Sabtu, 09 Maret 2013

Review Buku:Judul : Reorientasi kebijakan kependudukan, Pengarang: Faturochman

            Masalah kependudukan yang antara lain meliputi jumlah, komposisi dan distribusi penduduk merupakan salah satu masalah yang harus diperhatikan secara saksama dalam proses pembangunan. Jumlah penduduk yang besar dapat menjadi potensi, tetapi dapat pula menjadi beban dalam proses pembangunan jika kualitasnya rendah. Namun seiring perubahan kondisi global maka dampak era globalisasi dan informasi mempengaruhi kebijakan kependudukan .
Namun seiring perubahan globalisasi dan informasi yang belum sepenuhnya dapat diantisipasi bahkan dampak tersebut mempengaruhi banyak hal seperti memberikan dampak kepada Indonesia dalam bentuk krisis ekonomi dan reformasi yang berujung pada tuntutan otonomi, demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia. Berbagai hal tersebut saling berkaitan satu sama lain. Tuntutan-tuntutan tersebut wajar saja muncul tetapi yang menjadi permasalahan adalah bagaimana pemerintah mampu mengatasi tuntutan-tuntutan yang ada. Hingga saat ini banyak masalah muncul dan belum bisa diselesaikan secara serentak dan tepat sasaran . Hal itu karena masalah-masalah yang ada tersebut sangat kompleks.
Perubahan-perubahan yang terjadi tersebut juga  berkaitan dengan kependudukan. Pada hakikatnya semua permasalahan tersebut berkaitan pada masalah pokok yaitu demografi seperti fertilitas(kelahiran), morbiditas(persakitan), mortilitas(kematiaa), dan mobilitas(perpindahan). Sebab semua permasalahan yang ada berada di seputar kehidupan manusia baik sebagai individu , kelompok maupun masyarakat. Secara sepintas masalah ini memang terlihat sederhana . Sebenarnya masalah yang ada tersebut apabila  itu, dikaji lebih mendalam akan terlihat bahwa masalah tersebut sangat kompleks. Oleh karena itu, permasalahan kependudukan sering merembes pada permasalahan lainnya seperti permasalah sosial dan ekonomi.
Misalnya masalah ketenagakerjaan dan kemiskinan , apabila dilihat secara sepintas masalah ini menyangkut permasahan ekonomi tetapi apabila kita telaah lebih mendalam masalah tersebut erat kaitannya dengan permasalahan kependudukan. Sehingga sering dapat kita jumpai beberapa program BKKBN(Badan Kordinasi Keluarga Berencana Nasional) berupa kebijakan sebagai bentuk ikut bertanggung jawab terhadap masalah kemiskinan yang terjadi. Apabila jumlah penduduk dapat terkendali maka pemerintah akan semakin ringan dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan sebab jumlahnya pelamar pekerjaan dapat dikurangi seiring berkurangnya jumlah penduduk. Penduduk miskin yang masih banyak dan meningkatnya pengangguran akibat krisis adalah masalah penting yang tidak dapat diabaikan juga.
            Selain itu, perubahan lingkungan kebijakan seperti pemberdayaan perempuan, perlindungan hak asasi manusia dan otonomi luas membuat lingkup kajian kebijakan kependudukan perlu dikaji ulang kembali sehingga tercipta relevasinya. Kebijakan-kebijakan yang dahulu telah dibuat perlu dilakukan pembaharuan , baik dari segi isi, arah , maupun strategi kebijakan kependudukan untuk merespon perubahan-perubahan yang terjadi akibat globalisasi. Kegagalan dalam merespon tuntutan perubahan akan menyebabkan munculnya konflik baru anatara pemerintah dan masyarakat.
