Dalam sejarah administrasi publik Harold
Laswell melontarkan konsep
ilmu kebijakan dan pemakaiannya pada proses kebijakan. Dia yang memasukkan
istilah tersebut menjadi kosa kata kebijakan
publik walaupun bukan dia orang pertama yang menekankan pentingnya implementasi
kebijakan.
Sejak saat itu, implementasi kebijakan menjadi satu bidang kajian kesarjanaan .
Pada awalnya kajian ini hanya berupa pengenalan praktis tetapi seiring
perkembangan kajian ini menjadi semakin rumit dan hampir semua bidang terdekat
telah dimasukinya atau terkooptasi dengan kajian
implementasi ini misalnya Manajement Publik (Linn 1996) atau bertransmografi menjadi
bidang studi yang spesifik secara fungsional contoh kajian kebijakan
kesejahteraan. Makalah ini mengkaji perkembangan
implementasi kebijakan , kesesuaian antara teori dan definisi dengan beberapa
pernyataan publik.
Perkembangan
Implementasi Kebijakan: Generasi Ketiga Riset
Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan sedikit terbengkalai
sejak gagasan pertama Lasswell pada tahun 1950-an hingga awal tahun 1970-an.
Brewer dan P. deLeon (1983) berspekulasi bahwa
hal itu terjadi karena persepsi bahwa implementasi merupakan kajian yang sangat sulit
untuk dipelajari sebab penyelenggara bertindak di luar wewenangnya
sendiri tanpa menginformasikan pada pembuat kebijakan atau
sebaliknya asumsi bahwa penyelenggara secara otomatis melaksanakan kebijakan
apapun yang mereka terima. Kenyataan yang terjadi
bahwa kegagalan Presiden Johnson melawan kemiskinan
merupakan suatu bukti bahwa perhatian partisipan
pemerintah dan perhitungan analis kebijakan
kurang memadai…..”(dikutip
dari Brewer dan P. deLeon 1983, 249). Erwin Hargrove (1975) mengakui
permasalahan yang sama dan dalam suatu penjelasan kiasan, yang menyebutkan
kajian implementasi sebagai mata
rantai yang terputus.
Generasi pertama kajian implementasi selalu
terdiri dari analisa-analisa studi kasus yang dianggap muara permasalahan yang
meletakkan defenisi antara kebijakan dengan pelaksanaannya tetapi sedikit
mengenai teori implementasi umum. Jeffrey Pressman dan
Aaron Wildavsky menjelaskan secara luas bidang implementasi kebijakan dalam penerapan isinya. Dalam berbagai hal,
implementasi kebijakan terlihat seolah-olah dua kelompok dan bahkan sering
saling berseberangan satu sama lain misalnya yang satu mengoreksi
yang lain padahal mereka melakukan hal yang sama (misalnya, Allisn 1971).
Generasi kedua lebih bagus lagi dan teori yang
dibangun seperti Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier (1983), Robert Nakamura dan
Frank Smallwood (1980), dan pandangan luas Paul Berman (1980) mampu
membawa pandangan
empirisnya dan mengajukan serangkaian hipotesa arah kelembagaan dan komitmen
yang mengasumsikan arah perintah dan
kendali atau apa yang diketahui sebagai pandangan top-down. Dalam hal
ini mereka membawa ahli empiris melihat implementasi kebijakan, mencurahkan
diri untuk menemukan cara terbaik mengerakkan proposal kebijakan ke arah
kesuksesan. Model pengajuan mereka lebih sering diabaikan sebab
dianggap sebagai hasil ruwetnya masalah seperti halnya observasi Peter
Deleon . Pada generasi kedua ini mulai menjelaskan bahwa implementasi terjadi hanya ketika semua yang
mempunyai pengaruh aktif terlibat di dalam perencanaan dan pelaksanaan program.
Konsekuensinya, mereka mulai mengusulkan bahwa perlunya implementasi
menjadi suatu bagian dan bidang perhitungan rumusan kebijakan. Dalam pengertian
ini, mereka setuju dengan Brinton Milward (1980,247) yang
berpendapat
bahwa jika
riset kebijakan ingin meningkatkan prospek bagi suksesnya kebijakan, mereka harus memfokuskan riset
mereka pada hubungan antara pengaturan jadwal dan implementasi.
Malcolm L.Goggin dan koleganya (1990)
mengusulkan generasi ketiga kajian implementasi kebijakan pada teori dan praktek implementasi.
Mereka melihat dan menjelaskan kenapa perilaku berubah sepanjang waktu,
sepanjang kebijakan dan sepanjang satuan-satuan pemerintah serta perkiraan
bentuk perilaku implementasi yang mungkin terjadi selanjutnya. Boleh dikatakan
tujuan dari riset generasi ketiga adalah agar menjadi lebih ilmiah.
