Sabtu, 09 Maret 2013

Stuktur Masyarakat Indonesia


Ada 2 ciri stuktur masyarakat Indonesia yang unik yaitu secara horizontal,adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa,agama, adat serta perbedaaan-perbedaan kedaerahaan dan secara vertical adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam.
Perbedaan suku bangsa, agama, adat dan kedaerahan sring kali disebut sebagai ciri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk, istilah yang pertama kali dikemukakan oleh Furnivall untuk mengambarkan masyarakat Indonesia saat masa Hindia-Belanda. Konsep masyarakat saat ini memang merupakan perluasan dari konsep tersebut.

A. STRUKTUR MASYARAKAT INDONESIA PADA MASA HINDIA-BELANDA

Menurut Furnivall, masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda merupakan suatu masyarakat  majemuk plural (plural societies) yaitu suatu masyarakat yang terdiri atas 2 elemen atau lebih yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembaruan satu sama lain dalam kesatuan politik. Sebagai masyarakat majemuk, masyarakat Indonesia ia sebut sebagai suatu tipe masyarakat daerah tropis dimana mereka yang berkuasa dan dikuasai memiliki perbedaan ras. Orang-orang Belanda sebagai golongan minoritas walau jumlahnya terus bertambah terutama pada akhir abad ke-19 adalah penguasa memerintah bagian yang amat besar orang-orang Indonesia pribumi (biasa disebut golongan pribumi) yang menjadi warga kelas tiga di negerinya sendiri. Golongan orang-orang Tiongha sebagai golongan terbesar diantara orang-orang Timur asing lainnya menempati kedudukan menengah.
Didalam kehidupan politik tanda yang paling jelas kemajemukan masyarakat Indonesia adalah tidak adanya kehendak bersama (common will). Masyarakat Indonesia sebagai keseluruhan terdiri dari elemen-elemen yang terpisah satu sama lain oleh karena perbedaan ras,masing-masing lebih merupakan individu-individu daripada suatu keseluruhan yang bersifat organis dan sebagai individu sosial mereka tidaklah utuh . Cuntohnya : Orang-orang Belanda datang ke Indonesia untuk bekerja tetapi mereka tidak tinggal tetap di Indonesia . Kehidupan mereka berada di sekitar pekerjaannya itu dan mereka memandang masalah-masalah kemasyarakatan, politik ekonomi yang terjadi di Indonesia tidak sebagai warga Negara melainkan kapitalis atau majikan dari buruh-buruh mereka. Banyak pula dari mereka yang tinggal lebih dari 20 tahun tetapi sesudah itu mereka kembali ke negerinya untk menghabiskan sisa hidupnya di negeri asal mereka dengan pengetahuan mereka tentang Indonesia tidak lebih dari pengetahuan ketika mereka ketika pertama kali ke Indonesia. Begitu juga dengan orang-orang Timur asing terutama Tiongha dan Belanda yang datang ke Indonesia semata-mata hanya untuk kepentingan ekonomi. Sedangkan kehidupan orang pribumi tidak lebih sebagai pelayan di negerinya sendiri. Secara keseluruhan masyarakat Indonesia pada masa Hindia-Belanda merupakan suatu masyarakat yang tumbuh diatas system kasta tanpa ikatan agama. Orang Belanda, Tiongha maupun pribumi melalui agama, kebudayaan, dan bahasa masing-masing mempertahankan dan memelihara poal pikiran dan cara hidup masing-masing. Maka hasilnya adalah berupa masyarakat Indonesia yang sebagai keseluruhan tidak memiliki kehendak bersama (common will) .
Di dalam kehidupan ekonomi , tidak adanya kehendak bersama berarti tidak adanya permintaan sosial yang dihayati bersama oleh elemen masyarakat(common social demand) . Menurut Furnival, setiap masyarakat politik dari kelompok nomad sampai bangsa yang berdaulat berangsur-angsur membentuk peradaban dan kebudayaannya sendiri. Semua kebutuhan kultural seperti kebutuhan-kebutuhan agama, politik dan keindahan memiliki aspek ekonomi karena semuanya terorganisir hanya sebagai kebutuhan ekonomi  yakni sebagai permintaan (demand) masyarakat sebagai keseluruhanya. Tetapi pada masa Hindia-Belanda , permintaan masyarakat tersebut tidaklah terorganisir melainkan bersifat seksional dan permintaan sosial tidak dihayati oleh seluruh elemen masyarakat. Masing-masing memiliki pola pemrintaan sendiri .