Kebijakan-kebijakan kependudukan yang dibuat tidak pernah terlepas dari campur tangan pemerintah sebab pemerintah merupakan agen resmi pada pembuatan kebijakan dalam sistem pemerintahan kita. Peran pemerintah terdapat hampir pada semua tahapan kebijakan baik dalam pembuatan kebijakan , pelaksanaan kebijakan bahkan pada pengevaluasiaan/ penilaian kebijakan. Kuatnya peran negara dalam masalah kependudukan menyebabkan terproyeksinya masalah kependudukan hanya sebagai tanggung jawab monopoli pemerintah saja. Tetapi ketika terjadi banyak perubahan sebagai dampak globalisasi seperti penerapan otonomi daerah menyebabkan lembaga-lembaga diluar pemerintah seperti DPR(Dewan Perwakilan Rakyat) dan DPRD(Dewan Perwakilan Rakyat Daerah),  Lembaga swadaya masyarakat dan partai politik memiliki peran yang semakin besar . Hal itu berarti peran dan orientasi pemerintah yang mendominasi arah dan proses kebijakan kependudukan akan menjadi berubah pula.Peran dari berbagai pihak seperti DPRD dan masyarakat dalam kebijakan kependudukan memiliki peran yang semakin besar sehingga arah kebijakan kependudukan yang selama ini mengabaikan peran dan partisipasi masyarakat serta aspirasi masyarakat sudah tidak bisa dilanjutkan. Oleh karena itu , perlu pengkajian ulang terhadap kebijakan –kebijakan kependudukan untuk mengubahnya kearah yang lebih responsif dengan kondisi riil di lapangan dan kondisis masa depan.
Perubahan kebijakan kependudukan seiring dengan perubahan indikator –indikator kependudukan. Pada tahun1971-1080 diperkirakan terjadi peningkatan penduduk sebesar 2,32% pertahun sedangkan tahun1995-2000 BPS memperkirakan terjadi pertumbuhan sebesar 1,50% pertahun. Penurunan ini terjadi karena fertilitas mengalami penurunan menjadi sebesar 2,78% dari sebelumnya sebesar 5,20%. Angka kematian bayi juga mengalami penurunan dari 145(1971) menjadi 51(1997). Perubahan tersebut menjadi kabar baik untuk menjadi dasar dalam menyusun kebijakan baru. Namun hal itu belum cukup sebab masih banyak indikator-ondikator kependudukan lainnnya yang berindikasi negatif.
            Tuntutan terhadap perubahan kebijakan seharusnya dilakukan secara total dan mendasar bukan hanya bersifat tambal sumlam saja. Hal itu dikarenakan masalah-masalah kependudukan dan lingkup kebijakan yang terjadi di masa depan akan mengalami perubahan yang bersifat visioner. Misalnya kebijakan keluarga berencana sebagai bentuk pengendalian fertilitas  sudah dipertanyakan keefektifannya pad masa sekarang dan masa depan.  Apakah program keluarga berencana yang bersifat sentralistik masih diteruskan? Atau akankah pemeritah kabupaten maupun propinsi akan diberikan kewenangan dalam menentukan keharusan mereka untuk terlibat atau tidak? Dan seberapa besar skala keterlibatan dan aspirasi mereka dapat iktu mewarnai perumusan dan pelaksanaan kebijakan kependudukan.
            Permasalahan mobilisasi(perpindahan) juga mengalami hal yang sama.  Perubahan yang yang mendasar juga diperlukan dalam hal ini. Kemampuan finansial dan politik pemerintah saat ini sudah tidak memungkinkan lagi pelaksanaan kebijakan transmigrasi seperti yang dulu, dimana pemerintah memberikan fasilitas dan modal bagi penduduk yang mau dipindahkan oleh pemerintah dari suatu tempat ketempat lainnya. Selain itu, pemerintah  dihadapi dengan masalah baru yaitu pengungsi baik pengungsi yang diakibatkan oleh bencana alam maupun konflik yang terjadi di daerah asal mereka. Melihat rendahnya kemampuan pemerintah dalam mengangani konflik sedangkan potensi konflik dimasa depan diprediksi semakin meningkat maka jumlah pengungsi akan semakin besar. Penulis merasa pesimis bahwa pemerintah mampu mengatasi masalah yang terjadi masa yang akan datang. Hal itu dikarenakan instani pemerintah terkait belum memiliki visi  dan kebijkan yang jekas untuk mengatasi masalah tersebut.