Pengetahuan lengkap
mengenai keruwetan implementasi pelaksana, penulis mengajukan sejumlah hipotesa
yang siap diuji (konsep teori permainan atau teori azas pelaksanaan) tetapi
harapan-harapan terombang ambing dalam ketidak pastian. Sebagai contoh:
hipotesa 12 negara bagian, negara bagian yang terbesar, pelaksana legimitimasi,
kredibilitas serta kapabilitas memajukan minat pada azas-azas, dan sedikit menjelaskan
istilah-istilah dan kalibrasi pengukuran.
Pada waktu yang sama, ilmuwan implementasi
mulai mengajukan teori kemungkinan sebagai cara penyesuaian dengan ruwetnya
kajian implementasi terdahulu. Dari pada membuat sebuah penerapan untuk semua,
ilmuwan-ilmuwan seperti Richard matland (1995), Helen Ingram (1990) dan
Denise Scheberle (1997) yang menyarankan bahwa kondisi berbeda memerlukan
strategi implementasi yang berbeda pula. Observasi terpenting lainnya dikumpulkan
dari teori Matland dan teori kemungkinan yang tidak memiliki satupun strategi
implementasi terbaiknya, strategi yang sesuai lebih kontekstual dalam istilah
apa yang menjadi kemungkinan dan bagaimana mereka bisa dibahas didalam kasus
implementasi.
Peter Deleon mengirimkan tulisannya pada
pertemuan tahunan asosiasi ilmuwan politik Amerika (Absa) pada tahun 1997, yang
berjudul “revisi mata rantai yang terputus: riset implementasi kontemporer”.
(deLeon 1999a). Di dalam tulisan ini ia mengkaji ulang beberapa literatur
kebijakan yang memfokuskan diri pada aturan dan pengaruh implementasi kebijakan
dari awal tahun 1970-an dan menyimpulkan semua usaha mengembangkan cara-cara
teori operasional implementasi. Dia mengklem bahwa “Kajian implementasi
kebijakan telah mencapai pemikiran yang matang” (hal 313). Observasi Deleon
benar-enar mengaburkan atau disebut juga pandangan yang benar-benar orisinil;
Helen Ingram (1990, hal. 462) telah banyak meraih kesimpulan yang sama pada
awal tahun 1990-an yang mana dia menulis “Meski meningkatnya jumlah pemerhati
kajian implementasi, telah memperbanyak hingga 18 penjelasan implementasi
kebijakan, tapi implementasi bidang tersebut belum mencapai konsep yang
benar-benar jelas” (lihat juga Garrett 1993; Matland 1995). Namun, gegap gempita
pengetahuan tentang hal ini meluas. Bulan Februari berikutnya James
Lester mengepalai sebuah diskusi ilmuwan-ilmuwan implementasi kebijakan
pada asosiasi ilmuwan politik barat yang mana (setidak-tidaknya) dirancang
untuk membahas tesis yang dikirimkan ke ABSA oleh deLeon seperti yang telah
disebutkan sebelumnya. Tetapi tak satupun konsensus bisa diraih, sebaliknya hal
ini hanya menampilkan harapan-harapan.
Perkembangan yang terjadi
terhadap kajian implementasi memberikan beberapa kesimpulan, diantaranya : Pertama, hubungan literatur yang baru saja
membahas implementasi kebijakan, kadang-kadang diberi judul kadang-kadang
tidak, yang seperti itu yang menjadi batasan dari kajian implementasi menjadi
kurang jelas. Kedua, rumitnya setiap implementasi yang diterima penulis yang
menjadi bagian dari porses-proses, teori kemungkinan (Matland 1995; Ingram
1990) boleh jadi ditujukan sebagai salah satu alat penjelasan yang mungkin. Dan
yang ketiga, tema utama tentang lemahnya teori konsensus implementasi yang telah
menjelaskan beberapa alternatif-alternatif atau pilihan-pilihan sebagai
penentang harapan-harapan atau kesempatan-kesempatan yang telah di perbaharui.
ASUMSI DAN DEFENISI
Kita harus mengetahui apa yang dimaksud
dengan implementasi kebijakan,
dan apa hubungan implementasi dengan langkah-langkah dari proses kebijakan
terutama rumusan kebijakan dan evaluasi program serta mempelajari
asumsi-asumsi dasar yang melandasi perbedaan mode analisis implementasi.