Tidak adanya permintaan sosial yang dihayati bersama oleh semua elemen masyarakat menjadi dasar yang membedakan karakter ekonomi majemuk (plural economi) pada masyarakat majemuk dengan ekonomi tunggal (unitary economi) pada masyarakat homogeneous.Proses ekonomi pada masyarakat homogeneous dikendalikan oleh common will sedangkan hubungan sosial pada masyarakat majemuk hanya dibimbing oleh proses produksi dengan barang-barang material sebagai tujuan utama kehidupan masyarakat. Oleh karena penggolongan masyarakat berdasarkan perbedaan ras maka pola produksi pun terbagi berdasarkan perbedaan ras pula, setiap ras memiliki fungsi sendiri-sendiri seperti orang Belanda dalam bidang perkebunan, orang pribumi dalam bidang pertanian dan orang Tiongha sebagai kelas pemasaran yang menjadi perantara diantara keduanya. Pada masyarakat majemuk konflik kepentingan yang terjadi lebih tajam Karena perbedaan kepentingan bersaaman dengan perbedaan ras. 
Pemerintah Hindia-Belanda (350 tahun) membiarkan perbedaan yang terjadi antar masyarakat jawa dan luar  Jawa dalam hal pengolahaan pertanian. Sejak abad ke-18 tekanan perdagangan Belanda di Maluku berpindah ke Jawa. Sejak sat itu pengawasan Belanda ke daerah luar Jawa lebih bersifat tidak  langsung. Pola perdagangan  tersebut tetap terpelihara di daerah-daerah di luar Jawa sementara kekuasaan langsung pemerintah Hindia-Belanda di pulau Jawa mematikan kegiatan perdagangan di daerah tersebut. Sebaliknya untuk mencukupi kebutuhan administrasi yang murah maka  penduduk pulau Jawa lebih banyak direkrut dalam birokrasi daripada yang di luar Jawa.
Perbedaan suku bangsa, agama,  dan regional merupakan dimensi-dimensi horizontal sedangkan polarisasi sosial berdasarkan kekuatan politik dan kekayaan merupakan dimensi vertikal dari stuktur masyarakat Indonesia. Dengan semakin meluasnya pertumbuhan sektor ekonomi modern beserta organisasi admnistrasi  maka kontras pelapisan sosial antar sejumlah besar orang-orang yang ekonomis dan politis  berposisi lemah pada lapisan bawah dan sejumlah kecil orang kaya dan berkuasa pada lapisan atas  menjadi semakin mengeras. Proses tumbuhnya ketimpangan yang demikian telah berakar sejak zaman Hindia-Belanda, digambarkan oleh Boeke  sebagai duel economy.
Dalam struktur ekonomi yang demikian, dua macam sektor ekonomi yang berbeda saling berhadapan satu sama lain. Sektor yang pertama berupa struktur ekonomi modern yang secara komersial lebih bersifat canggih (sophisticated) dan bersentuhan dengan lalu lintas perdagangan internasional yang dibimbing oleh motif-motif memperoleh keuntungan maksimal, dalam konteks kolonial sebagian besar dikuasai orang asing. Sedangkan sektor kedua berupa struktur ekonomi pedesaan yang bersifat tradisional yang menurut teori ekonomi modern merupakan struktur ekonomi yang berorientasi pada sikap-sikap  konservatif yang dibimbing oleh motif-motif untuk memelihara keamanan dan kelanggengan sistem yang sudah ada, tidak berminat untuk memperoleh keuntungan dan menggunakan sumber-sumber secara maksimal serta lebih berorientasi pada pemenuhan kepuasan dan kepentingan sosial dari pada menanggapi rangsangan dari internasional serta kurang mampu  mengusahakan pertumbuhan perdagangan secara dinamis. Sebagian besar penduduk Indonesia berada pada sektor kedua.