            Walaupun begitu , perubahan kebijakan kependudukan sudah tidak bisa dditunda-tunda lagi. Perubahan tersebut adalah titik fokus pada pembahansan buku ini. Dalam memahami perubahan tersebut perlu dibahas mengenai isu-isu dan masalah kependudukan yang terkait. Beberapa isu yang harus diperhatikan pemerintah sebelum membuat kebijakan kependudukan diantaranya sebagai berikut:
1.             Visi, misi dan arah pembangunan kependudukan harus jelas. Program pemerintah sebelumnya lebih memfokuskan pada penurunan kuantitas baik fertiliatas, mortalitas serta peningkatan jumlah peserta transmigrasi. Di beberapa negara kebijakan tersebut memang berhasil namun melihat kondisi Indonesia saat ini maka kebijakan tersebut dirasa tidak relevan lagi. Sayangnya target-target tersebut dianggap sudah tidak bisa ditawar lagi. Sehingga para pelaksana sering memaksakan program dengan pendekatan yang kurang simpatik . Sehingga hasil dari kebijakan sering tidak memadai dan akan berimplikasi pada masyarakat sebagi target group(kelompok sasaran). Kalau pun hasilnya bisa memadai biasanya akan bermasalah pada implementasi dan kualitas hasilnya. Misalnya pada program kontrasepsi, hasil dari program ini cukup memadai hanya saja cakupan dan prevalensi penggunaan kontrasepsi sering menimbulkan masalah. Oleh karena itu sudah seharusnya pemerintah merubah orientasi  kebijakan kependudukan menjadi orientasi kualitas baik dalam proses implementasi program maupun hasil yang diharapkan. Dalam perubahan kebijakan ini perlu menempatkan hak asasi manusia sebagai titik penting dan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kebijakan dan program kependudukan. Isu hak asasi manusia pada kebijakan-kebijakan sebelumnya sering diabaikan oleh pemerintah. Hak-hak kependudukan yang terkait pengendalian penduduk yaitu hak-hak reproduksi sebab kebijakan sebelumya (keluarga berencana) dianggap mengekang hak-hak bereproduksi sehingga orientasi kebijakan ini seharusnya sudah mulah dialihkan kepada orientasi kesehatan reproduksi. Saat ini program KB dengan ’dua anak cukup, laki-laki atau perempuan sama saja’ sudah diubah dengan mewujudkan keluarga berkualitas’. Sepertinya program tersebut lebih mengena karena jika ingin mempunyai anak lebih dari dua orang adalah hal yang sangat wajar dan mungkin keinginan semua orang. Namun pemeliharaan dan pemberian bekal hidup seperti pendidikan dan kesehatan harus tetap menjadi prioritas agar tercapai anak yang berkualitas, sehingga tujuan mencapai keluarga berkualitas dapat terwujud.
Kebijakan penurunan mortalitas juga erat kaitannya dengan hak asasi manusia misalnya dalam menjamin ketersedian informasi tentang kesehatan, penangangan/pelayanan kesehatan dan sebagainya. Masalah hak asasi manusia juga tidak bisa terlepas dari masalah kebijakan lainnya yaitu mobilitas(hak memilih tempat tinggal) dan pengentasan kemiskinan(hak memiliki kehidupan layak). Oleh sebab itu , untuk menunjang keberhasilan pembangunan nasional, dalam menangani permasalahan penduduk, pemerintah tidak saja mengarahkan pada upaya pengendalian jumlah penduduk tapi juga menitikberatkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusianya. Karenanya, program perencanaan pembangunan manusia harus mendapat prioritas utama yang berguna untuk peningkatan kesejahteraan penduduk.
2.             Penduduk sering tidak mengetahu arah dan tujuan dari program yang dilaksanakan pemerintah. Penduduk sebagai target group sering merasa tidak mengetahui mengenai kemana arah merka akan dibawa dengan kondisi dan kebijakan yang dibuat pemerintah terhadap diri mereka. Hal ini berkaitan dengan hak dalam memperoleh informasi kebijakan, program dan hasil . Informasi kebijakna kependudukan biasanya hanya berada dalam lingkup pemerintah,  akademisi dan lembaga swada masyarakat(LSM) sedangkan masyarakat dianggap tidak perlu mengetahuinya. Pada era demokrasi dan informasi ini sudah seharusnya masyarakat juga mengetahui berbagai informasi kependudukan terlebih lagi mengenai informasi kebijakan yang mengenai diri mereka sebagai target group. Selain itu, tersedianya data yang memadai akan menguntukan sektor lainnya seperti sektor bisnis. Dengan mengetahui secara pasti mengenai data kependudukan suatu daerah maka akan memudahkan investor dalam membuat keputasan dalam menanamkan investasinya. Pengadaan jumlah barang dan jasa oleh produsen akan berkaitan dengan informasi demografis dan data kependudukan yang mereka miliki. Permasalahan yang terjadi saat ini adalah akurasi dan ketersediaan data yang belum memadai. Biasanya keterbatasan data tersebut berada di BPS(Badan Pusat Statistik). Hal itu dikarenakan terbatas pada priode tertentu misalnya sensus penduduk yang dilakukan dalam 10 tahun sementara dinamika perubahan kondisi mengalami perubahan begitu cepat. Sehingga data tersebut menjadi kurang relevan terhadap kebijakan pembangunan yang akan dilakukan. Sementara itu, data yang dikelola oleh BKKBN dan registrasi penduduk masih bersifat kualitas rendah. Kondisi yang memperhatinkan pada era informasi yang canggih ini dimana pemerintah tidak dapat memenuhi kebutuhan informasi pada segi kependudukan.
