BIAYA TRANSAKSI: KASUS

Transaction cost(biaya transaksi) merupakan konsep yang menjelaskan mengenai biaya yang keluar saat melakukan transaksi diluar biaya produksi. Pasar menunjukkan bahwa dalam pertukaran ternyata tidak hanya memperhitungkan berapa biaya yang dihabiskan untuk memproduksi suatu barang tetapi juga harus menghitung berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan transaksi/ pertukaran. Salah satu contoh biaya transaksi yang ada di Indonesia adalah mengenai perikan tangkap.
Apabila kita mencoba menghitung harga jual ikan maka secara teori klasik kita akan menghitung biaya produksi yang meliputi biaya labor, capital dan tekhnologi. Sedangkan teori biaya transaksi menjelaskan bahwa sebenaranya ada biaya lain yang harus dilakukan dalam sistem penjualan yaitu biaya untuk bertransaksi. Biaya transaksi dalam usaha perikanan tangkap meliputi biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh informasi mengenai harga ikan, biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh izin usaha, biaya untuk eksplorasi sumber daya yang akan digunakan untuk mengetahui dimana lokasi yang memiliki potensi ikan, biaya investasi,  biaya melaut dan biaya retribusi hasil tangkap.

Biaya transaksi akan  mengakibatkan total biaya akan semakin meningkat. Semakin kecil biaya transaksi yang bisa ditekan maka akan semakin kecil total biaya. Hal ini akan berpengaruh terhadap harga jual sehingga ada keterkaitan antara biaya transaksi yang tinggi dengan harga ikan yang mahal. Hasil kajian/telaah yang telah dilakukan memperlihatkan bahwa industri perikanan menghadapi masalah serius tentang biaya tinggi akibat tingginya biaya transaksi dan berakibat sulitnya perikanan dalam negeri bersaing dengan produk diluar negeri. Biaya-biaya diluar biaya produksi tersebut mempengaruhi harga jual produk sehingga pada akhirnya mempengaruhi daya saing produk di dalam negeri maupun di luar negeri.

Sejak tahun 2009 pemerintah mencoba untuk menekan biaya transaksi melalui UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang-undang ini berfungsi sebagai regulasi dalam menciptakan governance yang ideal. Sehingga bertujuan agar harga pasar yang terbentuk dalam perikanan tangkap adalah harga yang rendah sebab telah menekan biaya transaksi(TC). Dalam undang-undang ini dijelaskan bahwa dalam perikanan tangkap maka retribusi hanya meliputi retribusi tempat pelelangan, retriusi pelayanan kepelabuhan dan retribusi izin usaha perikanan. Namun pada kenyataannya , regulasi yang telah ada belum cukup kuat untuk menekan biaya transaksi. Hal itu terbukti bahwa hingga saat ini masih ditemukan  biaya transaksi dalam pelayanan perizinan usaha perikanan yang berbelit-belit dan rentan dengan pungutan liar(Majalah Samudera Edisi 19, Oktober tergantung dari jenis alat tangkap yang digunakan, daerah tangkapan, dan jumlah kapal yang diurus.

Regulasi yang ada belum mampu menciptakan tata kelola yang baik. Hal tu terbukti dengan ditemukannya biaya transaksi pada retribusi izin usaha meliputi biaya transaksi pengurusan izin investasi dan izin melaut,  biaya transaksi untuk memeperoleh harga pada pelelangan pelabuhan dan retribusi hasil tangkapan. Berdasarkan data penelitian dan informasi beberapa pihak(media dan penelitian universitas) ditemukan bahwa biaya transaksi yang harus menjadi tangunggungan pengusaha dalam perikanan tangkap di daerah-daerah meliputi:

1.            Izin Investasi. Pada tahapan investasi, biaya transaksi yang muncul terjadi selama investasi masih berlangsung. Perizinan yang dikelompokkan dalam fase ini biasanya berlaku dalam jangka 5 tahun. Biaya yang dikeluarkan pemiliki kapal berupa pengurusan dokumen kepemilikan kapal serta biaya untuk mendapatkan izin investasi. Pengusaha yang menggunakan jenis kapal Purseseine harus mengeluarkan biaya transaksi sekitar 7,3% dari biaya total, 8,7% untuk jenis Mini Purseseine dan 2,3% untuk jenis kapal Gilnet dalam kurun waktu pertahun.

