Budaya politik merupakan salah satu aspek penting dalam sisitem politik
yang dikenal dengan political culture, yang mencerminkan faktor subjektif.
Budaya politik adalah keseluruhan dari
pandangan- pandangan politik seperti
norma – norma , pola-pola, orientasi terhadap politik dan pandangan hidup
umumnya. Budaya politik mengutamakan
dimensi pysikologi dari suatau sisitem politik yaitu sikap-sikap, sistem-sistem
kepercayaan, simbol-simbol yang dimiliki oleh individu-individu dan beroperasi
di dalam seluruh masyarakat serta harapan –harapannya. Misalnya, kegiatan
politik seseorang tidak hanya ditentukan oleh tujuan-tujuan yang diinginkannya
tetapi juga oleh harapan politik yang dimilikinya dan oleh pandangannya
mengenai situasi politik. Sedangkan menurut Almond dan Alba kebudayaan politik
suatu bangsa sebagai distribusi pola-poal orientasi khusus menuju tujuan
politik diantara masyarakat bangsa itu.
Budaya politik dalam suatu masyarakat dipengaruhi oleh sejarah
perkembangan dari sistem, oleh agama yang terdapat dalam masyarakat tersebut,
kesukuan, status sosial, konsep mengenai kekuasaan kepemimipinan dan lain-lain.
Umumnya terdapat 4 variabel dalam sistem politik, yaitu:
v Kekuasaan → sebagai cara untuk mencapai hal yang diinginkan antara lain
membagi sumber-sumber diantara kelompok dalam masyarakat.
v Kepentingan → tujuan-tujuan yang dikejar oleh pelaku-pelaku atau
kelompok politik.
v Kebijaksanaan → hasil dari interaksi antara kekuasaan dan kepentingan,
biasanyan dalam bentuk undang-undang.
v Budaya politik → orientasi subyektif dari individuterhadap sistem
politik.
Istilah budaya politik mulai dikenal terutama sejak aliran perilaku (behavioralism).
Namun istilah ini mengandung kontroversial karena tidak jelas konsepnya. Para
pengkritiknya menyebutkan, penggabungan dua konsep budaya dan politik saja sudah
mengandung kebingungan apalagi jika dijadikan konsep menjelaskan fenomena
politik.
Namun demikian dalam literatur politik khususnya pendekatan perilaku,
istilah ini kerapkali digunakan untuk menjelaskan fakta yang hanya dilakukan
dengan pendekatan kelembagaan atau pendekatan sistemik. Dengan kata lain
menjelaskan dengan pendekatan budaya politik adalah upaya menembus secara lebih
dalam perilaku politik seseorang atau sebuah kelompok.
Meskipun pengertian budaya politik masih kabur, namun berbagai
pandangan yang muncul dari pakar politik memperlihatkan upaya untuk menguraikan
soal pelik ini. Dari berbagai pendapat itu memang terlihat bahwa bidaya politik
terkait dengan sesuatu yang abstrak dalam kehidupan politik. Namun
kehidupan yang abstrak itu memang ada dan kadang-kadang dalam praktek
mendominasi proses politik.
Dalam bidang comparative politics, kajian budaya politik
memang sempat tertinggal. Padahal, di masa jaya bidang studi comparative
politics tahun 1950-an dan 1960-an, penekanan kajiannya lebih banyak pada
budaya politik. Agaknya karena di masa-masa itu kajian comparative politics
amat di dominasi paradigma modernisasi, dimana persoalan budaya politik
dianggap merupakan bagian inheren dari proyek modernisasi.
Kajian budaya politik kemudian ditinggalkan karena beberapa sebab,
diantaranya:
konsep budaya politik terlalu
abstrak alias vague. Persoalan yang ditimbulkan dari abstraknya konsep
budaya politik ini antara lain adalah persoalan menentukan unit analisa.
Atribut budaya politik harus diasosiasikan pada level mana: kultur individu,
kelompok atau negara? Jika pada level individu, apakah dia bisa digeneralisasi?
