Selasa, 07 Januari 2014

Review “Good Governance dalam Kerangka Otonomi Daerah”


Sejak tumbangnya rezim Orde Baru dan digantikan dengan gerakan reformasi, istilah Good Governance begitu popular. Hampir di setiap event atau peristiwa penting yang menyangkut masalah pemerintahan, istilah ini tak pernah ketinggalan. Meskipun kata Good Governance sering disebut pada berbagai event dan peristiwa oleh berbagai kalangan, pengertian Good Governance bisa berlainan antara satu dengan yang lain. Ada sebagian kalangan mengartikan Good Governance sebagai kinerja suatu lembaga, misalnya kinerja pemerintahan suatu negara, perusahaan atau organisasial masyarakat yang memenuhi prasyarat-prasyarat tertentu. Sebagian kalangan lain ada yang mengartikan good governance sebagai penerjemahan konkret demokrasi dengan meniscayakan adanya civic culture sebagai penopang sustanaibilitas demokrasi itu sendiri.     
   
Dalam proses demokratisasi good governance sering mengilhami para aktivis untuk mewujudkan pemerintahan yang memberikan ruang partisipasi bagi pihak diluar pemerintah, sehingga ada pembagian peran dan kekuasaan yang seimbang antar negara, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar. Adanya pembagian peran yang seimbang dan saling melengkapi antar ketiga unsur tersebut, bukan hanya memungkinkan terciptanya check and balance, tetapi juga menghasilkan sinergi antar ketiganya dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Prof.Bintoro Tjokroamidjojo, “Good Governance, (Paradigma Baru Manajemen Pembangunan)”, Jurnal Manajemen Pembangunan No.30 Tahun IX, Mei 2000 memandang good governance sebagai suatu bentuk manajemen pembangunan, yang juga disebut administrasi pembangunan, yang menempatkan peran pemerintah sentral yang menjadi agent of change dari suatu masyarakat berkembang/developing di dalam negara berkembang. Agent of change dan karena perubahan yang dikehendakinya, menjadi planned change (perubahan yang berencana), maka disebut juga agent of development. Agent of development diartikan pendorong proses pembangunan dan perubahan masyarakat bangsa. Pemerintah mendorong melalui kebijaksanaan-kebijaksanaan dan program-program, proyek-proyek, bahkan industri-industri, dan peran perencanaan dan anggaran penting. Dengan perencanaan dan anggaran juga menstimulusi investasi sector swasta. Kebijaksanaan dan persetujuan penanaman modal di tangan pemerintah.  Dalam good governance peran pemerintah tidak lagi dominan, tetapi juga citizen, masyarakat dan terutama sektor usaha/ swasta yang berperan dalam governance. Pemerintah bertindak sebagai regulator dan pelaku pasar untuk menciptakan iklim yang kondusif dan melakukan investasi prasarana yang mendukung dunia usaha. Usaha pembangunan dilakukan melalui koordinasi/sinergi (keselarasan kerja) antara pemerintah-masyarakat-swasta). Masyarakat dan dunia usaha mempunyai peran lebih dalam perubahan masyarakat.
Beberapa lembaga bilateral/multilateral memberikan rekomendasi mengenai karakteristik dari istilah good governance, antara lain :
1. United Kingdom Overseas Development Administration (UK/ODA), 1993
UK/ODA menjelaskan karakteristik good government, yaitu: legitimasi, akuntabilitas, kompetensi, penghormatan terhadap hukum/ hak-hak asasi manusia. Dalam pandangan UK/ODA, istilah good governance atau good government tidak dibedakan. Keduanya dianggap sama-sama merujuk aspek-aspek normatif pemerintahan yang digunakan dalam menyusun berbagai kriteria dari yang bersifat politik hingga ekonomi. Kriteria tersebut digunakan dalam merumuskan kebijaksanaan pemberian bantuan luar negeri, khususnya kepada negara-negara berkembang.
2. United Nations Development Program (UNDP)
