Sabtu, 09 Maret 2013

Aplikasi budaya politik di Indonesia


Budaya politik merupakan salah satu aspek penting dalam sisitem politik yang dikenal dengan political culture,  yang mencerminkan faktor subjektif. Budaya politik adalah keseluruhan  dari pandangan- pandangan politik  seperti norma – norma , pola-pola, orientasi terhadap politik dan pandangan hidup umumnya. Budaya politik  mengutamakan dimensi pysikologi dari suatau sisitem politik yaitu sikap-sikap, sistem-sistem kepercayaan, simbol-simbol yang dimiliki oleh individu-individu dan beroperasi di dalam seluruh masyarakat serta harapan –harapannya. Misalnya, kegiatan politik seseorang tidak hanya ditentukan oleh tujuan-tujuan yang diinginkannya tetapi juga oleh harapan politik yang dimilikinya dan oleh pandangannya mengenai situasi politik. Sedangkan menurut Almond dan Alba kebudayaan politik suatu bangsa sebagai distribusi pola-poal orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu.

Budaya politik dalam suatu masyarakat dipengaruhi oleh sejarah perkembangan dari sistem, oleh agama yang terdapat dalam masyarakat tersebut, kesukuan, status sosial, konsep mengenai kekuasaan kepemimipinan dan lain-lain. Umumnya terdapat 4 variabel dalam sistem politik, yaitu:
v   Kekuasaan → sebagai cara untuk mencapai hal yang diinginkan antara lain membagi sumber-sumber diantara kelompok dalam masyarakat.
v   Kepentingan → tujuan-tujuan yang dikejar oleh pelaku-pelaku atau kelompok politik.
v   Kebijaksanaan → hasil dari interaksi antara kekuasaan dan kepentingan, biasanyan dalam bentuk undang-undang.
v   Budaya politik → orientasi subyektif dari individuterhadap sistem politik.

Istilah budaya politik mulai dikenal terutama sejak aliran perilaku (behavioralism). Namun istilah ini mengandung kontroversial karena tidak jelas konsepnya. Para pengkritiknya menyebutkan, penggabungan dua konsep budaya dan politik saja sudah mengandung kebingungan apalagi jika dijadikan konsep menjelaskan fenomena politik.
Namun demikian dalam literatur politik khususnya pendekatan perilaku, istilah ini kerapkali digunakan untuk menjelaskan fakta yang hanya dilakukan dengan pendekatan kelembagaan atau pendekatan sistemik. Dengan kata lain menjelaskan dengan pendekatan budaya politik adalah upaya menembus secara lebih dalam perilaku politik seseorang atau sebuah kelompok.
Meskipun pengertian budaya politik masih kabur, namun berbagai pandangan yang muncul dari pakar politik memperlihatkan upaya untuk menguraikan soal pelik ini. Dari berbagai pendapat itu memang terlihat bahwa bidaya politik terkait dengan sesuatu yang abstrak dalam kehidupan politik. Namun kehidupan yang abstrak itu memang ada dan kadang-kadang dalam praktek mendominasi proses politik.   

Dalam bidang comparative politics, kajian budaya politik memang sempat tertinggal. Padahal, di masa jaya bidang studi comparative politics tahun 1950-an dan 1960-an, penekanan kajiannya lebih banyak pada budaya politik. Agaknya karena di masa-masa itu kajian comparative politics amat di dominasi paradigma modernisasi, dimana persoalan budaya politik dianggap merupakan bagian inheren dari proyek modernisasi.
Kajian budaya politik kemudian ditinggalkan karena beberapa sebab, diantaranya:
*        konsep budaya politik terlalu abstrak alias vague. Persoalan yang ditimbulkan dari abstraknya konsep budaya politik ini antara lain adalah persoalan menentukan unit analisa. Atribut budaya politik harus diasosiasikan pada level mana: kultur individu, kelompok atau negara? Jika pada level individu, apakah dia bisa digeneralisasi? Kalau pada level negara, apakah dia mencerminkan individu?  Bila diletakkan dalam konteks kelompok (etnis atau relijius misalnya), bagaimana menjelaskan variasi kultur kelompok yang satu dengan yang lainnya? Persoalan selanjutnya yang ditimbulkan karena terlalu abstrak adalah variabel budaya sering diperlakukan sebagai variabel residu. Artinya, variabel kultur menjadi the last resort, kalau variabel lain tidak mampu menjelaskan sebuah fenomena. Alias, kalau sudah mentok dan otak sudah malas berpikir, tinggal bilang: “yah emang udah budayanya begitu”
*        Sebab kedua ia ditinggalkan adalah bahwa politik selalu dikaitkan dengan political correctness. Artinya, budaya politik cenderung dijadikan alat untuk menyalahkan keadaan. Misalnya, bila sebuah masyarakat gagal membangun demokrasi, maka budaya dijadikan kambing hitam latar belakang gagalnya demokrasi itu.