Mazmanian dan Sabatier (1983 hal 20-21)
menjelaskan mengenai implementasi sebagai berikut:” Implementasi melaksanakan keputusan kebijakan dasar, biasanya tergabung
di dalam sebuah undang-undang tetapi bisa juga diambil dari perintah eksekutif
atau mahkamah keputusan. Idealnya, keputusan tersebut mengidentifikasi
permasalahan-permasalahan menjadi pembahasan, menetapkan tujuan-tujuan yang
dicapai, dan dalam berbagai cara proses implementasi. Normalnya proses tersebut
berjalan dengan sejumlah langkah yang berawal dengan menempuh aturan-aturan
dasar, diikuti oleh output kebijakan (keputusan) pembawa implementasi,
pencapaian target dengan semua keputusan-keputusan, pengaruh keputusan yang
diambil, serta akhirnya revisi di dalam aturan-aturan dasar setidak-tidaknya
berusaha merevisi.”
Defenisi seperti itu (Lihat juga Bardach 1977
dan 1980) berusaha menangkap semua wilayah aktifitas implementasi dan di dalam
pengertian itu, berusaha merangkul lebih banyak permasalahan-permasalahan yang
melemahkan.
Sebagai contoh Meier dan Mcfarlane (1995) menguji model Mazmanian dan Sabatier
dengan serentetan tolak ukur dan menemukan bahwa beberapa hubungan yang
ditujukan signifikan secara statistik tetapi mereka memaksakan kesimpulan yaitu
Opersionalisasi beberapa variabel-variabel bebas yang bermasalah
dan beberapa tolak ukur masih sederhana, dan
terdapat jarak antara tolak ukur yang dipilih dengan konsep-konsep yang
dimasukkan di dalam variabel-variabel aturan tersebut.
Penjelasan yang memuaskan mestinya dibuat
untuk menyerderhanakan landasan konsep implementasi. Sebagai contoh penjelasan
Ferman (1990) menjelaskan bahwa implementasi adalah apa yang terjadi antar
harapan kebijakan dengan aset kebijakan yang dirasakan. O’Toole (2000, hal 266)
mengambil lampiran yang sama ketika dia menulis bahwa
“Implementasi
kebijakan adalah apa yang dibuat di antara pembuatan tujuan yang jelas yang
merupakan bagian dari pemerintah melakukan sesuatu atau berhenti melakukan
sesuatu, dengan pengaruhnya di lapangan”.
Asumsi yang sangat penting dalam implementasi
adalah pembuat kebijakan bisa satu orang atau lebih ketika ia
mengoperasionalkan kebijakan, pada dasarnya ketika banyak eksekutif terlibat maka
implementasi menjadi
komplikasi dalam menentukan pembacaan perintah yang benar dan pelaksanaan yang
akurat. Jika tidak memenuhi kriteria ini, sudah tentu implementasi
menjadi hal yang kacau balau. Krisis angkatan bersenjata Kuba pada tahun
1962, ketika Presiden Jhon F Kennedi dan sekretaris pertahanan Robert Mc Namara
memerintahkan angkatan laut mengisolasi Kuba pada jarak tertentu dari pulau,
angkatan laut tersebut memerintahkan kesatauan (tanpa memberitahu presiden)
memperluas jarak tersebut, diketahui bahwa jarak yang dekat akan memperlihatkan
kapal angkatan laut terhadap angkatan udara Kuba (lihat Allson 1971).
Singkatnya kedua sisi setuju mengisolasi (apa yang Mazmanian dan Sabatier
[1983] sebutkan dengan istilah mandat kebijakan) tetapi mereka memiliki
motivasi yang berbeda ketika melaksanakan implementasi perintah tersebut, dari
sini akhirnya tidak efektif. Ketidakjelasan perintah
tersebut menjadi kekacauan dalam implementasinya.
Kebanyakan ilmuwan
implementasi setuju dengan pentingnya evaluasi program sebagai kunci menjadi
implementasi yang baik (Mazmanian dan Sabatier 1983; Browne dan Wildavsky
1984), mereka melihat evaluasi sebagai suatu cara menilai program implementasi
dan membuat usulan-usulan bagaimana implementasi bisa ditingkatkan.
Implementasi kebijakan sering diperluas dalam kerangka proses kebijakan,
sebagaimana ilmuwan-ilmuwan cenderung memasukkan rumusan kebijakan ke dalam
bidangnya (lihat Nilward quotation, pada bagian terdahulu). Mereka memperbaiki
masalah implementasi dengan membahas asal usulnya pada permulaan kebijakan.
Sebagai contoh sebuah
kebijakan memerlukan suatu strategi adaptasi Berman(1980 ) maka hal ini akan
mengharuskan kajian permasalahan terhadap kebijakan yang terjadi. Pergerakan
analis implementasi mendekati yang lain-lainnya diistilahkan dengan rancangan
kebijakan . Permasalahan dasar rancangan kebijakan adalah memisahkan kebijakan
yang belum terjadi yang merupakan suatu kemampuan meramal kemungkinan masa
depan . Ekspansi ini benar-benar mulai menunjukkan bagaimana langkah proses
kebijakan muncul, untuk dimengerti oleh seseorang. Akumulasi ketidakpastian di
dalam masing-masing tahapan dan bagaimana mereka membayangkan implementasi
kebijakan juga menyajikan bagaimana sebuah teori implementasi .