B. STRUKTUR MASYARAKAT INDONESIA SETELAH KEMERDEKAAN

Berbeda dengan pendapat Furnivall yang mengartikan pluralitas masyarakat Indonesia dengan membedakan golongan Eropa, Tiongha, dan pribumi maka pluralitas masyarakat Indonesia sesudah kemerdekaan berada dalam konteks perbedaan-perbedaan internal  diantara golongan pribumi. Sejak bangsa Indonesia merdeka, golongan Eropa terlempar keluar dari sistem sosial masyarakat Indonesia.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan pluralitas masyarakat Indonesia, yaitu :
1.      KEADAAN/GEOGRAFIS
Geografis yang membagi Indonesia pulau-pulau yang terpisah yaitu kurang lebih 3000 pulau menyebabkan penduduk yang menempati setiap pulau tumbuh menjadi kesatuan suku bangsa yang sedikit banyaknya terisolasi dari kesatuan suku bangsa lain. Setiap orang dalam kesatuan suatu suku bangsa memandang dirinya sebagai suatu jenis tersendiri dengan bahasa dan kebudayaan yang sama pada umumnya. Menurut Nasikun terdapat 40 suku bangsa, Hildretz berpendapat ada 300-an suku bangsa, Grimes mengatakan ada 500 suku bangsa sedangkan Zulyani Hidayah mengatakan ada sekitar 654 suku bangsa.
2.      LETAK INDONESIA
Indonesia terletak diantara samudra Indonesia dan Samudra Fasifik. Hal itu sangat mempengaruhi pluralitas agama dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena letaknya yang berada di tengah-tengah lalu lintas perdagangan laut melalui kedua samudra trsebut maka masyarakat Indonesia telah lama memperoleh pengaruh kebudayaan bangsa lain melalui pedagang asing. Pengaruh pertama kali datang pada abad 400 sesudah masehi berupa pengaruh kebudayaan Hindu-Budha dari India.
Kemudian sejak abad 13 pengaruh budaya Islam masuk ke Indonesia tetapi baru benar-benar mengalami proses penyebaran yang meluas sepanjang abad 15. Pengaruh reformasi agama Islam yang memasuki  Indonesia pada permulaaan abad ke-17 terutama pada akhir abad ke-19 tidak tidak mampu mengubah keadaan kecuali memperkuat pengaruh agama Islam di daerah yang sebelumnya memang telah merupakan daerah pengaruh Islam.
Pengaruh kebudayaan Barat mulai memasuki masyarakat Indonesia melalui kedatangan bangsa Portugis pada abad ke-16 karena tertarik kekayaan rempah-rempah. Dalam perdagangan tersebut disertai dengan kegiatan misssionaris yang membawa pengaruh agama katolik. Kemudian ketika Portugis  berhasil didesak oleh Belanda pada 1600-an maka pengaruh agam katolik berganti dengan Protestan tetapi karena Belanda pada saat itu lunak dalam soal agama maka protestan hanya mampu memasuki daerah yang sebelumnya tidak cukup kuat dipengaruhi oleh Islam dan Hindu.
3.      IKLIM DAN STRUKTUR TANAH
Perbedaan iklim dan struktur tanah menciptakan pluralitas regional. Kesuburan tanah dan sistem pertanian yang lebih intensif di pulau Jawa menjadi landasan bagi pentingnya daerah tersebut dahulunya. Karena sistem pertanian  yang intensif berkembang disana maka desa-desa di Jawa tidak mungkin sepenuhnya bisa berdiri sendiri sebagai selfsufficient unit. Keadaan ini membutuhkan  suatu unit kemasyarakatan yang lebih besar untuk mengintegrasikan berbagai desa tersebut. Maka muncullah kerajaan-kerajaan yang didukung oleh sejumlah besar desa-desa sebagai pembayar pajak, sedangkan kerajaan memberikan pelayanan birokrasi, perlindungan dan tuahnya kepada masyarakat sebagai imbalan. Berdasarkan pola tersebut maka kerajaan dengan raja dan bangsawannya tidak hanya sebagai pusat pemerintahan tetapi juga sebagai pusat kebudayaan. Pengaruh Hinduisme dan Budhaisme yang datang sebelum islam juga memperkokoh sistem ini sehingga system aritokrasi semakin tegas dan terinci dengan konsep tentang kerajaan yang suci dan mengandung kekuatan magis sebagai landasannya.
Proses tersebut terus berjalan dan mencapai kematangan pada awal  kedatangan orang kulit putih ke Indonesia. Pada abad 17 karena terdesak oleh  perdagangan laut maka kebudayaaan Jawa berpaling dari dunia luar dan membalik ke dalam semata-mata untuk mempertinggi dan memeperluas kehidupan keraton. Walaupun bukan baru tetapi sifat kenigratan kebudayaan Jawa mencapai tingkatnya yang tinggi waktu itu.