3.             Masalah kelembagaan dalam penyususnan dan pelaksanaan kebijakan kependudukan ini masih belum jelas. Perubahan–perubahan pada kelembagaan pusat menyebabkan kebingungan dan kegamangan pada lembaga-lembaga pemerintah di daerah. Misalnya Kantor menteri Kependuduakan yang pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid digabungakan dengan Kementrian Transmigrasi. Perubahan ini tentu saja berimplikasi terhadap arah dan orientasi kebijakan kependudukan. Perubahan seperti ini menggambarkan kurang pekanya pemerintah pusat terhadap pelaksanan kebijakan ini. Masalah kelembagaan lainnya adalah tingginya fragmentasi lembaga yang terlibat dalam pembangunan kependudukan. Tumpang tindih kebijakan kementrian dan lembaga non departemen menunjukkan bahwa sering terjadi ketidakjelasan dan koordinasi antar mereka sebagai pembuat kebijakan. Misalnya dalam hal penyediaan informasi kependudukan yang dilakukan oleh BKKBN, BPS, depertemen dalam Negeri, Depertemen Kesehatan dan depertemen sosial dan tenaga kerja. Akibatnya adalah terjadu duplikasi dan benturan dari program-program sejenis yang dilakukan oleh kementrian dan lembaga non departemen. Duplikasi akan menyebabkan ketidak efektifan baik dari segi biaya, waktu dan sumberdaya sedangkan benturan antar program akan menyebabkan pelaksanaan program tidak akan tercapai bahkan bisa saja tidak terlaksana sama sekali.Kebijakan kependudukan yang baru seharusnya menjelaskan peran dan posisi masing-masing kementrian dan lembaga non-departemen sehingga tidak akan terjadi duplikasi dan benturan program apalagi perubutan tugas dan fungsi. Hal itu diharapkan mampu menciptakan kerjasama antara pihak-pihak yang terkait dan meminimalisir kemubaziran dan menciptakan efektifitas dan efisiensi.
4.             Keserasian kebijakan dan program harus dialksanakan baik dipemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Ketidakserasian tersebut telah terjadi sejak lama tetapi belum mendapat perhatian serius, telah terjadi ketidak serasian antaara pemerintah pusat dan daerah. Walau telah diterapkan desentaraslisasi sejak dikeluarkannya Undang-undang no 22 tahun 1999 namun desentralisasi pembangunan kependudukan belum terlihat hingga saat ini. Desentralisasi sebagai bentuk penyerahan kewenangan kepada daerah lebih sebagai retrorika dibandingkan fakta dilapangan. Selain pemerintah pusat yang belum menyerahkan penyusunan program kebijakan kependudukan kepada pemerintah daerah , ada faktor penghambat lainnya yaitu kesiapan sumber daya di daerah yang belum memadai. Khususnya , kemampuan birokrasi di daerah untuk mengambil alih tugas dan wewenang yang selama ini belum menjadi tanggungjawab mereka.
5.             Beberapa isu lama yang hingga kini masih beredar dalam lingkup kebijakan kependudukan yaitu masalah perempuan, penduduk usia lanjut dan penduduk miskin. Isu ini belum mendapat perhatian khusus dan berkelanjutan tetapi selama ini kebijakan yang berkaitan dengan hal tersebut hanya bersifat musiman dan kelompok tersebut lebih sering dijadikan objek kebijakan dan program pembangunan daripada upaya serius untuk menanganinya. Pemerintah Indonesia lebih sering menghadiri pertemuan mengenaipermasalahan tersebut daripada membuat program nyata. Maka tidak mengherankan dengan kasus yang banyak terjadi seputar kekerasan perempuan dan kekerasan yang dihadapi pekerja Indonesia serta masalah penduduk lanjut usia yang hingga kini masih tidak jelas program apa yang akan diberikan pemerintah kepada mereka. Masalah penduduk lanjut usia lebih terkesan bahwa pemerintah menyerahkan masalah ini kepada keluarga. Ini menunjukkan ketidaksensitifan pemerintah terhadap masalah ini. Padahal di negara-negara lainnya permasalahan ini dapat dijadikan sebuah peluang untuk meningkatkan kesejahteraan dan keterampilan penduduk lanjut usia.