Dalam kajian ini ada 2
asumsi dasar mengenai keberhasilan implementasi yaitu pelaksana dan
program-program yang berkemungkinan gagal. Keberadaan seseorang yang berwenang
menjadi salah satu perhatian khusus, oleh karena itu perlu meminimalisasi
kesalahan komunikasi antara orang atasan dengan bawahan. Dalam implementasi ,
program-program yang pernah gagal harus mendapat perhatian khusus agar tidak terjadi untuk
kedua kalinya. Kesimpulan : implementasi kebijakan top down cenderung
terlalu diharapkan, ketika dalam menghadapi kerumitan tidak mengecewakan.
Sangatlah mungkin beberapa sifat teori partisipasi akan menuntutnya sebagai
sebuah kenyataan. Kecenderungan ini tidak sama dengan kenyataan implementasi bottom-up.
Alasannya ialah implementasi merupakan refleksi dari ketertarikan umum.
Memiliki kebijakan yang ditentukan oleh pembuat kebijakan yang diawasi oleh
kelompok tertentu, singkatnya klien potensial mengajukan kebijakan yang secara
langsung memepengaruhi mereka, implementasi kebijakan bottom-up akan
cenderung menjadi lebih realistis dalam mempraktekannya, yang mana hal itu
memberi kesan bahwa memiliki hubungan kemana mereka akan dan bagaimana mereka
memilih. Lebih jauh arah bottom-up akan menjadi pendekatan yang lebih
kondusif dan demokratis untuk proses implementasi kebijakan dibandingkan dengan
model perintah atau top-down yang memerlukan sebuah diskusi besar dari
argumen yang mengkonsep aturan yang tidak berkesinambungan
antara satu dengan yang lain, juga orientasi yang lebih demokratis bagi
analisis implementasi.
ISU PARTISIPASI PUBLIK
Dalam
delapan tahun terakhir
sejumlah kebijakan ilmuwan telah membuat ringkasan pendekatan demokratis analisis
kebijakan dimana aturan-aturan memiliki suara yang lebih kuat dibandingkan
dengan kebijakan yang akan mempengaruhi mereka.
Memisahkan pendekatan demokrasi dengan
implementasi kebijakan secara langsung akan menurunkan arah orientasi top-down
dan
merupakan
ketidak-demokratisan dalam pendekatannya dibandingkan pandangan bottom-up.
Matland (1995) berpendapat bahwa wakil terpilih sama representatifnya dengan
masyarakat umum jika dibandingkan birokrasi jalanan,
yang kemudian
menjelaskan dan melaksanakan dalam bentuk pendekatan bottom-up. Sisi ini menjelaskan bahwa pendekatan bottom-up
dinilai lebih demokratis dibandingkan pendekatan top-down. Schneider dan Ingram
(1997) menekankan bahwa pendukung top-down merupakan jenis yang terbuang
jauh dari pandangan masyarakat, sebab Schneider dan Ingram mengartikan bottom-up mampu menggambarkan tentang
kebutuhan dan keinginan warga negara berdasarkan survei-survei dan
memfokuskan kelompok-kelompok yang berhubungan. Jarak psikologi antara pembuat
kebijakan top-down dengan warga negara cukup besar .
Selanjutnya jika pejabat lokal tidak
memberikan perhatian terhadap kebutuhan dan pendapat-pendapat masyarakat, maka
mereka bisa saja akan menemukan identitas profesional mereka
sendiri sebagai birokrasi jalanan.
Biasanya apabila pemerintah tidak sesuai dengan birokrasi jalanan dan birokrasi
jalanan terlalu keras terhadap pendapatnya maka polisi biasanya turut turun
tangan untuk memasukkan mereka kedalam penjara. Lin (2000) membuat menjelasan bahwa meski kasus
meningkat penghuni tahanan masih memiliki suara didalam pemerintahan. Jadi
untuk mengatakan birokrasi jalanan tidak responsif terhadap sikap dan kondisi
lokal kemudian dipilih mewakili kesalahpahaman yang serius terhadap tanggung
jawab profesi mereka. Sama halnya Matland tidak bisa mengimplikasikan bahwa
birokrasi jalanan dibuang dari kelompok para administrator
yang berada dibirokrasi federal atau badan pembuat undang-undang negara. Berry
, Portney, dan Thomson (1993) melalui kajian demokrasi penduduk kota penduduk Amerika menghilangkan pertikaian itu
dan
memunculkan bottom-up sebagai
pendekatan yang baik dengan pendekatan bentuk demokratis partisipan
(Barber 1984).