Kalau pada level negara, apakah dia mencerminkan individu? Bila diletakkan dalam konteks kelompok (etnis
atau relijius misalnya), bagaimana menjelaskan variasi kultur kelompok yang
satu dengan yang lainnya? Persoalan selanjutnya yang ditimbulkan karena terlalu
abstrak adalah variabel budaya sering diperlakukan sebagai variabel residu.
Artinya, variabel kultur menjadi the last resort, kalau variabel lain
tidak mampu menjelaskan sebuah fenomena. Alias, kalau sudah mentok dan otak
sudah malas berpikir, tinggal bilang: “yah emang udah budayanya begitu”
Sebab kedua ia ditinggalkan adalah
bahwa politik selalu dikaitkan dengan political correctness. Artinya,
budaya politik cenderung dijadikan alat untuk menyalahkan keadaan. Misalnya,
bila sebuah masyarakat gagal membangun demokrasi, maka budaya dijadikan kambing
hitam latar belakang gagalnya demokrasi itu.
Sejak tahun 1990-an, kajian budaya politik kembali mendapat perhatian
dari para comparativists. Ada beberapa penyebabnya berkembangnya
kajian politik, yaitu:
©
Mulai tersedianya data set global
mengenai budaya, seperti data dari World Value Survey. Tersedianya
data set ini memungkinkan budaya politik dikaji secara lebih saintifik dengan
dukungan data empirik. Sehingga, kajian budaya politik tidak lagi menjadi
kajian yang vague dan abstrak.
©
Munculnya karya-karya akademis
yang solid dan lebih kaya mengenai budaya. Ada dua ilmuwan yang sering disebut
dalam hal ini. Pertama adalah Robert Putnam dengan bukunya Making Democracy
Work (1993). Selama satu dekade Putnam melakukan penelitian, ia
membandingkan Italia bagian utara dan selatan dan dia sampai pada kesimpulan
bahwa Italia sebelah utara lebih makmur dan demokratis karena densitas network
dan asosiasi kemasyarakatan di sana jauh lebih tinggi daripada Italia wilayah
selatan. Penyebabnya adalah kepercayaan (trust) antara anggota
masyarakat di Italia sebelah utara jauh lebih tinggi. Selanjutnya, trust
menjadi social capital yang membentuk basis bagi civil society.
Sementara di Italia selatan, berkembang apa yang disebut oleh Banfield sebagai
amoral familial , dimana orang hanya mempercayai anggota keluarganya.
Keadaan semacam ini menjadi lahan amat subur untuk nepotisme dan terbentuknya
masyarakat yang tertutup.
Ilmuwan kedua adalah Ronald Inglehart yang melakukan banyak kajian
mengenai budaya politik dengan data empirik, antara lain dengan menggunakan
dataset dari World Value Survey itu. Ada artikel Ingelhart yang seru,
judulnya Trust, Well-being and Democracy. Walaupun ada beberapa kritik
untuk tulisan itu, tetapi artikel ini cukup memprovokasi pikiran.
Salah satu temuan Inglehart adalah mengenai tingkat interpersonal
trust yang dihubungkan dengan tradisi agama dan budaya serta tingkat
pembangunan ekonomi. Ingelhart menggunakan data World Value Survey dan
juga data World Bank (Purchasing Power Parity Estimates).
Pertanyaan dalam World Value Survey itu kira-kira adalah: “apakah
menurut Anda orang lain bisa dipercaya?”
Hasilnya: level interpersonal trust tertinggi ditemukan di
negara-negara dengan tradisi Protestan (tertinggi adalah Norwegia, kurang lebih
65 persen responden di sana menyatakan bahwa orang lain bisa dipercaya).
Walaupun ada beberapa substansi ataupun metodologi dari studi Inglehart
ini yang bisa diperdebatkan (misalnya, dia tidak menjelaskan peran budaya
politik dalam konteks masyarakat yang sedang menjalani proses transisi menuju
demokrasi) tapi Inglehart dengan konsisten menunjukan bahwa budaya politik bisa
dikaji dengan data-data empirik. Karena itu, studi budaya politik kembali
menarik. Banyak karya besar klasik dunia mengenai budaya atau nasionalisme
misalnya, merupakan hasil kajian mengenai Indonesia. Seperti studi yang dibuat
oleh antropolog ternama Clifford Geertz, Bennedict Anderson mengenai Imagined
Communities, atau ilmuwan politik terkenal Arendt Lijphart yang pernah
mengkaji Papua.
