Sabtu, 09 Maret 2013

Anggaran Berbasis Kinerja sebagai Bentuk Kebijakan Desentralisasi Fiskal


Abstrak
            Desentralisasi fiskal adalah salah satu bentuk reformasi kebijakan anggaran.  Melalui desentralisasi fiskal diharapkan pemerintah daerah dapat melihat kebutuhan daerah secara tepat dan  menggunakan segala bentuk inovasi dalam mencapai efektifitas dan efisiensi anggaran baik dalam sektor penerimaan maupun pengeluaran.  Sistem penganggaran yang selama ini diterapkan di Indonesia yang bersifat kaku, hirarkis dan tradisional dirasa sudah tidak cocok lagi dengan perkembangan di Indonesia khususnya setelah diterapkannya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.
Dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang memuat berbagai perubahan mendasar dalam pendekatan penganggaran maka jelaslah bahwa pemerintah pusat telah berusaha untuk berbagi kewenangannya kepada pemerintah daerah. Perubahan-perubahan itu didorong oleh berbagai faktor termasuk diantaranya perubahan yang begitu cepat di bidang politik, desentralisasi, dan berbagai tantangan pembangunan yang dihadapi pemerintah. Berbagai perubahan ini membutuhkan dukungan sistem penganggaran yang lebih responsive, yang dapat memfasilitasi upaya memenuhi tuntutan masyarakat atas peningkatan kinerja pemerintah dalam bidang pembangunan, kualitas layanan dan efisiensi pemanfaatan sumber daya.
Melihat kondisi di pemerintahan daerah maupun pusat serta dengan didukung oleh aturan-aturan yanjg berlaku maka sudah seharusnya sistem penganggaran di Indonesia yang masih bersifat tradisional diganti dengan sistem penganggaran yang mampu merespon perubahan-perubahan tersebut. Sebagai gantinya adalah Anggaran Negara Berdasarkan Prestasi Kerja atau istilah yang lebih sering digunakan adalah Anggaran Berbasis Kinerja. Proses penyusunan dan sasaran yang ingin dicapai dari sistem anggaran berbasis kinerja menggambarkan adanya peluang bagi daerah untuk mengembangkan visi dan misi serta mewujudkan keinginan dan harapan masyarakat sesuai dengan potensi yang dimiliki daerah yang bersangkutan.
Keywords: Kebijakan Fiskal, Desentralisasi Fiskal, Anggaran Berbasis Kinerja.
           
Pendahuluan
Krisis Global yang terjadi pada tahun 1999 memberikan efek domino pada perekonomian Indonesia. Krisis menyebAnggaran Berbasis Kinerjaan ketidakstabilan perekonomian di Indonesia. Krisis tersebut terus berlanjut karena tingginya tingkat premi resiko dalam berinvestasi, terkendalannya program pemerintah dalam melakukan pemulihan ekonomi dan masih belum jelasnya prospek keberhasilan pemerintah sehingga perlu konsilidasi APBN dalam tahap perbaikan dan pemulihan.[1] Salah satu upaya pemulihan tersebut dapat dilakukan melalui kebijakan fiskal.
Pengeluaran dan pendapatan negara akan mempengaruhi berbagai sisi kehidupan masyarakat baik yang berkaitan dengan jumlah uang yang beredar, kesempatan memeroleh pendapatan dan menumpuk kekayaan maupun iklim untuk berinvestasi. Pengeluaran negara akan berdampak pada peningkatan pendapatan nasional(expansionary) sedangkan penerimaan negara akan mengurangi pendapatan nasional(contractionary). Mengurangi atau menambah pengeluaran dan memperkecil atau memperbesar pendapatan dapat digunakan pemerintah sebagai alat untuk menjaga stabilitas ekonomi. Pola ini disebut sebagai fiscal policy(Kebijakan Fiskal)
Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dikeluarkan untuk memulihkan kondisi ekonomi dengan cara mengeluarkan kebijakan seputar pajak, pinjaman , pengeluaran dan investasi. Fungsi utama kebijakan fiskal yaitu distribusi , alokasi dan stabilisasi. Fungsi Distribusi adalah pembagian pendapatan untuk menjamin pemerataan keadilan . adalah peranan kebijakkan fiskal dalam rangka pembagian kembali pendapatan. Berdasarkan mekanisme harga,  pembagian pendapatan didasarkan pada pemilikan sumberdaya atau fakor- fakor produksi. Pemilik sumberdaya tanah akan memperoleh sewa tanah, pemilik sumberdaya modal akan memperoleh bunga, pemilik tenaga kerja akan memperoleh upah , dan para wirausaha akan memperoleh laba, dengan adanya mekanisme seperti itu tentu