ANGGUR BEKAS DIDALAM BOTOL YANG BARU: PANDANGAN DIREKTORAT UMUM
Permasalahan legiminasi pemerintahan
sebagaimana yang disebut diatas bahwa secara undang-undang hukum tidak bisa
mendikte tindakan pemerinatah secara penuh, setiap hukum dan peraturan
memerlukan penafsiran. Keputusan tafsiran pemerintah ini mesti memiliki
legiminasi didalam demokrasi mesti berasal dari persetujuan yang memerintah.
Teori mengenai sumber
legitimisi pemerintah didalam implementasi kebijakan teori top-down dijelaskan
melalui pernyataan oleh Mmette Redford (1969 hal 70) mengenai eksploitasi
demokrasi: “Model sederhana ini menegaskan bahwa kontrol demokrasi mesti
berjalan melalaui satu garis lurus dari perwakilan masyarakat kepada semua yang
menjalankan kekuatan didalam pemerintahan yang sama. Garis tersebut berjalan
dari masyarakat menuju perwakilannya didalam kompres dan kepresidenan, dan dari
sana presiden sebagai kepala pelaksana selanjutnya ke departemen, dan terus ke
kantor-kantor, diteruskan ke satuan-satuan yang lebih rendah dan seterusnya
hingga ujung pemerintahan.”
Dua dekade sebelum Redford , bidang
pemerintahan publik Dwight Waldo telah memaksa keinginan demokrasi. Pada
tahun 1948 dia mempublikasikan petunjuknya yaitu administrasi pemerintahan,
sebuah kritikan yang kemudian disebut dengan manajemen pemerintahan,
merupakan sebuah pandangan yang menyokong pemisahan pemerintahan dari politik,
suatu penekanan terhadap efesiensi, dan mengimport teknik pemerintahan dari
bisnis pribadi. Ide Waldo merupakan teori pemerintahan yang diperlukan seperti
halnya teori politik, dan penerimaan asumsi undang-undang manajemen pemerintah
yang menolak nilai-nilai demokrasi. Seperti halnya Denhardt (1984 hal 6)
menulis Waldo melihat otoriter, yang menekankan kepada hirarki, pengendalian
displin sebagaimana pembatasan, pengembangan teori pemerintahan demokrasi.
Waldo tidak banyak menyokong secara langsung keterlibatan warga negara didalam
implementasi program sebagai dukungan terhadap profesionalisme pejabat publik
mesti dipercaya pelindungi kebutuhan mereka (1980 hal 78).
Paul H. Appleby (1949; lihat juga Martin 1965)
berbeda pendapat denganWaldo, tetapi dia juga menghakimi siapa-siapa yang
memisahkan politik dari pemerintahan. Appleby melihat pemerintahan sebagai
proses politik yang tidak bisa dilepasakan, pada kedua tingkat kebijakan
(menasehati legislatif terhadap pilihan kebijakan) dan juga pada tingkat
program (pemakaian diskresi pemerintah didalam proses implementasi). Kontribusi
Appleby terhadap analisis diskresi adalah padangannya secara normal, alami dan
diinginkan: padangan pekerjaan birokrasi jalanan bekerja mengecek secara
serampangan kekekuatan birokrasi.
Bagi ilmuwan kebijakan
publik, pendekatan demokrasi langsung menjelaskan suatu penerjemahan atau
pendekatan post-positif yang mengistilahkan “Rasionalitas komunikatif”.
Habbermas menyajikan strategi yang tidak berkesinambungan yang membahwa isu-isu
seperti bagaimana masyarakat sampai kepada perubahan sosial dan mempelajari
kebijakan melalaui tulisan-tulisan dan percakapan sosial, seolah-olah
bertentangan dengan wakil-wakil yang pembuat kebijakan . Haberman menjelaskan
bahwa dunia sosial dan politik menderita akibat distorsi sistem komunikasi . Sistematika
distorsi komunikasi Habbermas menyajikan konflik masa lalu antara pemerintah ,
anggota perwakilan beserta pejabat birokrasi dengan warga negaranya. Hal itu
tidak akan mempengaruhi strategi implementasi kebijakan, khususnya pengajuan
yang dianut oleh top-down. O’Toole (2000 hal 283) mengobservasi dan
menginfestigasi top-down dan bottom-up yang direngkingkan dengan tingkat
demokrasi yang berbeda. Dia melanjutkan dengen menegaskan bahwa pencapaian
terhadap pendekatan implementasi membangun teori normatif demokrasi yang akan
menghasilkan agenda yang memuaskan tetapi hal ini bukanlah kasus yang menarik
didalam teori demokrasi yang hingga kini telah diabaikan. Kebanyakan akademisi
secara intelektual dilengkapi dengan konsep-konsep sehingga relatif mudah untuk
mengkritisi pendekatan yang ada berdasarkan implementasi kebijakan, juga untuk
lemahnya substantif ataupun untuk konsep-konsep yang mereka janjikan.