Berbeda dengan sistem pertaniaan sawah di Jawa yang mendorong tumbuhnya suatu system kemasyarakatan yang mendasarkna diri pada kekuasaan diri di daratan maka sistem pertanian di luar Jawa mendorong tumbuhnya suatu sistem kemasyarakatan yang berasarkan kekuasaan di laut melalui keunggulan perdagangan. Apabila di Jawa muncul kerajaan Majapahit di luar Jawa juga ada kerajaan yang gemilang yaitu Sri Wijaya. Sayangnya, sebagian besar petani Indonesia tidak memiliki tanah hanya sekitar  3% diantara petani Indonesia yang bisa dikatakan petani kaya. Maka dapat kita perkirakan betapa tajam perbedaan vertikal antar lapisan atas dan bawah pada tingkat nasional.
Sistem Ekonomi. Ekonomi modern, berorientasi pada efisiensi (maksimum atau (optimum). Ciri utamanya adalah kemampuan untuk memelihara pertumbuhan yang berkelanjutan (self sustaining growth). Mekanisme ekonomi modern adalah pasar. Sistem ekonomi yang demikian memiliki ciri-ciri sebagai berikut. Pertama, memiliki daya yang memungkinkan pengembangan dan penyerapan teknologi (atau gagasan-gagasan) baru. Peran industri dan jasa lebih besar dibandingkan pertanian. Oleh karena itu, proses modernisasi acapkali disinonimkan dengan industrialisasi. Kegiatan-kegiatan yang sarat modal dan teknologi yang menghasilkan nilai tambah yang tinggi, lebih besar dibandingkan dengan yang sarat tenaga kerja yang berharga murah. Ada keseimbangan antara modal manusia (yang berkua litas) dengan modal fisik. Sektor formal lebih dominan dibandingkan dengan sektor informal. Dengan demikian, organisasi dan manajemen produksi menjadi wahana yang penting dalam sistem ekonomi modern. Sebagai konsekuensinya ada pemisahan antara pemilikan dan pengelolaan (manajemen) aset dan kegiatan produksi. Pada masyarakat yang lebih modern, atau pascamodern, peran informasi dan teknologi informasi makin besar dan pada akhirnya menjadi dominan. Sebagai akibatnya ekonomi modern makin tidak mengenal tapal batas negara. Oleh karena itu, kemampuan (dan options) negara untuk mengadakan intervensi menjadi makin berkurang. Sistem ekonomi modern bersifat mandiri. Mandiri tidak berarti keterisolasian, karena dalam hubungannya dengan ekonomi-ekonomi lainnya, ekonomi yang modern mempunyai keunggulan-keunggulan yang membuatnya memiliki kekuatan tawar-menawar (“bargaining position”) dalam hubungan saling ketergantungan antarekonomi. Dengan demikian ekonomi yang modern bukan merupakan “vassal” dari ekonomi lainnya.
Sistem Sosial. Dalam masyarakat modern, hubungan primer antar individu telah jauh berkurang dan hubungan sekunder yang lebih bersifat impersonal menjadi lebih predominan. Dalam masyarakat tradisional atau pramodern, status, hubungan dan keterkaitan sosial lebih didasarkan pada apa atau siapa seseorang; latar belakang keluarga atau keturunan, suku atau ras, jender (pria atau wanita), dan usia (yang antara lain melahirkan paternalisme). Dalam masyarakat tradisional, di samping pertimbangan-pertimbangan itu, memang ada juga pertimbangan kemampuan (capability), tetapi lebih bersifat fisik (jagoan, misalnya) atau magis (paranormal).
Dalam masyarakat modern apa dan siapa bukannya sama sekali diabaikan, tetapi bobotnya kurang dibandingkan dengan prestasi yang telah dicapai dan potensi yang dapat dicapai. Penghargaan terhadap kemampuan fisik tidak juga diabaikan seperti pahlawan-pahlawan olahraga, tetapi penghargaan lebih besar diberikan kepada kemampuan intelektual. Sukses seseorang karena prestasinya sendiri dihargai tinggi dalam masyarakat modern (contoh: penghargaan kepada Bill Gates padahal ia adalah seorang yang putus sekolah).
Manusia modern ingin memperoleh pengakuan sebagai individu selain sebagai anggota masyarakat. Juga ia senantiasa berupaya untuk terus maju, tidak statis, dan berusaha menampilkan dan mencari yang terbaik. Karena itu, profesionalisme adalah cirinya manusia modern. Pada umumnya ciri personalitas manusia modern adalah manusia yang mampu membimbing dirinya sendiri, mampu mengambil keputusan sendiri (menetapkan pilihan-pilihan) dan mampu menghadapi perubahan.