2.            Izin Melaut. Pada saat operasional biaya transaksi bersifat secara temporal yang dimulai dari persiapan melaut hingga tangkapan dibawa kedaratan. Bahkan ketika sudah memiliki izin melaut masih ditemukan pungutan kepada awak kapal saat berada di Laut. Beberapa komponen biaya transaksi seperti itu ditemukan dalam jumlah yang berbeda  pada setiap trip perjalanan. Izin operasional yaitu izin yang harus dimiliki untuk melakukan kegiatan operasional berupa izin jangka pendek dan harus diperbaharui setiap tahun. Izin operasioanl meliputi Surat Penangkapan ikan(SPI), SIKPI, Sertifikat Kelaikan dan Pengawakan Kapal Penangkapan Ikan mencangkup nautis, teknis dan radio, Pas Kapal dan Dokumen Kepelautan meliputi izajah Nahkoda, Daftar Awak kapal dan Buku Kesehatan. Data penelitian menunjukkan bahwa biaya transaksi untuk mengurus izin operasional yang paling besar ditanggung oleh pengusaha dengan jenis kapal Purseseine sekitar 5 juta pertahun, Mini Purseseine 1,4 juta pertahun dan Gillnet sekitar 500ribu pertahun.

3.            Restribusi hasil tangkapan. Retribusi hasil tangkapan ditentukan berdasarkan hasil tangkapan. Sehingga semakin besar hasil tangkapan maka semakin besar restribusi yang dikenakan kepada nelayan/produsen. Data yang ditemukan menunjukkan bahwa biaya transaksi yang harus dikeluarkan dalam retribusi hasil tangkap terbesar berada pada pemilik perahu motor dari pemilik Gilnet, Mini Purseseine dan Purseseseine. Pemilik perahu motor adalah pengusaha perikanan tangkap dengan modal kecil, sehingga hal ini menjadi salah satu faktor utama pengusaha kecil(pengusaha motor) sulit mengembangkan usahanya. Biaya transaksi pada retibusi tangkap yang dikenakan kepada produsen Kapal motor adalah hampir 93% dari total biaya transaksi sedangkan Gilnet hanya 90,1% dari total biaya transaksi.

4.            Biaya transaksi yang keluar untuk memperoleh informasi harga pasar. Informasi pasar biasanya dikuasai oleh para bakul yang juga merupakan produsen, sehingga biaya transaksi untuk memperoleh informasi harga adalah nol. Hal itu menyebabkan produsen tidak terkena biaya perantara pasar tetapi disisi lain dapat menyebabkan tidak terjadinya pelelangan ikan(mekanisme pasar). Tidak terjadinya pelelangan menyebabkan timbulnya biaya retribusi yang sangat besar kepada penangkap dalam jumlah besar. Kondisi seperti ini bisa menyebabkan produsen besar membatasi tangkapannya dan menyebabkan sulitnya peningkatan level penangkapan(seperti yang tercantum sebelumnya di poin 3). Contohnya Pengusaha jenis Kapal Gilnet apabila tidak mengikuti proses lelang maka akan menanggung biaya transaksi retribusi hasil tangkapan sebesar 90,11%,  biaya transaksi untuk biaya tambat dan keamanan kapal sebesar 1,75% dan pelaksanaan traadisi laut(tradisi menurut adat istiadat setempak ketika kembali dari laut) sebesar 8,15% dari total biaya transaksi. Sedangkan apabila mengikuti proses lelang berarti pengusaha harus menanggung biaya transaksi untuk memperoleh informasi pasar sebesar 79,71%.

Contoh Perda Demak No.7 Tahun 2010 tentang retribusi daerah Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dimana mengenakan retribusi atas transaksi di TPI berdasarkan nilai transaksi sebesar 5% kepada para bakul ikan (penjual). Sehingga hal ini menunjukkan bahwa pengusaha harus menanggung biaya transaksi untuk memeperoleh informasi sebesar 5%.

Sehingga biaya transaksi akan meningkatkan total biaya sekitar 8%(untuk biaya transaksi dalam pengurusan izin investasi), 5%(biaya transaksi untuk memperoleh informasi) serta ditambah 5 juta jika kapal Purseseine, 1,4 juta untuk Mini Purseseine dan Gillnet sekitar 500ribu. Sehingga ada sekitar 20% dari biaya produksi yang menjadi  biaya transaksi yang harus ditambahkan untuk mengitung total harga yang harus ditanggung pengusaha. Hal ini menyebabkan perikanan Indonesia sulit bersaing pada pasar domestik maupun Luar Negeri.Ekspor ikan lebih murah dari harga ikan lokal sehingga industri penangkapan  Indonesia sulit berkembang. Misalnya kondisi pada perdagangan ikan patin, ikan patin dari China ke Indonesia dijual dengan harga Rp 9.000/kg, dari Vietnam Rp 11.000/kg dan pedangang lokal menjual sebesar Rp 15.000/kg. Hal itu disebabkan karena tingginya biaya transaksi sehingga menyebabkan total harga tinggi karena penjual ikan memperoleh harga yang tinggi dari pengusaha ikan. Apabila biaya transaksi pada tahapan tangkap tidak dapat ditekan maka akan berdampak pada sektor hilir lainnya misalnnya pada industri pengelolaan dan pemasaran