II.2 Tipe-Tipe Budaya Politik
Menurut Gabriel Almond (1966) budaya politik adalah pola sikap
dan orientasi individu terhadap politik diantara anggota sistem politik. Menurut
Almond dan Verba Orientasi individu terhadap obyek politik dapat dipandang dari
tiga hal/ tiga komponen,yakni :
1. Orientasi
Kognitif : pengetahuan, keyakinan,
kepercayaan tentang politik dan peranan serta kewajibannya.
2. Orientasi
Afektif : perasaan terkait,
keterlibatan, penolakan dan sejenisnya terhadap sistem politik, peranannya,
para aktor dan penampilannya.
3. Orientasi Evaluasi : penilaian dan opini tentang obyek politik yang
biasanya melibatkan nilai-nilai standar terhadap obyek politik dan
kejadian-kejadian dengnan informasi dan standar.
Dimensi kognitif berupa kemampuan dalam tingkat akurasi tinggi terhadap
cara kerja sistem politik, siapa pemimpinnya dan masalah-masalah dari
kebijakannya. Namun ia mungkin memiliki perasaan alienasi atau penolakan
terhadap sistem. Mungkin keluarga atau sahabatnya sudah punya sikap seperti
itu. Mungkin ia tak merespon tuntutan terhadapnya oleh sistem. Itulah yang
disebut dimensi afektif. Akhirnya seseorang mungkin memiliki penilaian moral
terhadap sistem. Barangkali noram-norma demokrasinya mendorong dia menilai
sistem sebagai tidak cukup responsif terhadap tuntutan politik atas norma-norma
etiknya mendorong dia mengecam tingkat korupsi dan nepotisme. Dimensi-dimensi
ini saling berkaitan dan mungkin memiliki kombinasi dalam berbagai cara.
Almond dan Verba juga membedakan subjek dalam sistem politik, yaitu:
Ó Peranan atau struktur khusus seperti badan legislatif, eksekutif,
yudikatif atau birokrasi
Ó Penunjang jabatan seperti pimpinan monarkhi, legislator, administator.
Ó Kebijaksanaan keputusan atau penguat keputusan.
Obyek-obyek
Orientasi Politik
Obyek
yang jadi orientasi politik adalah sistem politik secara keseluruhan, peran
politik atau struktur tertentu,individu atau kelompok yang memikul peran
tertentu, kebijakan publik yang khusus. Termasuk didalamnya adalah aktor
politik dan ego dari aktor politik.
Gabriel A Almond seperti dikutip dalam Mochtar Mas’oed (1984) membagi tiga jenis budaya
politik, yaitu
1.
Budaya politik parokial
Dimana kesadaran obyek politiknya kecil atau tidak ada sama sekali
terhadap sistem politik. Kelompok ini akan ditemukan di berbagai lapisan
masyarakat.Biasanya terdapat dalam sistem politik tradisional dan sederana dengan
ciri khas spesialisasi masih sangat kecil sehingga belum ada pengkhususan
kerja.masyarakat pada tipe ini tidak mengharapkan apapun dari sitem politik
termasuk perubahan. Parokialisme lebih bersifat afektif dan operatif. Hal yang
menonjol pada budaya politik parokial adalah kesadaran anggota dan masyarakat
akan adanya pusat kewenangan/kekuasaan politik dalam masyarakat.
2.
Budaya politik kaula/ subjek
adalah mereka yang berorientasi terhadap sistem politik dan pengaruhnya
terhadap outputs yang mempengaruhi kehidupan mereka seperti tunjangan sosial
dan hukum. Namun mereka tidak berorientasi terhadap partisipasi dalam struktur
inputs. Masyarakat pada tipe ini menyadari telah ada otoritas pemerintah. Namun
mereka hanya menganggap dirinya sebagai subjek yang tidak bisa mempengaruhi
atuapun merubah sistem dan hanya menerima segala keputusan dan kebijakan yang
diambil oleh pejabat yang berwenang. Ini biasanya terwujud dalam masyarakat
yang tidak terdapat struktur masukan yang didiferensiasi . Demikian juga dalam
budaya subjek orientasi lebih bersifat normatif dan afektif. Biasanya timbul
karena akibat proses kolonialisme dan kediktaktoran .