Struktur Sosial. Struktur yang mewarnai suatu masyarakat tradisional berintikan kekerabatan, kesukuan, atau keagamaan. Struktur yang bersifat primordial itu tertutup bagi yang lain di luar hubungan-hubungan itu dan tidak bersifat sukarela. Dalam masyarakat modern, struktur sosial bersifat terbuka dan bersifat sukarela. Jadi, yang berkembang dan menjadi tiang-tiang masyarakat adalah organisasi politik, organisasi ekonomi, organisasi sosial, termasuk organisasi profesional dan fungsional. Dalam masyarakat tradisional atau pramodern, organisasi-organisasi serupa itu sekalipun sudah ada, dasarnya masih tetap lebih bersifat primordial dan masih lebih tertutup.
Namun, apabila kita berbicara mengenai struktur sosial, ada ciri-ciri yang nyata dalam masyarakat modern, yaitu:
a.       Sebagian besar anggota masyarakat berada pada lapisan menengah; lapisan atas dan bawah adalah minoritas. Pada masyarakat tradisional dan pramodern, sebagian besar masyarakat berada di lapisan bawah.
b.      Dalam masyarakat modern tidak tampak batas pemisah (diskontinuitas), tetapi stratanya lebih bersifat suatu kontinum. Dalam masyarakat tradisional pembatas antar strata sangat tegas, bahkan acapkali tabu atau ada sangsi bagi yang melewati batas itu.
c.       Dalam masyarakat modern mobilitas sosial tinggi baik ke atas, maupun ke bawah. Sebaliknya dalam masyarakat tradisional mobilitas itu rendah, yang di bawah betapa pun potensinya tetap di bawah, dan yang di atas betapa pun rendah kemampuannya tetap berada di atas.
d.      Dalam masyarakat modern, pandangan keadilan, kesamaan hak dan kewajiban menjadi kredo, yang berarti juga kesamaan kesempatan.
Pancasila jelas adalah paham yang demokratis. Silanya yang keempat mencerminkan hal itu. Namun, demokrasi itu sendiri bukan suatu wujud yang kaku. Memang, ada unsur-unsurnya yang baku seperti partisipasi yang bebas, luas, dan terbuka dari rakyat, tetapi sistemnya tidak harus seragam di semua tempat. Dari dalam dan dari luar kita akan menghadapi tantangan-tantangan terhadap sistem demokrasi yang kita anut dan ingin tegakkan, yang sesuai dengan kondisi sosialkultural bangsa kita yang demikian majemuk dan latar belakang historis bangsa kita.
Dalam konteks ini, kita menyadari bahwa ada ciri-ciri dari konstruksi struktur sosial (social structural construct) masyarakat modern yang berlaku buat semua, tetapi kita yakin bahwa, misalnya, asas kekeluargaan (bukan dalam arti nepotisme) adalah suatu bangun nilai yang unggul dan dapat diterapkan dalam masyarakat modern. Manifestasinya antara lain adalah kita ingin selalu mendahulukan musyawarah, dan menghindari diktator mayoritas atau tirani minoritas.
Bagi masyarakat modern (Barat) mungkin ini konsep yang kuno (archaic), bertele-tele dan juga mahal, tetapi bagi kita lebih banyak baiknya daripada buruknya.
Dan yang terakhir dalam rangka pemberdayaan masyarakat, pada waktu kita berbicara mengenai masyarakat Indonesia, sesungguhnya kita berbicara mengenai masyarakat yang majemuk, bukan hanya komponen-komponen budayanya, tetapi juga taraf perkembangannya. Tidak mungkin kita menyamakan masyarakat Jakarta atau bahkan Jawa dengan masyarakat Irian Jaya. Pada waktu kita berbicara mengenai masyarakat Indonesia modern, dalam pikiran kita tentunya adalah seluruh masyarakat Indonesia. Tentunya hanyalah suatu lamunan terciptanya masyarakat tanpa kelas atau tanpa perbedaan sosial ekonomi, tetapi haruslah diusahakan bahwa lapisan yang terbawah sekali pun, tidak jauh tertinggal dari kehidupan yang berkemanusiaan, yang bermartabat, dan mendapat kesempatan untuk memasuki kehidupan modern. Ini suatu tantangan yang tidak kecil pula.


SUMBER:
Sistem Sosial Indonesia(Nasikun)
Internet (Google)








0 komentar:

Posting Komentar

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com