengalami perubahan yang
bersifat visioner. Misalnya kebijakan keluarga berencana sebagai bentuk
pengendalian fertilitas sudah
dipertanyakan keefektifannya pad masa sekarang dan masa depan. Apakah program keluarga berencana yang
bersifat sentralistik masih diteruskan? Atau akankah pemeritah kabupaten maupun
propinsi akan diberikan kewenangan dalam menentukan keharusan mereka untuk
terlibat atau tidak? Dan seberapa besar skala keterlibatan dan aspirasi mereka
dapat iktu mewarnai perumusan dan pelaksanaan kebijakan kependudukan.
Permasalahan mobilisasi(perpindahan)
juga mengalami hal yang sama. Perubahan
yang yang mendasar juga diperlukan dalam hal ini. Kemampuan finansial dan
politik pemerintah saat ini sudah tidak memungkinkan lagi pelaksanaan kebijakan
transmigrasi seperti yang dulu, dimana pemerintah memberikan fasilitas dan
modal bagi penduduk yang mau dipindahkan oleh pemerintah dari suatu tempat
ketempat lainnya. Selain itu, pemerintah
dihadapi dengan masalah baru yaitu pengungsi baik pengungsi yang
diakibatkan oleh bencana alam maupun konflik yang terjadi di daerah asal
mereka. Melihat rendahnya kemampuan pemerintah dalam mengangani konflik
sedangkan potensi konflik dimasa depan diprediksi semakin meningkat maka jumlah
pengungsi akan semakin besar. Penulis merasa pesimis bahwa pemerintah mampu
mengatasi masalah yang terjadi masa yang akan datang. Hal itu dikarenakan
instani pemerintah terkait belum memiliki visi
dan kebijkan yang jekas untuk mengatasi masalah tersebut.
Walaupun begitu , perubahan
kebijakan kependudukan sudah tidak bisa dditunda-tunda lagi. Perubahan tersebut
adalah titik fokus pada pembahansan buku ini. Dalam memahami perubahan tersebut
perlu dibahas mengenai isu-isu dan masalah kependudukan yang terkait. Beberapa
isu yang harus diperhatikan pemerintah sebelum membuat kebijakan kependudukan
diantaranya sebagai berikut:
1.
Visi, misi dan arah
pembangunan kependudukan harus jelas. Program pemerintah sebelumnya lebih
memfokuskan pada penurunan kuantitas baik fertiliatas, mortalitas serta
peningkatan jumlah peserta transmigrasi. Di beberapa negara kebijakan tersebut
memang berhasil namun melihat kondisi Indonesia saat ini maka kebijakan
tersebut dirasa tidak relevan lagi. Sayangnya target-target tersebut dianggap
sudah tidak bisa ditawar lagi. Sehingga para pelaksana sering memaksakan program
dengan pendekatan yang kurang simpatik . Sehingga hasil dari kebijakan sering
tidak memadai dan akan berimplikasi pada masyarakat sebagi target
group(kelompok sasaran). Kalau pun hasilnya bisa memadai biasanya akan
bermasalah pada implementasi dan kualitas hasilnya. Misalnya pada program
kontrasepsi, hasil dari program ini cukup memadai hanya saja cakupan dan
prevalensi penggunaan kontrasepsi sering menimbulkan masalah. Oleh karena itu
sudah seharusnya pemerintah merubah orientasi
kebijakan kependudukan menjadi orientasi kualitas baik dalam proses
implementasi program maupun hasil yang diharapkan. Dalam perubahan kebijakan
ini perlu menempatkan hak asasi manusia sebagai titik penting dan bagian yang
tidak dapat dipisahkan dari kebijakan dan program kependudukan. Isu hak asasi
manusia pada kebijakan-kebijakan sebelumnya sering diabaikan oleh pemerintah.