3.
Budaya politik partisipan
adalah individu yang berorientasi terhadap struktur inputs dan
proses dan terlibat didalamnya atau melihat dirinya sebagai potensial
terlibat, mengartikulasikan tuntutan dan membuat keputusan. Dalam tipe
ini, masyarakat menyadari bahwa dirinya dan orang lain sebagai anggota aktif
dalam kehidupan politik yang memiliki hak dan tanggungjawab.
Tiga kebudayaan politik murni tersebut merupakan awal bagi tipe-tipe
kebudayaan politikatau disebut dengan budaya politik campuran (mixed political
cultures), yaitu :
¤
Kebudayaan Subjek Parokial ( The
Parochial Subject Culture)
Sebagian besar masyarakat menolak tuntutan-tuntutan
ekslusif masyarakat kerukunan desa atau otoritas feodal. Itu juga telah
mengembangkan kesulitan dalam sistem politik yang lebih kompleks dengan
struktur pemerintahan yang bersifat kompleks. Kedua orientasi itu telah
memainkan peranan yang lebih penting dalam kebudayaan warga negara karena
orientasi parokial dan orintsi subjek
telah melunakkan orientasi keterlibatan dan aktivitas individu dalam politik.
Kedua orientasi itu tidak hanya berdampingan dengan orintasi peserta tapi juga
menerobos dan memodifikasi orientasi peserta.
¤
Kebudayaan Subjek Partisipan(
Subject Participant Culture)
Sebagian warga negara telah memiliki orientasi-orientasi
masukan yang bersifatkhusu dari serangkaian orientasi pribadi sebagai seorang
aktivis dan sebagian yang lain diarahkan dan diorientasikan kearah struktur
pemerintahan otoritarian dan secara relatif
memiliki rangkaian orientasi pribadi yang pasif.
¤
Kebudayaan Parokial Partisipan (
The Parochial Participant Culture)
Banyak terdapat pada negara-negara berkembang. Negara-negara
tersebut sedang giat melakukan pembangunan termasuk dalam kebudayaan. Pada
kondisi ini sistim politik biasanya diliputi oleh parokial yang satu pihak cenderung ke arah
otoritanisme dan yang satunya lagi kearah demokrasi.
Rosenbaum menulis daftar tentang orientasi terhadap elemen-elemen
tatanan politik, diantaranya yaitu :
Ø Orientasi terhadap struktur pemerintahan.
Orientasi rejim, bagaimana individu mengevaluasi dan
merespon terhadap lembaga pemerintahan, simbol-simbol, para pejabat dan norma-normanya...Orientasi
terhadap inputs dan outputs pemerintah, bagaimana individu merasakan dan
merespon terhadap tuntutan untuk kebijakan publik dan kebijakan yang diputuskan
pemerintah.
Ø Orientasi terhadap yang lain dalam sistem politika.
Orientasi identifikasi, kesatuan politik, wilayah
geografis dan kelompok dimana ia merasa memilikinya.b. Kepercayaan politik, sejauh mana seseorang merasa terbuka, kooperatif
atau bersikap toleran dalam bekerja dalam kehidupan masyarakat.c.
“Aturan permainan”, konsep individu tentang aturan mana
yang harus diikuti dalam kehidupan kenegaraan.
Ø Orientasi terhadap Aktivitas Politiknya.
Kompetensi Politik, seberapa sering dan dalam cara
bagaimana seseorang berpartisipasi dalam kehidupan politik, mana yang paling
sering digunakan sebagai sumber politik baginya dalam masalah kenegaraan.... Political
Efficacy, perasaan bahwa tindakan politik individu memiliki atau dapat
menghadirkan pengaruh atas proses politik.