PENDEKATAN DEMOKRATIS TERHADAP IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN
Demokrasi jauh lebih
baik dari pada tidak demokrasi. Pendekatan demokrasi terhadap implementasi
kebijakan akan menjangkau kerangka proses kebijakan dalam memasukkan
pertimbangang rumusan kebijakan seperti menjelaskan tujuan kebijakan
dengan membicarakannya dengan partai-partai yang
berpengaruh sebelum kebijakan tersebut diambil oleh
pembuat kebijakan.
Pemakaian
prinsip-prinsip demokrasi dalam mengimplementasikan teori perlu suatu
kesepahaman mengenai kemungkinan memerintahkan sebuah pilihan strategi.
Warganegara terlibat di dalam proses-proses pemerintahan (termasuk perwakilan
dari partai politik, pembuat kebijakan dan pemerintah) menggunakan berbagai
bentuk bahkan dengan pedoman umum yang lebih demokrasi sedikit lebih baik, di
antara pilihan-pilihan tersebut. Beberapa matrik kemungkinan diusulkan membantu
memperluas ilustrasi, contohnya dengan menggunakan matrik
keraguan/konflik Matland (gambar1).
Gambar 1
Matrik konflik-keraguan : proses implementasi kebijakan
KERAGUAN
|
Rendah
|
Tinggi
|
Rendah
|
Implementasi Pemerintah
|
Implemetnasi Politik
|
Tinggi
|
Implementasi Percobaan
|
Implementasi Symbolik
|
Seperti yang telah kita catat di awal,
terdapat hari-hari kerja yang penuh dengan prosedur atau kebijakan pemerintahan
dan keputusan-keputusan yang mana implementasi dirancang secara mendasar dan
disimpulkan tanpa rintahangan. Ukuran dari keraguan dan konflik bisa dikatakan
rendah. Singkat kata, inilah pernyataan Matland, implementasi pemerintah,
dan saat implementasi tersebut penting di dalam fungsional pemerintahan
sehari-hari mereka tidak memperdebatkan. Implementasi di dalam kotak ini
merupakan latihan dasar dalam mempraktekan pemerintahan publik secara biasanya
dalam kaitan konflik dan keraguan pada tingkat rendah.
Di dalam kotak keraguan rendah/tinggi – apa
yang diistilahkan Matland dengan implementasi politik – bisa terjadi
ketidaksetujuan pada tujan-tujuan kebijakan. Kemungkinan lain, jika para pemain
setuju dengan apa yang terjadi dengan kemajuan (bisa dikatakan pendidikan
publik) sangat mungkin terjadi ketidakpastian (cenderung kepada konflik).
Sebagai cara terbaik dalam mencapai tujuan-tujuan ini (voucher, bus, piagam
sekolah, belajar dirumah, privat dll). Didalam kalimat Matland (1995 hal 163; emphasis
in original): “Prinsip pokok dalam implementasi politik adalah bahwa hasil
implementasi diputuskan dnegan kekuatan”. Di gelanggang seperti itu,
implementasi berbahaya kecuali kalau kompromi bisa dibuat. Arah demokasi ingin
menghindari kekerasan apabila mungkin. Di dalam kotak ini tujuan-tujuan yang
paling efektif bagi tujuan ini akan mengatasi atau meniadakan apa yang kita
jelaskan terdahulu dengan “Gangguan komunikasi secara sistematis”, yang
mana kelompok yang berkuasa sukses mencapai tujuan (sebagai contoh melalui
monopoli imformasi teknik atau kewenangan). Dan ini merupakan penyelesaian
terbaik pada lingkungan yang tidak komunikatif saat kurangnya komunikasi
menjadi pendekatan yang terus-menerus, jumlah waktu yang terjdai terpakai
dengan mudah diturunkan jika sedikitnya komunikasi itu mengurangi
perselisihan yang sebaliknya terjadi selama implementasi berikutnya. Matland
berpendapat bahwa orientasi atasan-bawahan adalah yang terbaik mampu
menangkap elemen-elemen kekuatan di dalam otak tetapi kita membuktikan bahwa
metoda demokrasi menghasilkan hal yang lebih baik, hanya sedikit memperdebatkan
keputusan. Ini contoh pilihan Matland didalam kotak ini tidaklah benar-benar
mendukung, sebagai pendidikan publik masih terdapat kerancuan.