Sejak tahun 1990-an, kajian budaya politik kembali mendapat perhatian dari para comparativists. Ada beberapa penyebabnya berkembangnya kajian politik, yaitu:
©         Mulai tersedianya data set global mengenai budaya, seperti data dari World Value Survey. Tersedianya data set ini memungkinkan budaya politik dikaji secara lebih saintifik dengan dukungan data empirik. Sehingga, kajian budaya politik tidak lagi menjadi kajian yang vague dan abstrak.
©         Munculnya karya-karya akademis yang solid dan lebih kaya mengenai budaya. Ada dua ilmuwan yang sering disebut dalam hal ini. Pertama adalah Robert Putnam dengan bukunya Making Democracy Work (1993). Selama satu dekade Putnam melakukan penelitian, ia membandingkan Italia bagian utara dan selatan dan dia sampai pada kesimpulan bahwa Italia sebelah utara lebih makmur dan demokratis karena densitas network dan asosiasi kemasyarakatan di sana jauh lebih tinggi daripada Italia wilayah selatan. Penyebabnya adalah kepercayaan (trust) antara anggota masyarakat di Italia sebelah utara jauh lebih tinggi. Selanjutnya, trust menjadi social capital yang membentuk basis bagi civil society. Sementara di Italia selatan, berkembang apa yang disebut oleh Banfield sebagai amoral familial , dimana orang hanya mempercayai anggota keluarganya. Keadaan semacam ini menjadi lahan amat subur untuk nepotisme dan terbentuknya masyarakat yang tertutup.
Ilmuwan kedua adalah Ronald Inglehart yang melakukan banyak kajian mengenai budaya politik dengan data empirik, antara lain dengan menggunakan dataset dari World Value Survey itu. Ada artikel Ingelhart yang seru, judulnya Trust, Well-being and Democracy. Walaupun ada beberapa kritik untuk tulisan itu, tetapi artikel ini cukup memprovokasi pikiran.
Salah satu temuan Inglehart adalah mengenai tingkat interpersonal trust yang dihubungkan dengan tradisi agama dan budaya serta tingkat pembangunan ekonomi. Ingelhart menggunakan data World Value Survey dan juga data World Bank (Purchasing Power Parity Estimates). Pertanyaan dalam World Value Survey itu kira-kira adalah: “apakah menurut Anda orang lain bisa dipercaya?”
Hasilnya: level interpersonal trust tertinggi ditemukan di negara-negara dengan tradisi Protestan (tertinggi adalah Norwegia, kurang lebih 65 persen responden di sana menyatakan bahwa orang lain bisa dipercaya).
Walaupun ada beberapa substansi ataupun metodologi dari studi Inglehart ini yang bisa diperdebatkan (misalnya, dia tidak menjelaskan peran budaya politik dalam konteks masyarakat yang sedang menjalani proses transisi menuju demokrasi) tapi Inglehart dengan konsisten menunjukan bahwa budaya politik bisa dikaji dengan data-data empirik. Karena itu, studi budaya politik kembali menarik. Banyak karya besar klasik dunia mengenai budaya atau nasionalisme misalnya, merupakan hasil kajian mengenai Indonesia. Seperti studi yang dibuat oleh antropolog ternama Clifford Geertz, Bennedict Anderson mengenai Imagined Communities, atau ilmuwan politik terkenal Arendt Lijphart yang pernah mengkaji Papua.