II.3 Aplikasi Budaya Politik di Indonesia
Banyak ilmuan sosial yang telah berusaha mencari bentuk budaya politik
Indonesia. Gertz dalam mengupas kebdayaan Jawa menyatakan tipologi santri
sebagai abangan dan priyayi. Pandangan tersebut menyatakan bahwa masyarakat
Jawa terdiri dari tiga kelompoksosial seperti itu. Secara menyeluruh ia
mengelompokkan masyarakat Indonesia menjadi tiga subbudaya politik yang meliputi petani pedalaman Jawa, masyarakat
islam pantai dan masyarakat pegunungan.
Bentuk budaya politik Indonesia merupakan subbudaya atau budaya sub
nasional yang terdapat di Indonesia sebagaimana telah dibawa oleh pelaku/aktor
politik sehingga telah terjadiinteraksi, kerjasama, dan persaingan antar
subudaya politik itu.
Pembangunan politik Indonesia dapat diukur pula berdasarkan
keseimbangan atau harmoni yang dicapai oleh budaya politik dengan pelembagaan
politik yang ada atau yang akan ada.
Dengan masuknya tekhnologimaju dan kontak pertukaran kebudayaan dengan
peradaban luar bisa saja terjadi keadaan yang tidak harmonis atau malah menjadi
keadaan yang berubah kearah keseimbangan yang ada maupun yang baru.
Konstansi sementara tentang budaya politik Indonesia(tentunya perlu
ditelaah dan di buktikan lebih lanjut) adalah pengamatan tentang variabel
sebagai berikut:
{ Konfigurasi subkultur di Indonesia masih beragam seperti bahasa, agama,
kelas, dan sebagainya walaupun tidak sekompleks di India. Pada dasarnya masalah
ini sudah dapat ditanggulangi berkat usaha pembangunan bangsa (national
building) dan karakter bangsa (character building) .
{ Budaya politik Indonesia yangbersifat parokial-kaula disatu pihak dan
partisipan dilain pihak. Disatu sisi
masyarakat masi ketinggalan dalam menggunakan hak dan tanggungjawabnya dalam
politik yang mungkin disebabkan oeh isolasi dari kebudayaan luar, pengaruh
penjajahan, feodalisme, bapakisme, primodial tetapi disisi lain kaum elitnya
sungguh-sungguh merupakan partisipan aktif yang mungkin disebabkan oleh
pengaruh pendidikan modern yang kadang bersifat sekuler dalam arti sempit. Jadi
jelas bahwa Indonesia merupakan ”mixed political
culture”
{ Sifat ikatan primodial yang masih kuat yang dikenal melalui indikator
berupa sentimen kedaerahan, agama, kesukuan, puritanisme, dan nonpuritanisme
dan lain lain. Selain itu, dapat dilihat dari pola budaya politik yang
tercermin dalam struktur vertikal masyarakat dimana usaha gerakan kaum elit
langsung mengeksploitasi dan menyentuh substruktur sosial dan subkultur untuk
merekrut dukungan.
{ Kecendrunagn budaya politik Indonesia
yang masih mengukuhi sikap peternalisme dan sifat patrimonial contohnya
“asal bapak senang”. Tipe parokial kaula lebih mempunyai keselarasanunutk
tumbuh dengan persepsi masyarakat tehadap objek politik yang menyandarakan atau
menundukkan diri pada proses output para penguasa.
{ Dilema interaksi intoduksi medernisasi dengan pola-poal yang telah lama
berakar sebagai tradisi dalam masyarakat.
Salah satu budaya politik yang marak di Indonesia adalah pengiriman
parsel kepada para elit politik. Dalam sistem budaya politik kita, parsel tidak
sekadar hadiah tanpa sebab dan pamrih. Parsel tidak sesederhana dan setulus
seorang dermawan memberi baju koko atau
sarung kepada si fakir dan yatim menjelang Lebaran.
Padahal
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) telah melarang menerima
parsel bagi pejabat publik dengan alasan pengiriman parsel kondusif bagi
merebaknya budaya KKN, sebuah langkah preventif yang baik. Kebijakan ini jelas ditentang
oleh para pengusaha parsel karena akan mematikan usaha mereka padahal ribuan
orang menggantungkan hidupnya pada usaha parsel bahkan sampai beberapa anggota
DPR RI mengunjungi mereka, menunjukkan bahwa parsel bukan sekadar hadiah. Ia
telah menjadi idiom politik multidimensi di kalangan publik. Jadi kita perlu
mencari titik temu kedua sikap yang dua-duanya terpuji tersebut.