Hak-hak kependudukan yang terkait pengendalian penduduk yaitu hak-hak
reproduksi sebab kebijakan sebelumya (keluarga berencana) dianggap mengekang
hak-hak bereproduksi sehingga orientasi kebijakan ini seharusnya sudah mulah
dialihkan kepada orientasi kesehatan reproduksi. Saat ini program KB dengan
’dua anak cukup, laki-laki atau perempuan sama saja’ sudah diubah dengan
mewujudkan keluarga berkualitas’. Sepertinya program tersebut lebih mengena
karena jika ingin mempunyai anak lebih dari dua orang adalah hal yang sangat
wajar dan mungkin keinginan semua orang. Namun pemeliharaan dan pemberian bekal
hidup seperti pendidikan dan kesehatan harus tetap menjadi prioritas agar
tercapai anak yang berkualitas, sehingga tujuan mencapai keluarga berkualitas
dapat terwujud.
Kebijakan
penurunan mortalitas juga erat kaitannya dengan hak asasi manusia misalnya
dalam menjamin ketersedian informasi tentang kesehatan, penangangan/pelayanan
kesehatan dan sebagainya. Masalah hak asasi manusia juga tidak bisa terlepas
dari masalah kebijakan lainnya yaitu mobilitas(hak memilih tempat tinggal) dan
pengentasan kemiskinan(hak memiliki kehidupan layak). Oleh sebab itu , untuk
menunjang keberhasilan pembangunan nasional, dalam menangani permasalahan
penduduk, pemerintah tidak saja mengarahkan pada upaya pengendalian jumlah
penduduk tapi juga menitikberatkan pada peningkatan kualitas sumber daya
manusianya. Karenanya, program perencanaan pembangunan manusia harus mendapat
prioritas utama yang berguna untuk peningkatan kesejahteraan penduduk.
2.
Penduduk sering tidak
mengetahu arah dan tujuan dari program yang dilaksanakan pemerintah. Penduduk
sebagai target group sering merasa tidak mengetahui mengenai kemana arah merka
akan dibawa dengan kondisi dan kebijakan yang dibuat pemerintah terhadap diri
mereka. Hal ini berkaitan dengan hak dalam memperoleh informasi kebijakan,
program dan hasil . Informasi kebijakna kependudukan biasanya hanya berada
dalam lingkup pemerintah, akademisi dan
lembaga swada masyarakat(LSM) sedangkan masyarakat dianggap tidak perlu
mengetahuinya. Pada era demokrasi dan informasi ini sudah seharusnya masyarakat
juga mengetahui berbagai informasi kependudukan terlebih lagi mengenai
informasi kebijakan yang mengenai diri mereka sebagai target group. Selain itu,
tersedianya data yang memadai akan menguntukan sektor lainnya seperti sektor
bisnis. Dengan mengetahui secara pasti mengenai data kependudukan suatu daerah
maka akan memudahkan investor dalam membuat keputasan dalam menanamkan
investasinya. Pengadaan jumlah barang dan jasa oleh produsen akan berkaitan
dengan informasi demografis dan data kependudukan yang mereka miliki.
Permasalahan yang terjadi saat ini adalah akurasi dan ketersediaan data yang
belum memadai. Biasanya keterbatasan data tersebut berada di BPS(Badan Pusat
Statistik). Hal itu dikarenakan terbatas pada priode tertentu misalnya sensus
penduduk yang dilakukan dalam 10 tahun sementara dinamika perubahan kondisi
mengalami perubahan begitu cepat. Sehingga data tersebut menjadi kurang relevan
terhadap kebijakan pembangunan yang akan dilakukan. Sementara itu, data yang
dikelola oleh BKKBN dan registrasi penduduk masih bersifat kualitas rendah.
Kondisi yang memperhatinkan pada era informasi yang canggih ini dimana
pemerintah tidak dapat memenuhi kebutuhan informasi pada segi kependudukan.
3.
Masalah kelembagaan
dalam penyususnan dan pelaksanaan kebijakan kependudukan ini masih belum jelas.