II.2 Tipe-Tipe Budaya Politik

Menurut Gabriel Almond  (1966) budaya politik adalah pola sikap dan orientasi individu terhadap politik diantara anggota sistem politik. Menurut Almond dan Verba Orientasi individu terhadap obyek politik dapat dipandang dari tiga hal/ tiga komponen,yakni :
1. Orientasi Kognitif  : pengetahuan, keyakinan, kepercayaan tentang politik dan peranan serta kewajibannya.
2. Orientasi Afektif  : perasaan terkait, keterlibatan, penolakan dan sejenisnya terhadap sistem politik, peranannya, para  aktor dan penampilannya.
3. Orientasi Evaluasi  : penilaian dan opini tentang obyek politik yang biasanya melibatkan nilai-nilai standar terhadap obyek politik dan kejadian-kejadian dengnan informasi dan standar.
Dimensi kognitif berupa kemampuan dalam tingkat akurasi tinggi terhadap cara kerja sistem politik, siapa pemimpinnya dan masalah-masalah dari kebijakannya. Namun ia mungkin memiliki perasaan alienasi atau penolakan terhadap sistem. Mungkin keluarga atau sahabatnya sudah punya sikap seperti itu. Mungkin ia tak merespon tuntutan terhadapnya oleh sistem. Itulah yang disebut dimensi afektif. Akhirnya seseorang mungkin memiliki penilaian moral terhadap sistem. Barangkali noram-norma demokrasinya mendorong dia menilai sistem sebagai tidak cukup responsif terhadap tuntutan politik atas norma-norma etiknya mendorong dia mengecam tingkat korupsi dan nepotisme. Dimensi-dimensi ini saling berkaitan dan mungkin memiliki kombinasi dalam berbagai cara.

Almond dan Verba juga membedakan subjek dalam sistem politik, yaitu:
Ó  Peranan atau struktur khusus seperti badan legislatif, eksekutif, yudikatif  atau birokrasi
Ó  Penunjang jabatan seperti pimpinan monarkhi, legislator, administator.
Ó  Kebijaksanaan keputusan atau penguat keputusan.

Obyek-obyek Orientasi Politik
Obyek yang jadi orientasi politik adalah sistem politik secara keseluruhan, peran politik atau struktur tertentu,individu atau kelompok yang memikul peran tertentu, kebijakan publik yang khusus. Termasuk didalamnya adalah aktor politik dan ego dari aktor politik.

Gabriel A Almond seperti dikutip dalam Mochtar Mas’oed (1984) membagi tiga jenis budaya politik, yaitu
1.         Budaya politik parokial
Dimana kesadaran obyek politiknya kecil atau tidak ada sama sekali terhadap sistem politik. Kelompok ini akan ditemukan di berbagai lapisan masyarakat.Biasanya terdapat dalam sistem politik tradisional dan sederana dengan ciri khas spesialisasi masih sangat kecil sehingga belum ada pengkhususan kerja.masyarakat pada tipe ini tidak mengharapkan apapun dari sitem politik termasuk perubahan. Parokialisme lebih bersifat afektif dan operatif. Hal yang menonjol pada budaya politik parokial adalah kesadaran anggota dan masyarakat akan adanya pusat kewenangan/kekuasaan politik dalam masyarakat.
2.         Budaya politik kaula/ subjek
adalah mereka yang berorientasi terhadap sistem politik dan pengaruhnya terhadap outputs yang mempengaruhi kehidupan mereka seperti tunjangan sosial dan hukum. Namun mereka tidak berorientasi terhadap partisipasi dalam struktur inputs. Masyarakat pada tipe ini menyadari telah ada otoritas pemerintah. Namun mereka hanya menganggap dirinya sebagai subjek yang tidak bisa mempengaruhi atuapun merubah sistem dan hanya menerima segala keputusan dan kebijakan yang diambil oleh pejabat yang berwenang. Ini biasanya terwujud dalam masyarakat yang tidak terdapat struktur masukan yang didiferensiasi . Demikian juga dalam budaya subjek orientasi lebih bersifat normatif dan afektif. Biasanya timbul karena akibat proses kolonialisme dan kediktaktoran . 
3.         Budaya politik partisipan
adalah individu yang berorientasi terhadap struktur inputs dan proses  dan terlibat didalamnya atau melihat dirinya sebagai potensial terlibat, mengartikulasikan tuntutan dan membuat keputusan. Dalam tipe ini, masyarakat menyadari bahwa dirinya dan orang lain sebagai anggota aktif dalam kehidupan politik yang memiliki hak dan tanggungjawab.