Dalam budaya politik kita, budaya parsel tumbuh di tengah hegemoni
kekuasaan Orde Baru yang berdiri kokoh perkasa selama 32 tahun, yang sampai
hari ini aromanya belum serta merta hilang. Ia tumbuh dalam suasana di mana
para pejabat publik memiliki kewenangan luas mengambil kebijakan selalu
berharap terus bertambah fasilitas dan kekayaannya, tanpa harus bekerja keras
melalui usaha-usaha yang benar dan halal walaupun kadang menimbulkan
kontroversi di kalangan publik.
Pada
sisi yang lain, mereka yang berhasrat pada kebijakan, tidak cukup punya
kemampuan untuk berprestasi dan berhasil tanpa kebijakan yang memihak dan
memproteksi kepentingan yang mereka titipkan lewat parsel sebagai sebuah bentuk
pengharapan untuk tujuan tertentu.
Untuk mengenali motivasi mereka
terbaca dalam relasi siapa yang mengirim dan siapa yang dikirim, bagiamana
posisi mereka dan di antara keduanya ada hubungan apa. Dalil ini akan membantu
kita dalam mengenali motivasi seseorang berkirim parsel. Ketika yang mengirim
seorang pengusaha atau pejabat publik dan yang dikirimi adalah pengelola panti
asuhan yatim piatu, maka jelaslah bahwa mereka adalah seorang dermawan. Tetapi
jika yang mengirim seorang pengusaha dengan sasaran pejabat publik yang
berkompeten membuat kebijakan tentang nasib pengusaha tersebut, maka inilah
budaya parsel potensial mengundang penafsiran multitafsir, antara motivasi
benar - benar murni hadiah atau suap. Empatbelas abad yang lalu Rasulullah SAW
telah mengingatkan bahwa memberi hadiah kepada mereka yang punya jabatan tidak
lain adalah suap.
Masyarakat berharap akan lahirnya
pemerintahan yang bersih pasca Pemilu 2004 sedemikian sangat besar tetapi
harapan ini bisa tinggal harapan apabila pemerintahan di bawah SBY-JK tidak
segera menjawabnya, dan jawaban itu harus segera, mulai dari yang sederhana.
Suburnya budaya parsel bagi pejabat publik apabila tidak bisa dikurangi oleh
pemerintahan baru, bisa-bisa perlahan tapi pasti membunuh harapan rakyat akan
adanya perubahan.
Dalam
prespektif hukum formal seperti UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
kebiasaan mengirim dan menerima parsel tidak bisa serta merta dijerat sebagai
pelanggaran. Guru besar Sosiologi Hukum Undip, Prof. DR. Satjipto Raharjo, SH,
bahwa hukum tidak hanya didasarkan pada logika peraturan, tetapi juga logika
lain, yakni "moralitas hukum" (Suara Merdeka, 27 Oktober 2004)
serta asas kepatutan publik yang diwakili oleh 280 juta penduduk Indonesia yang
60 % hidup di bawah garis kemiskinan. Inilah semangat dan gerakan moral yang
ditunjukkan oleh ketua MPR DR. H.M. Hidayat Nurwahid ketika menolak Volvo
sebagai kendaraan dinas MPR beberapa waktu yang lalu. Diterima pun mobil itu
tidak salah , tetapi sikap dan teladan yang diberikan dalam bentuk penolakan
fasilitas itu terasa melegakan dan menyejukkan hati rakyat di tengah-tengah
kemiskinan harta dan kelangkaan teladan para pejabat negara sekarang ini.
Berdasarkan telaah pengalaman-pengalaman masa lalu ada yang perlu kita
harus berhati - hati dalam rangka antisipasi nilai negatif parsel bagi pejabat
publik. Implikasi negatif budaya politik Indonesia berupa pengiriman parsel:
1.
