Senin, 18 November 2013

Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara nomor 04 tahun 2007

Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara nomor 04 tahun 2007 tentang Pedoman Umum Formulasi, Implementasi, Evaluasi Kinerja, dan Revisi Kebijakan Publik Di Lingkungan Lembaga Pemerintah Pusat dan Daerah.

Kebijakan dalam pengertian ini adalah kebijakan yang memiliki 6 prinsip dasar yaitu:
1) Cerdas merupakan mampu memecahkan masalah publik secara manfaat, akuntabel dan kualitas.2) Bijaksanya yaitu tidak memunculkan masalah baru, 3) Memberikan harapan untuk masa depan yang lebih baik, 4) Kepentingan publik berupa kepentingan umum bukan kelompok/golongan atau pemerintah, 5) Mampu memotivasi semua pihak dan 6) Mendorong peningkatan produktifitas.

Tujuan Peraturan ini adalah sebagai pedoman umum bagi aparatur pemerintahan baik daerah dan pusat dalam pembuatan kebijakan sehingga kebijakan yang tercipta terintegritas dan terarah. Sasaran kebijakan ini adalah agar aparatur pemerintahan memiliki kecakapan . Lingkup peraturan ini adalah prinsip penyusunan kebijakan, bentuk, stratifikasi , sifat kebijakan, langkah formulasi, implementasi, evaluasi dan revisi kebijakan.  Kebijakan Publik harus memenuhi beberapa unsur yaitu dilakukan oleh pemerintah atau lembaga pemerintah, bertujuan mengatasi masalah atau memiliki tujuan untuk kepentingan dan manfaat orang banyak. Sehingga ketiadaan unsur salah satunya akan menyebabkan kebijakan tersebut tidak sesuai dengan kaidah kebijakan publik yang sesungguhnya. Kebijakan Publik berbentuk kebijakan yang terkodifikasi formal dan legal serta segala pernyataan pemerintah/lembaga pemerintah secara lisan termasuk pernyataan kepada media massa. 


Bagaimana membedakan antara pejabat publik yang mengatas namakan institusi atau hanya berupa pendapat pribadi? Apakah yang dilontarkan pejabat publik merupakan kebijakan publik atau hanya masih berupa wacana baik wacana institusi maupun wacana pribadi? Dalam bentuk kebijakan publik dijelaskan bahwa pernyataan pejabat publik harus memenuhi kriteria sebagai berikut  1)kebenaran diakui secara  legal dan material, 2) apabila bersifat mendesak untuk diimplementasikan maka harus sudah dikomunikasikan dengan struktur dan lembaga dibawahnya serta 3) serta apabila masih berupa konsep, rencana dan wacana harus dijelaskan secara eksplisit dan jelas bahwa yg dinyatakan masih berupa konsep, rencana dan wacana.

Peraturan ini bertujuan untuk mengontrol kondisi yang terjadi di Indonesia saat ini. Negara Republik Indonesia telah lama memasuki era reformasi yaitu sebuah era yang diharapkan mampu menjawab beragam persoalan masyarakat. Pada kenyataannya masih banyak terdapat kecurangan-kecurangan terutama pada administrasi seperti halnya korupsi masih dominan terjadi hingga menyebabkan banyak kerugian Negara dalam mensejahterakan rakyatnya. Dengan adanya PERMENPAN nomor 4 tahun 2007 sebagai pedoman/pegangan umum dalam tindakan pemerintah dalam kebijakan.

Korupsi menurut Arvind K. Jain, korupsi yang dilakukan oleh political leaders dalam penetapan kebijakan publik jika dibandingkan dengan praktik korupsi lain, termasuk kedalam grand corruption, yakni praktik korupsi yang  berdampak luas dan berkepanjangan bagi masyarakat, dimana political leaders menggunakan kekuasaannya untuk menetapkan sebuah kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir pihak saja, hingga harus mengorbankan jutaan masyarakat, bahkan tak jarang kebijakan yang menguntungkan segelintir pihak tersebut pada akhirnya harus merubah sistem penyelenggaraan pemerintahan yang ada,

Menanggapi permasalahan korupsi ini perubahan dalam proses kebijakan publik mutlak dibutuhkan dan salah satu cara yang efektif untuk merubah kondisi tersebut adalah merumuskan kembali formula kebijakan publik dengan kontrol yang efektif dari masyarakat, perbaikan manajemen organisasi publik. Di sisi lain, peraturan menteri negara PAN nomor: PER/04/M.PAN/4/2007 juga masih memberikan peluang terhadap praktik korupsi, dengan mengesampikan peran masyarakat. Dari kondisi tersebut, maka dibutuhkan penguatan posisi masyarakat dalam proses formulasi kebijakan publik sesuai dengan peraturan menteri yang berlaku, serta melakukan perubahan pola-pola pemikiran teknokratis dan birokratis dalam prosesnya.

William N. Dunn mengemukakan mengenai konsep dasar dari kebijakan publik. Dunn mengatakan bahwa kebijakan publik merupakan bagian dari disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai macam metodologi dan sejumlah argumentasi guna menghasilkan dan transformasi informasi kebijakan yang relevan yang akan digunakan dalam peraturan politik untuk mengatasi persoalan kebijakan.9 Definisi tersebut lebih mengedepankan sifatnya yang teknokratis, hal tersebut terlihat dari adanya keharusan untuk transformasi segala macam informasi yang terdapat di dalam sebuah kebijakan yang sangat diperlukan untuk menyelesaikan persoalan publik.