Tiga kebudayaan politik murni tersebut merupakan awal bagi tipe-tipe kebudayaan politikatau disebut dengan budaya politik campuran (mixed political cultures), yaitu :
¤     Kebudayaan Subjek Parokial ( The Parochial Subject Culture)
Sebagian besar masyarakat menolak tuntutan-tuntutan ekslusif masyarakat kerukunan desa atau otoritas feodal. Itu juga telah mengembangkan kesulitan dalam sistem politik yang lebih kompleks dengan struktur pemerintahan yang bersifat kompleks. Kedua orientasi itu telah memainkan peranan yang lebih penting dalam kebudayaan warga negara karena orientasi parokial  dan orintsi subjek telah melunakkan orientasi keterlibatan dan aktivitas individu dalam politik. Kedua orientasi itu tidak hanya berdampingan dengan orintasi peserta tapi juga menerobos dan memodifikasi orientasi peserta.
¤     Kebudayaan Subjek Partisipan( Subject Participant Culture)
Sebagian warga negara telah memiliki orientasi-orientasi masukan yang bersifatkhusu dari serangkaian orientasi pribadi sebagai seorang aktivis dan sebagian yang lain diarahkan dan diorientasikan kearah struktur pemerintahan otoritarian dan secara relatif  memiliki rangkaian orientasi pribadi yang pasif.
¤     Kebudayaan Parokial Partisipan ( The Parochial Participant Culture)
Banyak terdapat pada negara-negara berkembang. Negara-negara tersebut sedang giat melakukan pembangunan termasuk dalam kebudayaan. Pada kondisi ini sistim politik biasanya diliputi oleh parokial  yang satu pihak cenderung ke arah otoritanisme dan yang satunya lagi kearah demokrasi.

Rosenbaum menulis daftar tentang orientasi terhadap elemen-elemen tatanan politik, diantaranya yaitu :
Ø  Orientasi terhadap struktur pemerintahan.      Orientasi rejim, bagaimana individu mengevaluasi dan merespon terhadap lembaga pemerintahan, simbol-simbol, para pejabat dan norma-normanya...Orientasi terhadap inputs dan outputs pemerintah, bagaimana individu merasakan dan merespon terhadap tuntutan untuk kebijakan publik dan kebijakan yang diputuskan pemerintah.
Ø  Orientasi terhadap yang lain dalam sistem politika.      Orientasi identifikasi, kesatuan politik, wilayah geografis dan kelompok dimana ia merasa memilikinya.b.      Kepercayaan politik, sejauh mana seseorang merasa terbuka, kooperatif atau bersikap toleran dalam bekerja dalam kehidupan masyarakat.c.      “Aturan permainan”, konsep individu tentang aturan mana yang harus diikuti dalam kehidupan kenegaraan.
Ø  Orientasi terhadap Aktivitas Politiknya.      Kompetensi Politik, seberapa sering dan dalam cara bagaimana seseorang berpartisipasi dalam kehidupan politik, mana yang paling sering digunakan sebagai sumber politik baginya dalam masalah kenegaraan.... Political Efficacy, perasaan bahwa tindakan politik individu memiliki atau dapat menghadirkan pengaruh atas proses politik. 