saja ada kelompok anggota masyarakat yang karena kondisi asalnya hanya akan memiliki sebagian atau bahkan tidak memiliki faktor-faktor produksi sama sekali. Hal yang demikian menimbulkan suatu kesenjangan ditengah-tengah masyarakat kita.Oleh karena distribusi pendapatan mengandung unsur publik maka pemerintahlah yang harus tampil untuk mengatasi ketidakmerataan pembagian pendapatan. Misi pemerataan pendapatan yang diemban pemerintah tersebut dilaksanakan melalui sisi penerimaan, terutama pajak yang dapat menjadi instrumen bagi pemerintah untuk lebih bisa mengadilkan pembagian pendapatan, yaitu melalui pajak penghasilan dengan struktur tarif pogresif. Tarif progresif ini merupakan suatu tariff pajak dimana makin besar pendapatan maka tariff pajak rata-rata ( average tax rate ) maupun tarif  pajak marginal ( marginal tax rate ) nya meningkat. Pengenan tar if pajak progresif ini memungkinkan jarak antara pendapatan kelompok berpenghasilan rendah dengan yang berpenghasilan tinggi menjadi lebih sempit. Sisis pengeluaran dari anggaran juga dapat menjadi instrumen dalam pembagian kembali pendapatan, yaitu melalui program pembayaran transfer atau subsidi.
Fungsi alokasi yaitu mengatur alokasi faktor-faktor produksi dalam menghasilkan barang  publik dan privat. Seperti diketahui bahwa masyarakat membutuhkan baik barang private dan barang publik. Selain dalam rangka penyediaan barang publik, sumberdaya nasional juga harus dialokasikan ke sektor publik karena perlunya peranan pemerintah didalam mengatasi kegagalan meknisme pasar. Pengertian fungsi alokasi itu sendiri adalah mengalokasikan sebagian sumberdaya dalam rangka menghasilkan barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan konsumen yang dalam hal ini adalah masyarakat indonesia. Dengan adanya konsep Desentralisasi Fiskal maka fungsi alokasi ini seharusnya bisa memberikan ruang yang cukup luas dalam berbagai macam alokasi-alokasi terutama pada berbagaimacam sumberdaya serta pajak kepada daerah, sehingga proses distribusinya berjalan secara adil dan merata yang nantinya dalam jangka panjang akan mengakibatkan keadaan yang merata sesuai dengan apa yang dicita-citakan bangsa ini, ketidak merataan yang disebAnggaran Berbasis Kinerjaan karena ketimpangan kepemilikan sumberdaya tidak akan dirugikan karena dalam desentralisasi ini keikutsertaan pemerintah tidak 100% hilang namun masih ada sedikit campur tangan dari pemerintah dalam mengatasi hal ini, sehingga daerah yang banyak terdapat sumberdaya dan pajaknya tidak merasa dirugikan karena alokasi serta distribusi penghasilan yang tidak adil, lebih banyak tersentralisasi daripada terdesentralisasi, dan daerah yang sedikit memiliki sumberdaya tidak akan merasa kekuarangan karena distribusi dalam desentralisasi fiskal yang sesuai.
Sedangkan fungsi stabilitas yaitu untuk menjamin tingkat pertumbuhan, mempertahankan stabilisasi harga, kesempatan kerja dan kurs. Pada negara maju kebijakan fiskal bertujuan untuk stabilitas laju pertumbuhan sedangkan pada negara berkembang lebih kepada pembentukan modal.         
            Ketika perekonomian lesu maka pemerintah dapat menanggulanginya melalui kebijakan fiskal. Mekanisme tersebut dilaksanakan melalui kebijakan menaikan pengeluaran pemerintah dan mengurangi pajak. Peningkatan pengeluaran pemerintah dapat berupa peningkatan bantuan maupun pengeluaran lainnya yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam kebijakan fiskal terkandung anggapan bahwa rumahtangga negara(pemerintah) tidak dapat disamakan dengan individu dan pengaruh tindakannya masing-masing terhadap keseluruhan masyarakat.[2] Individu ketika penghasilannya menurun tindakan yang diambil biasanya adalah mengurangi pengeluaran, sedangkan pemerintah ketika penerimaan menurun maka kebijakan yang diambil tidak harus mengurangi pengeluaran karena tindakan mgurangi pengeluaran dapat berdampak pada berkurangnya pendapatan masyarakat sebagi pembayar pajak. Hal tersebut justru akan menyebAnggaran Berbasis Kinerjaan penerimaan negara makin berkurang karena  kecilnya jumlah pajak yang diterima dari masyarakat.