Didalam kotak konflik keraguan tinggi/rendah
(implementasi eksperimen), “hasilnya akan sangat tergantung kepada
pelaku-pelaku yang terlibat dan yang paling aktif, prinsip utama yang
mempengaruhi jenis implementasi ini adalah “kondisi kontekstual yang
mendominasi proses” (Matland 1995 hal 165-166; emphasis in original)
sebagai contoh yang baik adalah pembersihan udara pada tahun 1970.
Terdapat ketidakpastian umum (sebagai contoh tujuan, teknologi, dan
taktik), tetapi partisipan nampaknya setuju dengan mereka dengan
nilai-nilai kebijakan. Ketika kotak ini secara umum mencapai (cepat atau
lambat) suatu solusi implementasi, bagian dari solusi tersebut merupakan
sesuatu yang diketahui yang ditampilkan dikotak ini dengan implementasi
eksperimen, yang terus-menerus mengoreksi realisasinya dari evaluasi
perkembangan. Singkat kata, saat hasil-hasil tersebut dicampur adukkan, suatu
konsensus aktivitas tersebut dikenal dengan waktu izin ekperimen dan
pembelajaran kebijakan. Matland (1995 hal 167) berpendapat bahwa “penjelasan
proses implementasi kebijakan atasan-bawahan lebih unggul terhadap atasan-bawahan
didalam menjelaskan kondisi-kondisi pada kategori ini….. model atasan-bawahan
menekankan perintah pengendalian serta keseragaman tetapi gagal memasukkan
perbedaan yang banyak terjadi didalam implementasi”. Dari sini akan tampak
seolah-olah pendekatan demokrasi – yang mana isu-isu keraguan ini jika
didiskusikan sebelum diambil – akan menjadi strategi yang lebih cocok terhadap
kebijakan yang mengeisi kotak ini.
Kotak terakhir – campuran keraguan tinggi
denagn tingkat konflik yang tinggi – merupakan yang paling sulit membahas
strategi implementasi. Konflik didalam kongres ini diatas hubungan yang
layak merupakan contoh yang lebih baik, menggabungkan unsur-unsur konstitusi
(melibatkan negara dengan gereja) bbeserta ketidakpastian diantara berbagai
fraksi-fraksi keagamaan serta penganut-pengan seseorang bisa membayangkan usaha
EDA membantu para pekerja di Oakland (Pressman dan Wildavsky 1974) bisa
ditempatkan dalam kotan ini. Contoh ini mengkompromikan kasus
pembangkangan yang Matland maksud dengan implementasi simboli, yang
muncul bagi orang-orang yang tidak banyak berharap disini. Implementasi
kebijakan dikotori dengan hubungan sebab akibat ini (sebagai contoh hampir
seluruh perang terhadap kemiskinan, model perkotaan ataupun pendukung
pembersihan lingkungan).
Linn deLeon (1993 dan 1998) menggunakan
kerangka kerja yang sama dengan Matland dalam menjelaskan tipe-tipe yang
berbeda dibawah kondisi keraguan serta konflik yang bervariasi, dia berpendapat
“ semakin anarkis situasi yang terjadi….. semakin benar bahwa partisipasi
menjadi yang paling sesuai menjadi tujuan yang mempertalikan tingkatan
organisasi dengan elemn-elemen publik (hal 552; emphasis in original).
Situasi yang tidak terstruktur, kondisi-kondisi yang berubah serta respon
kebijakan diuji cobakan. Satu-satunya cara ynag berpengaruh yang bisa memonitor
situasi ini dan memaksa pengaruh apapun untuk tetap terlibat dan ikut
berpartisipasi secara terus-menerus didalam proses ini. Didalam pasangan kotak
interaktif ini, demokrasi mesti menjadi lebih meresap dan langsung dirasakan
dibandingkan dengan metoda yang lainnya.
Argumen lemah terakhir didalam pendekatan
demokrasi adalah begitu banyak kebijakan-kebijakan yang diambil secara tepat –
seperti kerangka waktu yang bisa diterima – yang terjadi pada rezim
implementasi saat ini. Kegagalan yang amat sangat
dari pemerintahan Reagan (seperti kongres, ia sendiri menjadi pilar yang
membangun prwakilan demokrasi) berkonsultasi dengan menteri kesehatan
masyarakat.