II.3 Aplikasi Budaya Politik di Indonesia

Banyak ilmuan sosial yang telah berusaha mencari bentuk budaya politik Indonesia. Gertz dalam mengupas kebdayaan Jawa menyatakan tipologi santri sebagai abangan dan priyayi. Pandangan tersebut menyatakan bahwa masyarakat Jawa terdiri dari tiga kelompoksosial seperti itu. Secara menyeluruh ia mengelompokkan masyarakat Indonesia menjadi tiga subbudaya politik yang  meliputi petani pedalaman Jawa, masyarakat islam pantai dan masyarakat pegunungan.
Bentuk budaya politik Indonesia merupakan subbudaya atau budaya sub nasional yang terdapat di Indonesia sebagaimana telah dibawa oleh pelaku/aktor politik sehingga telah terjadiinteraksi, kerjasama, dan persaingan antar subudaya politik itu.
Pembangunan politik Indonesia dapat diukur pula berdasarkan keseimbangan atau harmoni yang dicapai oleh budaya politik dengan pelembagaan politik yang ada atau yang akan ada.
Dengan masuknya tekhnologimaju dan kontak pertukaran kebudayaan dengan peradaban luar bisa saja terjadi keadaan yang tidak harmonis atau malah menjadi keadaan yang berubah kearah keseimbangan yang ada maupun yang baru.
Konstansi sementara tentang budaya politik Indonesia(tentunya perlu ditelaah dan di buktikan lebih lanjut) adalah pengamatan tentang variabel sebagai berikut:
{  Konfigurasi subkultur di Indonesia masih beragam seperti bahasa, agama, kelas, dan sebagainya walaupun tidak sekompleks di India. Pada dasarnya masalah ini sudah dapat ditanggulangi berkat usaha pembangunan bangsa (national building) dan karakter bangsa (character building) .
{  Budaya politik Indonesia yangbersifat parokial-kaula disatu pihak dan partisipan dilain pihak.  Disatu sisi masyarakat masi ketinggalan dalam menggunakan hak dan tanggungjawabnya dalam politik yang mungkin disebabkan oeh isolasi dari kebudayaan luar, pengaruh penjajahan, feodalisme, bapakisme, primodial tetapi disisi lain kaum elitnya sungguh-sungguh merupakan partisipan aktif yang mungkin disebabkan oleh pengaruh pendidikan modern yang kadang bersifat sekuler dalam arti sempit. Jadi jelas bahwa Indonesia merupakan ”mixed political culture”
{  Sifat ikatan primodial yang masih kuat yang dikenal melalui indikator berupa sentimen kedaerahan, agama, kesukuan, puritanisme, dan nonpuritanisme dan lain lain. Selain itu, dapat dilihat dari pola budaya politik yang tercermin dalam struktur vertikal masyarakat dimana usaha gerakan kaum elit langsung mengeksploitasi dan menyentuh substruktur sosial dan subkultur untuk merekrut dukungan.
{  Kecendrunagn budaya politik Indonesia  yang masih mengukuhi sikap peternalisme dan sifat patrimonial contohnya “asal bapak senang”. Tipe parokial kaula lebih mempunyai keselarasanunutk tumbuh dengan persepsi masyarakat tehadap objek politik yang menyandarakan atau menundukkan diri pada proses output para penguasa.
{  Dilema interaksi intoduksi medernisasi dengan pola-poal yang telah lama berakar sebagai tradisi dalam masyarakat.