Dalam pengertian singkat pemikiran teknokratis dalam sebuah kebijakan adalah kebijakan yang mengabaikan sisi-sisi kultur dan sosial, ia semata hanya mengandalkan perhitungan logis, matematis, dan formal.

Perubahan yang dilakukan antara lain, melibatkan masyarakat dari pembentukan panitia ad hoc perumus kebijakan publik hingga pengesahan; penyetaraan otoritas serta wewenang antara berbagai unsur yang terlibat dalam proses tersebut melalui peraturan perundangan, khususnya keputusan menteri, hingga masyarakat mampu memiliki wewenang yang setara dengan pihak lain; lantas penyatuan forum-forum publik, dimana para ahli, birokrasi serta masyarakat berada didalam satu forum untuk membahas rancangan kebijakan publik; perubahan pola komunikasi serta tindakan didalam proses kebijakan publik, dimana tindakan diarahkan menuju pola tindakan komunikatif, dalam terminologi Habermas; adanya musyawarah mufakat yang berorientasi pemahaman dan kesatuan sosial; pengejaran konsensus yang mampu diterima oleh semua elemen yang terlibat dalam formulasi publik; hingga perubahan mekanisme perwakilan serta pemilihan perwakilan dari masyarakat untuk menjadi wakil dan terlibat dalam formulasi kebijakan publik.

Dari beragam perubahan tersebut, proses formulasi publik setahap demi setahap akan menjadi bersih dan transparan dengan kontrol yang efektif dari masyarakat. Kontrol pada akhirnya mampu berjalan dengan efektif, dikarenakan banyaknya perubahan-perubahan yang terjadi, dimana perubahan tersebut semakin menguatkan peran masyarakat. Dalam konteks ini, etika penyelenggara pemerintahan akan tumbuh seiring dengan menguatnya peran kontrol dari masyarakat, sebab etika bukanlah sesuatu yang taken for granted, melainkan dikonstruksi serta direproduksi. Salah satu jalan efektif mereproduksi etika, hingga akhirnya menjadi nilai yang melekat pada para penyelenggara negara adalah dengan terus menguatkan posisi masyarakat dalam mengontrol formulasi kebijakan publik, hingga akhirnya penyelenggara negara akan terbiasa dengan konsistensi, nilai-nilai keterbukaan, transparansi, partisipasi dan deliberasi.

Formulasi Kebijakan Publik dan Praktik Pelibatan Masyarakat
Dalam peraturan menteri negara pendayagunaan aparatur negara, nomor: PER/04/M.PAN/4/2007 tentang pedoman umum formulasi, implementasi, evaluasi kinerja dan revisi kebijakan publik di lingkungan lembaga pemerintah pusat dan daerah, tergambarkan mekanisme formulasi kebijakan publik sebagai berikut,
Description: E:\AKIP\proses formulasi kebijakan publik PerMenPan 04 tahun 2007.JPG




Dengan adanya peraturan tersebut mengisyaratkan bahwa proses formulasi kebijakan publik harus mengikutsertakan masyarakat, terutama kelompok yang mendapatkan keuntungan langsung dari sebuah kebijakan, maupun yang akan mendapatkan dampaknya.

namun dalam hingga kini dalam praktiknya masih belum berjalan dengan baik.

Identifikasi beberapa butir dari Peraturan Menteri PAN nomor: PER/04/M.PAN/4/2007, yang masih menutup akses masyarakat terhadap berbagai informasi serta analisa dari sebuah kebijakan publik, antara lain:
1)      poin pembentukan tim penyusun formulasi kebijakan publik (poin B),
2)      proses publik ketiga (poin F) dan
3)      proses publik keempat (poin G)

yang masing-masing menyebutkan bahwa tim penyusun kebijakan yang bersifat ad hoc hanya terdiri atas pejabat birokrasi terkait dengan kualifikasi keilmuan tertentu. Lantas, proses publik ketiga merupakan proses diskusi dengan berbagai elemen masyarakat yang terkait langsung dengan sebuah
kebijakan publik atau kelompok sasaran kebijakan publik yang akan diformulasikan. Proses publik keempat merupakan diskusi dengan beragam elemen masyarakat luas, layaknya LSM, tokoh masyarakat, asosiasi dan kelompok tertentu, tujuannya untuk mendapatkan masukan-masukan terkait sebuah kebijakan.

Dari ketiga poin diatas, terepresentasikan proses formulasi kebijakan publik yang bercorak teknokratis dan birokratis, dimana hanya para ahli dengan kualifikasi tertentu dan berasal dari kalangan birokrasi saja yang masuk ke dalam tim penyusun, tanpa adanya unsur dari elemen masyarakat, diluar birokrasi. Padahal, di proses awal ini, terdapat informasi yang harus diketahui masyarakat secara luas, terutama mengenai tujuan umum, capaian, analisa dampak serta besaran dana dari sebuah kebijakan publik. Lantas, dalam proses publik ketiga dan keempat, posisi masyarakat hanya sebagai subordinat dari birokrasi, sebab masyarakat tidak memiliki otoritas apapun atas kebijakan yang akan dirumuskan, hanya memiliki kewenangan untuk memberikan masukan dan kritik bagi draft kebijakan publik, tetapi tidak memiliki hak untuk menolak draft tersebut.

Dari penjelasan atas ketiga butir diatas dapat disimpulkan mengenai keterlibatan secara formal dari masyarakat, dan memiliki hak serta otoritas yang seimbang.

1 komentar:

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com