Kesimpulan
Artikel ini menjadi tema terbaru implementasi
kebijakan, menawarkan metode-metode alternatif dalam mempelajari dan
mempraktekkan rancangan implementasi. Tetapi sedikit keraguan masih banyak
dilakukan khususnya pada pendekatan internal demokrasi. Selanjutnya seperti
yang telah kita usulkan, riset implementasi telah mencapai langkah-langkah yang
bisa menentukan pilihan berdasarkan kemungkinan-kemungkinan strategi
implementasi terdapat kondis-kondisi implementasi dimana pendekatan demokrasi atasan-bawahan
tidak disarankan sama halnya Matland (1995 hal 150) yang menyatakan
kritiknya terhadap analisis bawahan-atasn, “struktur
institusi, sumber-suimber yang tersedia, beserta akses-akses terhadap bidang
implementasi mungkin ditentuakan secara terpusat serta substantif bisa
mempengaruhi hasil kebijakan” (lihat Sabbatier 1986). Tetapi kita sependapat
bahwa identifikasi kemananan nasional, krisis dan kegentingan politik
tidak secara otomatis diidentifikasi sebagai kondisi demokrasi yang mesti
disingkirkan : sangat sering otomatis ini diterjemahkan dengan sesuatu yang
lumrah. Mungkin juga terdapat kondisi dimana pendekatan demokrasi menjadai
strategi yang dominan. Sebagai akibatnya, kita dipaksa untuk memilih seperti
berikut: ketika sebuah strategi implementasi kebijakan dirancang, pendekatan
demokrasi mesti menjadi pilihan yang dipilih. Implementasi mesti mengikuti
prosedur-prosedur demokrasai (didalam praktek demokarasi secara langsung)
kecuali analisa memperlihatkan terdapat model-model yang lain (sebagai contoh
orientasi atasan-bawahan atau orientasi berdasarkan perintah,
implementasi). Didalam teori yang lebih berimbang Borden membuktikan teori
implementasi kebijakan dengan praktek mendasari semua ilmuwan-ilmuwan yang
bergerak dari proses-proses demokrasi.
Terdapat pertanyaan yang penting yang diajukan
dan dijawab sebelum demokrasi diketahui secara luas; keraguan yang sama
diperdebbatkan didalam forum analisis kebijakan partisipan (P. deLeon, 1997;
Lyen 1999; Weimer 1998). Kita tidak memiliki sumber-sumber isu yang diuji,
komitmen politik, tingakt pemerintahan, insetif birokrasi ataupun pusat
variabel implementasi lainnya. Apakah yang mungkin dipertanyakan yang
menjalankan aturan dari waktu ke waktu? (situasi krisis vs situasi normal) atau
pengadilan? Apa ukuran yang diberikan terhadap efesiensi vs efektivitas,
sebagai mana yang ditampilkan oleh pendukung manajemen publik baru? Secara
lebih substantif O’Toole dan Montjoy (1984; lihat juga Hall dan O’Toole 2000)
telah mengobservasi bahwa implementasi biasanya merupakan suatu aktifitas
banyak kelompok, kondis tidak dibahas disini lebih jauh, hal itu menjadi
kebodohan dalam mengasumsika bahwa sederana merangkul orang-orang dalam satu
ruangan (atau stadion) mendiskusikan rumusan kebijakan dan implementasi yang
akan ditemui didalanm sustu pemikiran, sekalipun mereka menganut pemikiran
Habbermas. Secara langsung masyarakat bisa dan akan menolak beberapa
pengadilan. Setidak-tidaknya, institusi bisa merancang yang akan meningkatkan
dan melindungi diskusi sosial (Ortrom 1998). Sangat penting, mengenai penerapan
sehari-hari bagaimana sejumlah permasalahan diputuskan? Singkatnya, tidak
terdapat kecurigaan adanya magic implementasi. Elemenn-elemen ini dan elemen
yang lainnya mendapat keuntungan dari penerapan yang lebih besar tetapi semua
itu setara dengan perhatian kita bahwa pendekatan demokrasi terhadap
implementasi kebijan mestinya menjadi sebuah fokus utama penceraha
implementasi.
Artikel ini mendasari asal usul tabel
impelementasi kebijakan, yang mendukung kerangka demokrasi, dengan pemahaman
yang akan dilihat sebagai variabel pertimbangan. Hal itu tidak dimasukkan untuk
menjadi akhir dari semua atau hanya itu semata, yang dirancang untuk memutuskan
semua dilema implementasi. Jika kita pelajari sedikit lagi dari satu dekade
yang lalau tentang kajian implementasi kebijakan, kita akan tahu bahwa sebuha
ukuran tidak akan pernaha sesuai bagi semuanya dan ketika kita menghadapi
kondisi-kondisi tertentu, kita lebih baik mencoba memahami isu-isu khusus
dibandingkan kita mengajukan beberapa bentuk dari teori gabungan dari teori
yang umum. Kita percaya bahwa pendekatan demokrasi terhadap implementasi
kebijakan memerlukan tempat ditabel tersebut.
Apa Yang Pernah Terjadi Pada Implementasi Kebijakan?
Sebuah Pendekatan Alternatif
Peter deLeon dan Linda deLeon
Universitas Kolorado, Denver
0 komentar:
Posting Komentar