Data perkembangan hasil tangkap menunjukkan bahwa tidak ada perubahan yang signifikan sejak munculnya regulasi pada tahun 2009 yang bertujuan untuk meminimalkan biaya transaksi. Hal itu dapat dilihat dari data Kementrian Kelautan Dan Perikanan(KKP) yang menunjukkan bahwa tahun 2010 volume ikan impor telah lebih dari 318 ribu ton. Jumlah tersebut mengalami peningkatan hampir 100 persen dibanding tahun 2006 yang jumlahnya hanya 184 ribu ton.  Sedangkan angka impor 2011 adalah 494 juta dolar AS tetapi angka tersebut mengalami peningkatan hingga 26,2 persen dibanding tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa regulasi untuk menekan biaya transaksi ternyata belum mampu menciptakan kondisi yang kondusif yang dapat berdampak pada penurunan impor dan kenaikan ekspor perikanan Indonesia. Dampak dari daya saing yang lemah ini cukup serius, karena tidak hanya dirasakan oleh industri, tetapi juga konsumen. Dampaknya bagi industri adalah stagnanisasi(sulit berkembang), nelayan kecil tidak bisa bersaing, serta konsumen yang terpaksa harus  membeli produk mahal karena kebijakan pemerintah dalam pembatasan ekpor . Biaya yang tinggi pada proses penangkapan akan menyebabkan kerugian pada berbagai pihak seperti kepada nelayan sebagai produsen dan masyarakat sebagai konsumen. Produsen yang dimaksud disini adalah pemilik Kapal Purseine dengan kapasitas lebih dari 30 GT, pemilik Kapal Mini Purseine dengan kapasitas kurang dari 30, pemilik kapal Gillnet dengan kapasitas lebih dari 10 GT serta kapal Motor dengan kapasitas kurang dari 10GT. Kerugian pada produsen berupa biaya transaksi yang tidak terkendali menyebabkan biaya yang tinggi pada dunia usaha dan mengurangi surplus produsen. Sehingga hal itu akan menjadikan ketidakpastian dalam biaya perikanan tangkap dan berdampak pada rendahnya minat usaha perikanan tangkap. Sedangkan kerugian pada konsumen berupa tingginya harga sehingga menyebabkan ketidakmampuan untuk mengkonsumsi hasil perikanan. Selain itu, awak kapal sebagai pekerja/buruh dilapangan juga mendapat dampak berupa rendahnya upah untuk setiap pelayaran dalam proses penagkapan ikan.

Oleh karena itu, maka pemerintah harus memperhatikan beberapa hal penting, meliputi :1)Sistem pengurusan Izin Investasi dan  izin Operasional pada setiap daerah harus menyesuaikan terhadap peraturan Kementrian dan Kelautan, memiliki SOP dan transparansi pengurusan. Hal itu bertujuan untuk mempermudah dan memperjelas berbagai prosedur pembukaan suatu usaha dengan sistem koordinasi antar lembaga yang menanganinya, sepertinya melalui sistem online dan transparan sehingga dapat menekan biaya infrastruktur yang tinggi seperti pungli, broker, dan korupsi. Biaya infrastruktur yang buruk menyebabkan pengusaha harus menyediakan biaya transaksi sangat tinggi sehingga tidak mendukung iklim usaha di Indonesia. Kedua, membuat peraturan berkenaan dengan pengawasan langsung oleh Komite / Lembaga yang terdiri dari semua komponen(LSM, Kelompok Nelayan dan Pemerintah). Bertujuan agar keterkaitan antara principal dan agen bersifat melekat dan berpusat. Sehingga masyrakat khususnya pengusaha industry perikanan tangkap dapat memiliki akses ikut memonitor sistem kelola yang diterapkan. Dan yang terakhir bertujuan untuk melindungi nelayan(pekerja/buruh Kapal) maka perlu ditetapkan upah minimum yang sesuai dengan hasil tangkapan yang diperoleh. Sistem dan prosedur penetapan upah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan mempertimbangkan beragamnya kemampuan dalam membayar upah.