Salah satu budaya politik yang marak di Indonesia adalah pengiriman parsel kepada para elit politik. Dalam sistem budaya politik kita, parsel tidak sekadar hadiah tanpa sebab dan pamrih. Parsel tidak sesederhana dan setulus seorang dermawan memberi  baju koko atau sarung kepada si fakir dan yatim menjelang Lebaran.
Padahal Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) telah melarang menerima parsel bagi pejabat publik dengan alasan pengiriman parsel kondusif bagi merebaknya budaya KKN, sebuah langkah preventif yang baik. Kebijakan ini jelas ditentang oleh para pengusaha parsel karena akan mematikan usaha mereka padahal ribuan orang menggantungkan hidupnya pada usaha parsel bahkan sampai beberapa anggota DPR RI mengunjungi mereka, menunjukkan bahwa parsel bukan sekadar hadiah. Ia telah menjadi idiom politik multidimensi di kalangan publik. Jadi kita perlu mencari titik temu kedua sikap yang dua-duanya terpuji tersebut.
Dalam budaya politik kita, budaya parsel tumbuh di tengah hegemoni kekuasaan Orde Baru yang berdiri kokoh perkasa selama 32 tahun, yang sampai hari ini aromanya belum serta merta hilang. Ia tumbuh dalam suasana di mana para pejabat publik memiliki kewenangan luas mengambil kebijakan selalu berharap terus bertambah fasilitas dan kekayaannya, tanpa harus bekerja keras melalui usaha-usaha yang benar dan halal walaupun kadang menimbulkan kontroversi di kalangan publik.
Pada sisi yang lain, mereka yang berhasrat pada kebijakan, tidak cukup punya kemampuan untuk berprestasi dan berhasil tanpa kebijakan yang memihak dan memproteksi kepentingan yang mereka titipkan lewat parsel sebagai sebuah bentuk pengharapan untuk tujuan tertentu.
            Untuk mengenali motivasi mereka terbaca dalam relasi siapa yang mengirim dan siapa yang dikirim, bagiamana posisi mereka dan di antara keduanya ada hubungan apa. Dalil ini akan membantu kita dalam mengenali motivasi seseorang berkirim parsel. Ketika yang mengirim seorang pengusaha atau pejabat publik dan yang dikirimi adalah pengelola panti asuhan yatim piatu, maka jelaslah bahwa mereka adalah seorang dermawan. Tetapi jika yang mengirim seorang pengusaha dengan sasaran pejabat publik yang berkompeten membuat kebijakan tentang nasib pengusaha tersebut, maka inilah budaya parsel potensial mengundang penafsiran multitafsir, antara motivasi benar - benar murni hadiah atau suap. Empatbelas abad yang lalu Rasulullah SAW telah mengingatkan bahwa memberi hadiah kepada mereka yang punya jabatan tidak lain adalah suap.
            Masyarakat berharap akan lahirnya pemerintahan yang bersih pasca Pemilu 2004 sedemikian sangat besar tetapi harapan ini bisa tinggal harapan apabila pemerintahan di bawah SBY-JK tidak segera menjawabnya, dan jawaban itu harus segera, mulai dari yang sederhana. Suburnya budaya parsel bagi pejabat publik apabila tidak bisa dikurangi oleh pemerintahan baru, bisa-bisa perlahan tapi pasti membunuh harapan rakyat akan adanya perubahan.
Dalam prespektif hukum formal seperti UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah kebiasaan mengirim dan menerima parsel tidak bisa serta merta dijerat sebagai pelanggaran. Guru besar Sosiologi Hukum Undip, Prof. DR. Satjipto Raharjo, SH, bahwa hukum tidak hanya didasarkan pada logika peraturan, tetapi juga logika lain, yakni "moralitas hukum" (Suara Merdeka, 27 Oktober 2004) serta asas kepatutan publik yang diwakili oleh 280 juta penduduk Indonesia yang 60 % hidup di bawah garis kemiskinan. Inilah semangat dan gerakan moral yang ditunjukkan oleh ketua MPR DR. H.M. Hidayat Nurwahid ketika menolak Volvo sebagai kendaraan dinas MPR beberapa waktu yang lalu. Diterima pun mobil itu tidak salah , tetapi sikap dan teladan yang diberikan dalam bentuk penolakan fasilitas itu terasa melegakan dan menyejukkan hati rakyat di tengah-tengah kemiskinan harta dan kelangkaan teladan para pejabat negara sekarang ini.
Berdasarkan telaah pengalaman-pengalaman masa lalu ada yang perlu kita harus berhati - hati dalam rangka antisipasi nilai negatif parsel bagi pejabat publik. Implikasi negatif budaya politik Indonesia berupa pengiriman parsel:
1.         Pertama, budaya ini potensial melahirkan kebijakan yang subjektif dan jauh dari nilai keadilan. Mereka yang berkirim parsel kepada pejabat publik, akan selalu berharap agar kebijakan yang nanti dikeluarkan menguntungkan mereka. Tanpa dengan kemampuan dan prestasi cukup, mereka berhasil memenangkan "pertandingan" sebagai dampak dari hadiah yang dikirimkan, kalau perlu tercipta hubungan yang istimewa melebihi "kompetitor-kompetitor" yang lainnya.Bagi pejabat publik datangnya parsel demi parsel telah menyulitkan mereka dalam mengambil kebijakan. Ia telah "terjerat" dalam magnet hadiah yang diterimanya, sehingga yang mendominasi dan mendikte pikiran mereka siapa yang mengirim parsel paling bernilai, maka dialah yang seharusnya dimenangkan atau diuntungkan oleh kebijakan mereka walaupun harus melukai kepentingan rakyat.
2.         Mengurangi iklim kompetisi dan berprestasi yang sehat. Semangat kompetisi dan berprestasi akan menurun, bahkan bisa hilang sama sekali, ketika prestasi dan kemampuan tidak menjadi indikator penting dalam mencapai sukses. Lemahnya iklim kompetisi dan berprestasi berarti menunjukkan lemahnya etos kerja birokrat sehingga menimbulkan efek domino jeleknya pelayanan pubik, karena mereka bekerja dilandasi take and give, bukan melayani masyarakat bagian dari profesionalitas kerja.
3.         Politik biaya tinggi. Budaya parsel akan berefek mahalnya biaya politik, mahalnya tarif yang harus dipersiapkan bagi mereka yang ingin berhasil. Dalam kondisi inilah, orang yang mempunyai kemampuan baik masih harus berfikir keras menyiapkan ubo rampe hadiah-hadiah bila mereka menginginkan sesuatu yang menguntungkan mereka dari pejabat di atasnya. Mereka yang mempunyai kemampuan tetapi tidak mempunyai daya dukung materi tinggallah termangu meratapi ketidakberdayaannya walaupun dia seorang yang mempunyai kemampuan.
4.         Menyuburkan budaya hidup hedonis dan konsumtif . Menyuburnya budaya parsel bagi pejabat publik secara tidak langsung akan berdampak makin konsumtifnya perilaku hidup masyarakat. Satu pihak harus membeli sesuatu yang tidak mampu menjangkaunya, dan pada pihak yang menerima dia mendapatkan sesuatu yang secara objektif tidak mereka perlukan, sehingga yang terjadi adalah kemubaziran demi kemubaziran, padahal tanpa parsel itu pun mereka sudah menikmati berbagai fasilitas dan kemudahan yang dibiayai oleh rakyat dengan membayar pajak dan retribusi, sedangkan rakyat tetap miskin.
5.         Menyuburkan budaya KKN yang sekarang menjadi racun bangsa, meminjam istilah Ryaas Rasyid: korupsi telah mengantarkan bangsa Indonesia menuju ke titik kehancuran yang nyaris sempurna. Di sinilah akumulasi puncak negatif yang kita khawatirkan muncul dari budaya parsel. Budaya ini akan hadir sebagai pupuk yang sangat potensial menyuburkan budaya KKN. Ini pula yang harus secara terus- menerus diingatkan pada pemerintahan baru sekarng ini, jangan sampai jatuh ke lubang biawak untuk kedua kalinya seperti pemerintahan Orde Baru.
6.         Keenam, melukai hati masyarakat. Di tengah penderitaan TKI yang terlunta - lunta dari negeri orang dan pulang untuk bertemu sanak saudara tentunya rasa empati pjabat publik harus ditumbuhkan, bukan malah bersenang - senang dengan parsel menumpuk yang notabe - nya menyusahkan mereka sendiri sebagai pelayan masyarakat. Kalau pemerintahan ini gagal menjawabnya, kita khawatir terjadi putus asa massal bangsa kita dalam menatap masa depannya.