Pertama, budaya ini potensial
melahirkan kebijakan yang subjektif dan jauh dari nilai keadilan. Mereka yang
berkirim parsel kepada pejabat publik, akan selalu berharap agar kebijakan yang
nanti dikeluarkan menguntungkan mereka. Tanpa dengan kemampuan dan prestasi
cukup, mereka berhasil memenangkan "pertandingan" sebagai dampak dari
hadiah yang dikirimkan, kalau perlu tercipta hubungan yang istimewa melebihi
"kompetitor-kompetitor" yang lainnya.Bagi pejabat publik datangnya
parsel demi parsel telah menyulitkan mereka dalam mengambil kebijakan. Ia telah
"terjerat" dalam magnet hadiah yang diterimanya, sehingga yang
mendominasi dan mendikte pikiran mereka siapa yang mengirim parsel paling
bernilai, maka dialah yang seharusnya dimenangkan atau diuntungkan oleh
kebijakan mereka walaupun harus melukai kepentingan rakyat.
2.
Mengurangi iklim kompetisi dan
berprestasi yang sehat. Semangat kompetisi dan berprestasi akan menurun, bahkan
bisa hilang sama sekali, ketika prestasi dan kemampuan tidak menjadi indikator
penting dalam mencapai sukses. Lemahnya iklim kompetisi dan berprestasi berarti
menunjukkan lemahnya etos kerja birokrat sehingga menimbulkan efek domino
jeleknya pelayanan pubik, karena mereka bekerja dilandasi take and give,
bukan melayani masyarakat bagian dari profesionalitas kerja.
3.
Politik biaya tinggi. Budaya
parsel akan berefek mahalnya biaya politik, mahalnya tarif yang harus
dipersiapkan bagi mereka yang ingin berhasil. Dalam kondisi inilah, orang yang
mempunyai kemampuan baik masih harus berfikir keras menyiapkan ubo rampe
hadiah-hadiah bila mereka menginginkan sesuatu yang menguntungkan mereka dari
pejabat di atasnya. Mereka yang mempunyai kemampuan tetapi tidak mempunyai daya
dukung materi tinggallah termangu meratapi ketidakberdayaannya walaupun dia seorang
yang mempunyai kemampuan.
4.
Menyuburkan budaya hidup hedonis
dan konsumtif . Menyuburnya budaya parsel bagi pejabat publik secara tidak
langsung akan berdampak makin konsumtifnya perilaku hidup masyarakat. Satu
pihak harus membeli sesuatu yang tidak mampu menjangkaunya, dan pada pihak yang
menerima dia mendapatkan sesuatu yang secara objektif tidak mereka perlukan,
sehingga yang terjadi adalah kemubaziran demi kemubaziran, padahal tanpa parsel
itu pun mereka sudah menikmati berbagai fasilitas dan kemudahan yang dibiayai
oleh rakyat dengan membayar pajak dan retribusi, sedangkan rakyat tetap miskin.
5.
Menyuburkan budaya KKN yang
sekarang menjadi racun bangsa, meminjam istilah Ryaas Rasyid: korupsi telah mengantarkan
bangsa Indonesia menuju ke titik kehancuran yang nyaris sempurna. Di sinilah
akumulasi puncak negatif yang kita khawatirkan muncul dari budaya parsel.
Budaya ini akan hadir sebagai pupuk yang sangat potensial menyuburkan budaya
KKN. Ini pula yang harus secara terus- menerus diingatkan pada pemerintahan
baru sekarng ini, jangan sampai jatuh ke lubang biawak untuk kedua kalinya
seperti pemerintahan Orde Baru.
6.
Keenam, melukai hati masyarakat.
Di tengah penderitaan TKI yang terlunta - lunta dari negeri orang dan pulang
untuk bertemu sanak saudara tentunya rasa empati pjabat publik harus
ditumbuhkan, bukan malah bersenang - senang dengan parsel menumpuk yang notabe
- nya menyusahkan mereka sendiri sebagai pelayan masyarakat. Kalau
pemerintahan ini gagal menjawabnya, kita khawatir terjadi putus asa massal
bangsa kita dalam menatap masa depannya.