Perubahan–perubahan pada kelembagaan pusat menyebabkan kebingungan dan
kegamangan pada lembaga-lembaga pemerintah di daerah. Misalnya Kantor menteri Kependuduakan
yang pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid digabungakan dengan Kementrian
Transmigrasi. Perubahan ini tentu saja berimplikasi terhadap arah dan orientasi
kebijakan kependudukan. Perubahan seperti ini menggambarkan kurang pekanya
pemerintah pusat terhadap pelaksanan kebijakan ini. Masalah kelembagaan lainnya
adalah tingginya fragmentasi lembaga yang terlibat dalam pembangunan
kependudukan. Tumpang tindih kebijakan kementrian dan lembaga non departemen
menunjukkan bahwa sering terjadi ketidakjelasan dan koordinasi antar mereka
sebagai pembuat kebijakan. Misalnya dalam hal penyediaan informasi kependudukan
yang dilakukan oleh BKKBN, BPS, depertemen dalam Negeri, Depertemen Kesehatan
dan depertemen sosial dan tenaga kerja. Akibatnya adalah terjadu duplikasi dan
benturan dari program-program sejenis yang dilakukan oleh kementrian dan
lembaga non departemen. Duplikasi akan menyebabkan ketidak efektifan baik dari
segi biaya, waktu dan sumberdaya sedangkan benturan antar program akan
menyebabkan pelaksanaan program tidak akan tercapai bahkan bisa saja tidak
terlaksana sama sekali.Kebijakan kependudukan yang baru seharusnya menjelaskan
peran dan posisi masing-masing kementrian dan lembaga non-departemen sehingga
tidak akan terjadi duplikasi dan benturan program apalagi perubutan tugas dan
fungsi. Hal itu diharapkan mampu menciptakan kerjasama antara pihak-pihak yang
terkait dan meminimalisir kemubaziran dan menciptakan efektifitas dan
efisiensi.
4.
Keserasian kebijakan
dan program harus dialksanakan baik dipemerintah pusat maupun pemerintah
daerah. Ketidakserasian tersebut telah terjadi sejak lama tetapi belum mendapat
perhatian serius, telah terjadi ketidak serasian antaara pemerintah pusat dan
daerah. Walau telah diterapkan desentaraslisasi sejak dikeluarkannya
Undang-undang no 22 tahun 1999 namun desentralisasi pembangunan kependudukan
belum terlihat hingga saat ini. Desentralisasi sebagai bentuk penyerahan
kewenangan kepada daerah lebih sebagai retrorika dibandingkan fakta dilapangan.
Selain pemerintah pusat yang belum menyerahkan penyusunan program kebijakan
kependudukan kepada pemerintah daerah , ada faktor penghambat lainnya yaitu kesiapan
sumber daya di daerah yang belum memadai. Khususnya , kemampuan birokrasi di
daerah untuk mengambil alih tugas dan wewenang yang selama ini belum menjadi
tanggungjawab mereka.
5.
Beberapa isu lama yang
hingga kini masih beredar dalam lingkup kebijakan kependudukan yaitu masalah
perempuan, penduduk usia lanjut dan penduduk miskin. Isu ini belum mendapat
perhatian khusus dan berkelanjutan tetapi selama ini kebijakan yang berkaitan
dengan hal tersebut hanya bersifat musiman dan kelompok tersebut lebih sering
dijadikan objek kebijakan dan program pembangunan daripada upaya serius untuk
menanganinya. Pemerintah Indonesia lebih sering menghadiri pertemuan
mengenaipermasalahan tersebut daripada membuat program nyata. Maka tidak
mengherankan dengan kasus yang banyak terjadi seputar kekerasan perempuan dan
kekerasan yang dihadapi pekerja Indonesia serta masalah penduduk lanjut usia
yang hingga kini masih tidak jelas program apa yang akan diberikan pemerintah
kepada mereka. Masalah penduduk lanjut usia lebih terkesan bahwa pemerintah
menyerahkan masalah ini kepada keluarga. Ini menunjukkan ketidaksensitifan
pemerintah terhadap masalah ini. Padahal di negara-negara lainnya permasalahan
ini dapat dijadikan sebuah peluang untuk meningkatkan kesejahteraan dan
keterampilan penduduk lanjut usia.