Selain itu, kita dikejutkan aneka peristiwa politik yang menampakkan wajah jelek dunia politik kita kini: kerusuhan dalam rangka pilkada, bupati terpilih yang digugat, kongres partai politik yang dinamakan islah, tetapi penuh percekcokan, dan pernyataan tokoh-tokoh politik yang tidak jelas maksud dan tujuannya. Hari ini bilang “A”, beberapa hari kemudian bilang “non-A”. Kita menyaksikan perilaku politik Indonesia dalam format yang jelek.
Sumber perilaku politik pada dasarnya adalah budaya politik, yaitu kesepakatan antara pelaku politik tentang apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Kesepakatan ini tidak selalu bersifat terbuka, tetapi ada pula yang bersifat
tertutup. Kesepakatan untuk menerima amplop setiap kali dilakukan pembahasan
RUU merupakan kesepakatan gelap (illicit agreement). Membayar “uang pelicin” kepada para petinggi politik untuk mendapatkan dukungan partai dalam rebutan jabatan bupati, wali kota, dan gubernur merupakan tindakan yang dianggap sah dalam budaya politik kita kini.
Suatu budaya politik biasanya berlaku selama periode tertentu. Ketika datang perubahan penting dalam konstelasi politik, datang pula para pelaku baru dalam gelanggang politik, terbukalah kesempatan untuk memperbarui budaya politik. Budaya politik dibentuk dan dikembangkan oleh pelaku politik dan apa yang akan ditentukan oleh pelaku politik sebagai ciri-ciri utama budaya politik mereka sampai batas tertentu, dipengaruhi oleh pendidikan mereka.
Di negara kita budaya politik para perintis kemerdekaan berbeda dari budaya politik pada zaman demokrasi parlementer, dan ini berbeda dengan budaya politik yang tumbuh dalam zaman Orde Baru. Zaman reformasi ini juga melahirkan budaya politik baru, yang kemudian melahirkan perilaku politik yang menyusahkan banyak orang. Disementara kalangan budaya politik kita disebut dengan “budaya politik
aji mumpung”.