Selain itu, kita dikejutkan aneka peristiwa
politik yang menampakkan wajah jelek dunia politik kita kini: kerusuhan dalam
rangka pilkada, bupati terpilih yang digugat, kongres partai politik yang
dinamakan islah, tetapi penuh percekcokan,
dan pernyataan tokoh-tokoh politik yang tidak jelas maksud dan tujuannya. Hari
ini bilang “A”, beberapa hari kemudian bilang “non-A”. Kita menyaksikan
perilaku politik Indonesia
dalam format yang jelek.
Sumber perilaku politik pada dasarnya
adalah budaya politik, yaitu kesepakatan antara pelaku politik tentang apa yang
boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Kesepakatan ini tidak selalu
bersifat terbuka, tetapi ada pula yang bersifat
tertutup. Kesepakatan untuk menerima amplop setiap kali dilakukan pembahasan
RUU merupakan kesepakatan gelap (illicit agreement). Membayar “uang pelicin” kepada para petinggi politik untuk mendapatkan dukungan partai dalam rebutan jabatan bupati, wali kota, dan gubernur merupakan tindakan yang dianggap sah dalam budaya politik kita kini.
tertutup. Kesepakatan untuk menerima amplop setiap kali dilakukan pembahasan
RUU merupakan kesepakatan gelap (illicit agreement). Membayar “uang pelicin” kepada para petinggi politik untuk mendapatkan dukungan partai dalam rebutan jabatan bupati, wali kota, dan gubernur merupakan tindakan yang dianggap sah dalam budaya politik kita kini.
Suatu budaya politik biasanya berlaku
selama periode tertentu. Ketika datang perubahan penting dalam konstelasi
politik, datang pula para pelaku baru dalam gelanggang politik, terbukalah
kesempatan untuk memperbarui budaya politik. Budaya politik dibentuk dan
dikembangkan oleh pelaku politik dan apa yang akan ditentukan oleh pelaku
politik sebagai ciri-ciri utama budaya politik mereka sampai batas tertentu, dipengaruhi
oleh pendidikan mereka.
Di negara kita budaya politik para
perintis kemerdekaan berbeda dari budaya politik pada zaman demokrasi
parlementer, dan ini berbeda dengan budaya politik yang tumbuh dalam zaman Orde
Baru. Zaman reformasi ini juga melahirkan budaya politik baru, yang kemudian melahirkan
perilaku politik yang menyusahkan banyak orang. Disementara kalangan budaya
politik kita disebut dengan “budaya politik
aji mumpung”.
aji mumpung”.
Bab III
Kesimpulan dan Saran
Bentuk budaya politik Indonesia merupakan subbudaya atau budaya sub
nasional yang terdapat di Indonesia sebagaimana telah dibawa oleh pelaku/aktor
politik sehingga telah terjadi interaksi, kerjasama, dan persaingan antar
subudaya politik itu.
Pembangunan politik Indonesia dapat diukur pula berdasarkan
keseimbangan atau harmoni yang dicapai oleh budaya politik dengan pelembagaan
politik yang ada atau yang akan ada.
Dengan masuknya tekhnologi maju dan kontak pertukaran kebudayaan dengan
peradaban luar bisa saja terjadi keadaan yang tidak harmonis atau malah menjadi
keadaan yang berubah kearah keseimbangan yang ada maupun yang baru.
Sayangnya budaya politik di Indonesia
sudah banyak dikotori oleh pengaruh negatif para aktor politik yang
menyalahgunakan kekuatan dan kekuasaannya. Contohnya yaitu, kita dikejutkan
oleh aneka peristiwa politik yang menampakkan wajah jelek dunia politik kita
kini: kerusuhan dalam rangka pilkada, bupati terpilih yang digugat, kongres
partai politik yang dinamakan islah,
tetapi penuh percekcokan, dan pernyataan tokoh-tokoh politik yang tidak jelas
maksud dan tujuannya, pengiriman parsel dan lain sebagainya.
Oleh karena itu seharusnya kita, generasi muda
yang harus memperbaiki budaya politik Indonesia menjadi lebih baik.
Karena sedikit banyaknya budaya politik mempengaruhi kehidupan
bangsa.
0 komentar:
Posting Komentar