Masih banyak permasalahan-permasalahan kependudukan yang ada namun tidak dibahas semuanya dalam buku ini , hal itu mungkin karena keterbatasan penulis terhadap data dan waktu dalam penulisan buku tersebut. Namun permasalahan kependudukan yang ada dibuku ini dapat menjadi wacana dan bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan kependudukan. Buku ini lebih berupa pemikiran para ahli dan pemerhati kependudukan yang bisa dijadikan sebagai bahan dan rujukan untuk membuat kebijakan baru mengenai kependudukan.

Tulisan awal yang dibuat oleh Tujiran dan Sukandi menjelaskan mengenai pertumbuhan kependudukan . Permasalahan kependudukan hingga saat ini merupakan masalah kritis yang harus diselesaikan secara cepat dan tepat. Kedua tulisan tersebut menempatkan isu kependudukan sebagai isu pembangunan dan keduanya saling berkaitan satu sama lainnya.
Hampir sama dengan tulisan sebelumnya, tulisan Tjiptoherijanto juga memaparkan menganai pertumbuhan kependudukan tetapi lebih menjelaskan masalah kependudukan pada masa reformasi. Perubahan politik, ekonomi, dan sosial pada era reformasi mempengaruhi perubahan pencapaian pembangunan kependudukan. Perubahan tersebut membuaka mata semua pihak bahwa kebijakan yang selama ini diterapkan sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini. Tantangan ini dapat dihapai dengan cara melakukan reorientasi kebijakan kependudukan seperti yang telah dijelskan sebelumnya. Tulisan ini banyak membahas mengenai penurunan angka fertilitas dan reorientasi kebijakan dalam bentuk orientasi pada hak-hak asasi manusia.
Tiga masalaha selanjutnay yang dipaparkan oleh Djaswadi Dasuki, Sasoto dan Siswanto agus lebih menekankan pada mortalitas. Djaswadi memaparkan masalah yang dihadapi dalam penurunan kematian maternal dan perinatal. Masalah tersebut yaitu mengenai data yang akurat tentang kematian dan pelayanan kesehatan sebagai salah satu cara untuk menurunkan angka kematian bayi dan maternal(ibu). Sedangkan Sasoto membahas strategi penurunan angka kematian bayi berdasarkan pengalaman sebelumnya. Begitu pula Siswanto yang membahas kebijakan kematian maternal.
            Tiga tulisan lainnya membahas mengenai redistribusi penduduk yang kita kenal dengan transmigrasi. Tulisan ini dibuat oleh Ida Bagus  Mantra dan Nasrudin Harahap yang menjelaskan bahwa pemerintah terlalu sering mengulangi kesalahan yang sama dalam kebijakan ini.Sedangkan masalah perempuan disorot oleh Irwan Abdullah . Dia menjelaskan bahwa kesalahan besar yang dilakukan pemerintah selama ini ada kurangnya porsi perhatian yang diberikan pada masalah perempuan. Tahap women development kemudian diubah menjadi “gender and development”. Pada tahapan ini reposisi dilakukan kurang memberikan hasil maksimal. Oleh karena itu , diarahkan kepada konsep baru yang secara struktural dan sistemik dapat mendukung pembangunan perempuan yaitu gender mainstreaming. Konsep ini berawal dari konfrensi yang dilaksanakan di Beijing. Selain itu, Ana Nadhya Abrar membahas masalah kependudukan dari segi komunikasi kependudukan.
Secara keseluruhan tulisan ini membahas kebijakan kependudukan ayng bertolak dari isu-isu kebijakan. Reorientasi kebijakan yang dilakukan tidak hanya berada ditingkat pusat tetapi harus merata hingga ke daerah. Disamping itu, secara kelembagaan masalah kependudukan dimasa mendatang tidak mungkin hanya ditangani oleh pemerintah pusat  oleh karena itu perlu adanya kerjasama dan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan begitu , penanganan masalah kependudukan bisa berjalan secara proporsional.

Judul : Reorientasi kebijakan kependudukan
Pengarang: Faturochman       
Penyunting: Agus Dwiyanto
Yogyakarta: Aditya Media, 2001
Halaman: 228 lembar

0 komentar:

Posting Komentar

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com