UNDP merekomendasikan beberapa karakteristik governance, yaitu: legitimasi politik, kerjasama dengan institusi masyarakat sipil, kebebasan berasosiasi dan partisipasi, akuntabilitas birokratis dan keuangan (finansial), manajemen sektor publik yang efisien, kebebasan informasi dan ekspresi, sistem yudisial yang adil dan dapat dipercaya.Karakteristik yang dibangun UNDP melalui anggapan dasar sebagai berikut : Gejala-gejala dari kegagalan pemerintah terlihat sebagai keseluruhan yang sama, yaitu pelayanan yang rendah, kapabilitas kebijakan yang rendah, manajemen keuangan yang lemah,peraturan yang terlalu berbelit-belit dan sewenang-wenang, alokasi sumber-sumber yang tidak tepat. Tetapi UNDP kurang menekankan pada asumsi mengenai superioritas majemuk, multipartai, sistem orientasi pemilihan umum, dan pemahaman bahwa perbedaan bentuk kewenangan politik dapat dikombinasikan dengan prinsip efisiensi dan akuntabilitas dengan cara-cara yang berbeda. Hal-hal tersebut juga berkaitan terhadap argumentasi mengenai nilai-nilai kebudayaan yang relatif; sistem penyelenggaraan pemerintahan yang mungkin bervariasi mengenai respon terhadap perbedaan kumpulan nilai-nilai ekonomi, politik, dan hubungan sosial, atau dalam hal-hal seperti: partisipasi, individualitas, perintah dan kewenangan.UNDP menganggap bahwa good governance dapat diukur dan dibangun dari indikatorindikator yang komplek dan masing-masing menunjukkan tujuannya.
3. World Bank (Bank Dunia)
World Bank, “Development in Practice, Governance: The World Bank Experience, World Bank Publication, Washington D.C, 1994 Bank Dunia mengungkapkan sejumlah karakteristik good governance, yaitu: masyarakat sipil yang kuat dan partisipatoris; terbuka; pembuatan kebijakan yang dapat diprediksi; eksekutif yang bertanggung Jawab; birokrasi yang profesional; dan aturan hukum. Bank Dunia lebih suka menggunakan istilah good (public) governance. Dalam perspektif Bank Dunia, governance adalah sifat dari kekuasaan yang dijalankan melalui manajemen sumber ekonomi dan sosial negara yang digunakan untuk pembangunan.
4. OECD’s Development Assistance Committee (DAC)
Good governance memiliki kriteria yang mencakup ruang lingkup sebagai berikut:
a.)    Pembangunan partisipatoris (participatory development);b.) Hak-hak azasi manusia (human rights);c.) Demokratisasi (democratization).
Good Governance sebagai suatu gerakan adalah segala daya upaya untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang baik. Oleh karena itu gerakan good governance harus memiliki agenda yang jelas tentang apa yang mesti dilakukan agar tujuan utamanya dapat dicapai. Untuk kasus Indonesia, agenda good governance harus disesuaikan dengan kondisi riil bangsa saat ini, yang meliputi:
1. Agenda Politik
Masalah politik seringkali menjadi penghambat bagi terwujudnya good governance. Hal ini dapat terjadi karena beberapa sebab, diantaranya adalah acuan konsep politik yang tidak/kurang demokratis yang berimplikasi pada berbagai persoalan di lapangan. Krisis politik yang melanda bangsa Indonesia dewasa ini tidak lepas dari penataan sistim politik yang kurang demokratis. Oleh karena itu perlu dilakukan pembaharuan politik yang menyangkut masalah-masalah penting seperti: a. Amandemen UUD 1945 Sebagai sumber hukum dan acuan pokok penyelenggaraan pemerintahan, amandemen UUD 1945 harus dilakukan untuk mendukung terwujudnya good governance seperti pemilihan presiden langsung, memperjelas susunan dan kedudukan MPR dan DPR, kemandirian lembaga peradilan, kemandirian kejaksaan agung dan penambahan pasal-pasal tentang hak asasi manusia.
b. Perubahan Undang-Undang Politik dan Undang-Undang Keormasan yang lebih menjamin partisipasi dan mencerminkan keterwakilan rakyat.
c. Reformasi agraria dan perburuhan
d. Mempercepat penghapusan peran sosial politik TNI
e. Penegakan supremasi hukum
2. Agenda Ekonomi
Krisis ekonomi bisa melahirkan berbagai masalah sosial yang bila tidak teratasi akan mengganggu kinerja pemerintahan secara menyeluruh. Mengingat begitu banyak permasalahan ekonomi di Indonesia, perlu dilakukan prioritas-priotitas kebijakan. Prioritas yang paling mendesak untuk pemulihan ekonomi saat ini antara lain:
  1. Agenda Ekonomi Teknis.
Otonomi Daerah. Pemerintah dan rakyat Indonesia telah membuat keputusan politik untuk menjalankan otonomi daerah yang esensinya untuk memberikan keadilan, kepastian dan kewenangan yang optimal dalam pengelolaan sumber daya daerah guna memungkinkan daerah dapat mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya. Agar pelaksanaan otonomi daerah ini berjalan tanpa gejolak dibutuhkan serangkaian persiapan dalam bentuk strategi, kebijakan program dan persiapan institusi di tingkat pusat dan daerah.
Sektor Keuangan dan Perbankan. Permasalahan terbesar sektor keuangan saat ini adalah melakukan segala upaya untuk mengembalikan fungsi sektor perbankan sebagai intermediasi,serta upaya mempercepat kerja BPPN. Kemiskinan dan Ekonomi Rakyat. Pemulihan ekonomi harus betul-betul dirasakan oleh rakyat kebanyakan. Hal ini praktis menjadi prasarat mutlak untuk membantu penguatan legitimasi pemerintah, yang pada giliranya merupakan bekal berharga bagi percepatan proses pembaharuan yang komprehensif menuju Indonesia baru.
b. Agenda Pengembalian Kepercayaan
Hal-hal yang diperlukan untuk mengembalikan atau menaikkan kepercayaan terhadap perekonomian Indonesia adalah kepastian hukum, jaminan keamanan bagi seluruh masyarakat, penegakkan hukum bagi kasus-kasus korupsi, konsistensi dan kejelasan kebijakan pemerintah, integritas dan profesionalisme birokrat, disiplin pemerintah dalam menjalankan program, stabilitas sosial dan politik, dan adanya kepemimpinan nasional yang kuat.
3. Agenda Sosial
Masyarakat yang berdaya, khususnya dalam proses penyelenggaraan pemerintahan merupakan perwujudan riil good governance. Masyarakat semacam ini akan solid dan berpartisipasi aktif dalam menentukan berbagai kebijakan pemerintahan. Selain itu masyarakat semacam ini juga akan menjalankan fungsi pengawasan yang efektif dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan. Salah satu agenda untuk mewujudkan good governance pada masyarakat semacam ini adalah memperbaiki masalah sosial yang sedang dihadapi. Oleh karena itu masyarakat bersama pemerintah harus melakukan tindakan pencegahan terhadap daerah lain yang menyimpan potensi konflik. Bentuk pencegahan terhadap kekerasan komunal dapat dilakukan melalui; memberikan santunan terhadap mereka yang terkena korban konflik, mencegah berbagai pertikaian _vertikal maupun horizontal_ yang tidak sehat dan potensial mengorbankan kepentingan bangsa dan mencegah pula segala bentuk anarkhi sosial yang terjadi di masyarakat.
4. Agenda Hukum
Hukum merupakan faktor penting dalam penegakan good governance. Kekurangan atau kelemahan sistim hukum akan berpengaruh besar terhadap kinerja pemerintahan secara keseluruhan. Dapat dipastikan, good governanance tidak akan berjalan mulus di atas sistim hukum yang lemah. Oleh karena itu penguatan sistim hukum atau reformasi hukum merupakan kebutuhan mutlak bagi terwujudnya good governance.
Good Governance pada umumnya diartikan sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik. Kata ‘baik’ disini dimaksudkan sebagai mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Good Governance. Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance. Menyadari pentingnya masalah ini, prinsip-prinsip good governance diurai satu persatu sebagaimana tertera di bawah ini:
1. Partisipasi Masyarakat
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.
2. Tegaknya Supremasi Hukum
Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
3. Transparansi
Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.
4. Peduli pada Stakeholder
Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.
5. Berorientasi pada Konsensus
Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.
6. Kesetaraan
Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
7. Efektifitas dan Efisiensi
Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
8. Akuntabilitas
Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggung jawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan.
9. Visi Strategis
Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.
Otonomi daerah termasuk pemekaran mempunyai tujuan untuk meningkatkan Pelayanan Publik dengan mendekatkan akses pelayanan publik kepada rakyat dan rentang kendali (span of control) birokrasi pemerintahan lokal. Pelayanan publik merupakan strategis untuk memulai menerapkan good governance. Sehingga diasumsikan dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik tersebut kemudian meningkatkan kesejahteraan rakyat/masyarakat. Suatu logika sederhana, dengan dimilikinya kewenangan mengatur/mengelola pemerintahan sendiri dan mengelola keuangan daerah sendiri serta dengan makin dekatnya akses pelayanan public dan rentang kendali pemerintahan, maka segala kegiatan pemerintahan daerah dimaksudkan agar semakin bersentuhan langsung dengan pemenuhan hak-hak dasar rakyat/masyarakat menuju peningkatan kesejahteraan.
Ada beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi strategis untuk memulai menerapkan good governance. Pertama, pelayanan publik selama ini menjadi ranah dimana Pemerintah berinteraksi dengan masyarakat. Ini berarti jika terjadi perubahan yang signifikan pada pelayanan publik, dengan sendirinya dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat luas. Keberhasilan mempraktekkan good governance pada pelayanan publik mampu membangkitkan kepercayaan masyarakat luas bahwa menerapkan good governance bukan hanya sebuah mitos, tetapi menjadi suatu kenyataan. Kedua, pelayanan publik adalah ranah dimana berbagai aspek good governance dapat diartikulasikan secara lebih mudah. Nilai-nilai yang selama ini mencirikan praktek good governance seperti efisien, non diskriminatif, dan berkeadilan, berdaya tanggap, dan memiliki akuntabilitas tinggi dapat dengan mudah dikembangkan parameternya dalam ranah pelayanan publik. Ketiga, pelayanan publik melibatkan kepentingan semua pihak, Pemerintah mewakili negara, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar, yang semuanya memiliki kepentingan dan keterlibatan yang tinggi dalam ranah ini. Keberhasilan penguasa dalam membangun legitimasi kekuasaan sering dipengaruhi oleh kemampuan mereka dalam menyelenggarakan pelayanan publik yang baik. Dengan memulai perubahan pada bidang yang dapat secara langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sipil dan para pelaku pasar, upaya melaksanakan good governance akan memperoleh dukungan dari semua pemangku kepentingan. Dukungan ini sangat penting dalam menentukan keberhasilan karena memasyarakatkan good governance membutuhkan stamina dan daya tahan yang kuat.
Tujuan mulia untuk menciptakan kesejahteraan pada daerah otonomi senyatanya secara faktual masih belum menunjukkan hasil yang optimal. Beberapa kasus membuktikan bahwa ternyata selama perjalanannya, otonomi daerah termasuk pemekaran daerah sebagai solusi untuk peningkatan kesejahteraan dan peningkatan kualitas pelayanan tidak terlalu signifikan menunjukkan dampak terhadap perubahan taraf kehidupan masyarakat. Secara politik, rakyat dimanipulir aspirasinya demi, oleh dan untuk kepentingan elit daerah, muncul pula rezim-rezim lokal yang bergaya bak diktator baru atau adipati-adipati penguasa daerah setempat, rezim ini menjadi kelas penguasa baru. Di beberapa daerah malah rezim ini seakan kebal hukum, termasuk kroni-kroninya. Mereka juga yang menguasai sebagian besar aset dan fasilitas, menguasai juga SDA dan sumber daya lainnya. Skor korupsi pun meningkat dan melibatkan struktur yang paling dekat dengan rakyat, mulai dari desa hingga kabupaten-kota. Apa mau dikata, otonomi mewabahkan KKN di tingkat daerah ini, dan ini bukan rahasia umum. Aparatur birokrasinyapun berjalan tidak efektif dan efisien, malah menjadi benalu yang membebani rakyat dan keuangan negara. Dalam konteks ini, proses berotonomipun tidak melahirkan pelayanan publik yang maksimal, malahan birokrasi pemerintahan menjadi cenderung boros, infesiensi, inefektifitas dan sarang korupsi. Masalah lainpun bermunculan, seperti semakin senjangnya kualitas pembangunan manusia, menurunnya kualitas lingkungan dampak rusaknya lingkungan yang diakibatkan dari eksploitasi lingkungan yang tidak terkendali, bahkan malah makin marak di era otonomi daerah.
Untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam Otonimi Daerah perlu tiga pendekatan yang harus sekaligus dilakukan. Pertama adalah menetapkan dan memasyarakatkan pedoman good governance secara nasional, baik untuk kalangan korporasi maupun publik, yang kemudian bisa ditindak lanjuti dengan pedoman sektoral dari masing-masing industri atau bidang kegiatan. Pedoman ini merupakan suatu rujukan yang selalu mengikuti perkembangan jaman. Oleh karena itu, dalam kurun waktu tertentu perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian. Pendekatan kedua adalah perlu dilakukan penyuluhan, konsultansi, dan pendampingan bagi perusahaan-perusahaan, maupun kantor pemerintah yang bermaksud untuk mengimplementasikan good governance, dengan melakukan kegiatan self assessment, kemudian memasang rambu-rambu pada masing-masing perusahaan atau instansi Pemerintah. Pendekatan ketiga adalah dengan memperbanyak agen-agen perubah dengan mengembangkan semacam sertifikasi bagi direktur dan komisaris pada perusahaan-perusahaan serta bagi pejabat-pejabat publik.
Maka langkah-langkah konkret yang harus dilakukan adalah :
1. Amandemen konstitusi
Konflik politik yang terjadi sepanjang riwayat negeri ini, bersumber dari cacatnya konstitusi, baik ditinjau dari sisi kemanusiaan, maupun dalam hubungan antar lembaga demokrasi.
2. Pembentukan lembaga anti korupsi
Lembaga anti korupsi harus juga mampu masuk ke wilayah-wilayah rawan, seperti militer, dan jaringan pejabat tinggi dan tertinggi negara, sebagaimana yang pernah diterapkan di Hong Kong.
3. Meletakkan lembaga yudisial sebagai lembaga independen
Intervensi kekuatan-kekuatan politik atas lembaga seperti MA, masih menunjukkan bahwa utang politik sangat mempengaruhi pengambilan keputusan. Dalam tingkatan paling tinggi, adalah menerapkan prinsip-prinsip pemisahan kekuasaan (distribution of power), yang dilakukan di pusat dan daerah. Otonomi daerah harus ditingkatkan menjadi otonomi kekuasaan yang berbasiskan local.
4. Debirokratisasi
Birokrasi Indonesia adalah sumber kemacetan dalam merespons tuntutan publik, juga lamban dalam menjalankan tugasnya. Jumlah Pegawai Negeri Sipil yang banyak, menimbulkan inefisiensi, di samping penumpukan tugas di salah satu level birokrasi serta dengan banyaknya birokrat-birokrat yang tidak berkompeten dibidangnya yang direkrut dengan cara spoil system.
5. Persebaran ilmu pengetahuan.
Pemberdayaan daerah otonom, juga mesti diimbangi dengan melakukan distribusi ilmu pengetahuan secara bersamaan dan merata. Pemerintahan daerah harus makin banyak mengeluarkan ikatan dinas bagi kalangan mudanya untuk studi di manapun, lalu kemudian kembali ke daerah, terutama untuk bidang manajemen, industri, kelautan, dan agribisnis.
6. Penumbuhan media massa independen.
Media massa ini tentunya bersifat nonprofit, berorientasi local, dan langsung menyalurkan berita-berita yang bersifat bottom up, sembari melakukan pendidikan dalam arti luas.
Semua hal langkah tersebut diharapkan dapat menciptakan good governance dalam pelakasanaan otonomi daerah sehingga peningkatan pelayanan yang berujung pada kesejahteraan masyarakat dapat tercapai sebagaimana mestinya.


Daftar Pustaka
 
Jurnal “Good Governance dalam Kerangka Otonomi Daerah”, 18 Juni 2001
Oleh : Indra J. Piliang
Peneliti pada Department of Politics and Social Change CSIS, Jakarta, Pengamat Otonomi Daerah

 Beberapa Pemikiran Tentang Good Governance, 21 Januari 2009
Rahmat Saputra, SH, MH

0 komentar:

Posting Komentar

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com