Masih
banyak permasalahan-permasalahan kependudukan yang ada namun tidak dibahas
semuanya dalam buku ini , hal itu mungkin karena keterbatasan penulis terhadap
data dan waktu dalam penulisan buku tersebut. Namun permasalahan kependudukan
yang ada dibuku ini dapat menjadi wacana dan bahan pertimbangan dalam mengambil
kebijakan kependudukan. Buku ini lebih berupa pemikiran para ahli dan pemerhati
kependudukan yang bisa dijadikan sebagai bahan dan rujukan untuk membuat
kebijakan baru mengenai kependudukan.
Tulisan
awal yang dibuat oleh Tujiran dan Sukandi menjelaskan mengenai pertumbuhan
kependudukan . Permasalahan kependudukan hingga saat ini merupakan masalah
kritis yang harus diselesaikan secara cepat dan tepat. Kedua tulisan tersebut
menempatkan isu kependudukan sebagai isu pembangunan dan keduanya saling
berkaitan satu sama lainnya.
Hampir
sama dengan tulisan sebelumnya, tulisan Tjiptoherijanto juga memaparkan
menganai pertumbuhan kependudukan tetapi lebih menjelaskan masalah kependudukan
pada masa reformasi. Perubahan politik, ekonomi, dan sosial pada era reformasi mempengaruhi
perubahan pencapaian pembangunan kependudukan. Perubahan tersebut membuaka mata
semua pihak bahwa kebijakan yang selama ini diterapkan sudah tidak relevan lagi
dengan kondisi saat ini. Tantangan ini dapat dihapai dengan cara melakukan
reorientasi kebijakan kependudukan seperti yang telah dijelskan sebelumnya.
Tulisan ini banyak membahas mengenai penurunan angka fertilitas dan reorientasi
kebijakan dalam bentuk orientasi pada hak-hak asasi manusia.
Tiga
masalaha selanjutnay yang dipaparkan oleh Djaswadi Dasuki, Sasoto dan Siswanto
agus lebih menekankan pada mortalitas. Djaswadi memaparkan masalah yang
dihadapi dalam penurunan kematian maternal dan perinatal. Masalah tersebut
yaitu mengenai data yang akurat tentang kematian dan pelayanan kesehatan
sebagai salah satu cara untuk menurunkan angka kematian bayi dan maternal(ibu).
Sedangkan Sasoto membahas strategi penurunan angka kematian bayi berdasarkan
pengalaman sebelumnya. Begitu pula Siswanto yang membahas kebijakan kematian
maternal.
Tiga tulisan lainnya membahas
mengenai redistribusi penduduk yang kita kenal dengan transmigrasi. Tulisan ini
dibuat oleh Ida Bagus Mantra dan
Nasrudin Harahap yang menjelaskan bahwa pemerintah terlalu sering mengulangi
kesalahan yang sama dalam kebijakan ini.Sedangkan masalah perempuan disorot
oleh Irwan Abdullah . Dia menjelaskan bahwa kesalahan besar yang dilakukan
pemerintah selama ini ada kurangnya porsi perhatian yang diberikan pada masalah
perempuan. Tahap women development kemudian diubah menjadi “gender and
development”. Pada tahapan ini reposisi dilakukan kurang memberikan hasil
maksimal. Oleh karena itu , diarahkan kepada konsep baru yang secara struktural
dan sistemik dapat mendukung pembangunan perempuan yaitu gender mainstreaming.
Konsep ini berawal dari konfrensi yang dilaksanakan di Beijing. Selain itu, Ana
Nadhya Abrar membahas masalah kependudukan dari segi komunikasi kependudukan.
Secara keseluruhan tulisan ini membahas kebijakan
kependudukan ayng bertolak dari isu-isu kebijakan. Reorientasi kebijakan yang
dilakukan tidak hanya berada ditingkat pusat tetapi harus merata hingga ke
daerah. Disamping itu, secara kelembagaan masalah kependudukan dimasa mendatang
tidak mungkin hanya ditangani oleh pemerintah pusat oleh karena itu perlu adanya kerjasama dan
koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan begitu , penanganan masalah
kependudukan bisa berjalan secara proporsional.
Judul : Reorientasi
kebijakan kependudukan
Pengarang: Faturochman
Penyunting: Agus
Dwiyanto
Yogyakarta:
Aditya Media, 2001
Halaman: 228 lembar
0 komentar:
Posting Komentar