Bab III
Kesimpulan dan Saran

Bentuk budaya politik Indonesia merupakan subbudaya atau budaya sub nasional yang terdapat di Indonesia sebagaimana telah dibawa oleh pelaku/aktor politik sehingga telah terjadi interaksi, kerjasama, dan persaingan antar subudaya politik itu.
Pembangunan politik Indonesia dapat diukur pula berdasarkan keseimbangan atau harmoni yang dicapai oleh budaya politik dengan pelembagaan politik yang ada atau yang akan ada.
Dengan masuknya tekhnologi maju dan kontak pertukaran kebudayaan dengan peradaban luar bisa saja terjadi keadaan yang tidak harmonis atau malah menjadi keadaan yang berubah kearah keseimbangan yang ada maupun yang baru.
 Sayangnya budaya politik di Indonesia sudah banyak dikotori oleh pengaruh negatif para aktor politik yang menyalahgunakan kekuatan dan kekuasaannya. Contohnya yaitu, kita dikejutkan oleh aneka peristiwa politik yang menampakkan wajah jelek dunia politik kita kini: kerusuhan dalam rangka pilkada, bupati terpilih yang digugat, kongres partai politik yang dinamakan islah, tetapi penuh percekcokan, dan pernyataan tokoh-tokoh politik yang tidak jelas maksud dan tujuannya, pengiriman parsel dan lain sebagainya.
Oleh karena itu seharusnya kita, generasi muda yang harus memperbaiki budaya politik Indonesia menjadi lebih baik. Karena sedikit banyaknya budaya politik mempengaruhi kehidupan bangsa.

0 komentar:

Posting Komentar

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com