Selain meningkatkan pengeluaran pemerintah maka dapat dilakukan juga penurunan tarif  pajak. Penurunan tarif pajak akan berimplikasi langsung pada kenaikan pendapatan real masyarakat. Sehingga peningkatan pengeluaran pemerintah maupun penurunan pajak akan berdampak kepada meningkatnya permintaan barang dan jasa. Permintaan barang dan jasa yan meningkat akan menyebAnggaran Berbasis Kinerjaan produksi meningkat. Pada tahap ini berlaku teori “supply and demand”. Hal tersebut berdampak pada peningkatan ekonomi yang akan berdampak pula pada peningkatan ekonomi masyarakat. Sebab semakin meningkat kegiatan ekonomi berarti akan meningkat pula kesejahteraan masyarakat. Sebab kesejahteraan masyarakat berada dapat dicapai dengan kegiatan ekonomi yang berimplikasi pada pendapatan masyarakat.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal yang digencar-gencarkan oleh pemerintah mengharuskan pemerintah daerah memiliki kesiapan dan inovasi dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang terkait. Pemerintah daerah memiliki hak dan wewenang untuk mengatur pendapatan dan pengeluarannya tetapi harus berada dalam koridor aturan nasional yang berlaku. Pemerintah pusat akhir-akhir ini telah menerapkan sebuah sistem yang mengatur agar efektifitas dan efidiensi anggaran tercapai melalui sebuah sistem yang disebut anggaran berbasis kinerja. Proses penyusunan dan sasaran yang ingin dicapai dari sistem anggaran berbasis kinerja menggambarkan adanya peluang bagi daerah untuk mengembangkan visi dan misi serta mewujudkan keinginan dan harapan masyarakat sesuai dengan potensi yang dimiliki daerah yang bersangkutan.[3] Hal tersebut menjadi bentuk desentralisasi fiskal.
Sebelum berlakunya sistem Anggaran Berbasis Kinerja, metode penganggaran yang digunakan adalah metoda tradisional atau item line budget. Cara penyusunan anggaran ini tidak didasarkan pada analisa rangkaian kegiatan yang harus dihubungkan dengan tujuan yang telah ditentukan, namun lebih dititikberatkan pada kebutuhan untuk belanja/pengeluaran dan sistem pertanggung jawabannya tidak diperiksa dan diteliti apakah dana tersebut telah digunakan secara efektif dan efisien atau tidak. Tolok ukur keberhasilan hanya ditunjukkan dengan adanya keseimbangan anggaran antara pendapatan dan belanja namun jika anggaran tersebut defisit atau surplus berarti pelaksanaan anggaran tersebut gagal. Dalam perkembangannya, muncullah sistematika anggaran kinerja yang diartikan sebagai suatu bentuk anggaran yang sumber-sumbernya dihubungkan dengan hasil dari pelayanan.
Anggaran Berbasis Kinerja
Anggaran berbasis kinerja  adalah sistem yang menekankan pada keterkaitan antara pendanaan dengan hasil-hasil yang dicapai. Anggaran berbasis kinerja disusun berdasarkan UU No 17 tahun 2003 pasal 19 ayat 1. Dengan membangun suatu sistem penganggaran yang dapat memadukan perencanaan kinerja dengan anggaran tahunan akan terlihat adanya keterkaitan antara dana yang tersedia dengan hasil yang diharapakan.[4] 
Anggaran berbasis Kinerja:
1. Anggaran disusun berdasarkan pertimbangan anggaran kerja dan unit cost setiap kegiatan.
2. Menitik beratkan pada aspek manajemen  stategis dalam rangka efektifitas dan efisiensi  yang dihasilkan dari input tertentu.
3. Orientasi tidak hanya output  tetapi juga outcomes, benefit dan dampak.
4. Tujuan telah ditetapkan lebih dahulu.
            Untuk mengukur efektifitas kerja  suatu organisasi perlu dilakukan pengukuran atas pencapaian pelaksanaan kegiatan/program dan kebijakan yang dilaksanakan.  Indikator pengukuran kinerja:
1. Pengukuran kinerja berbasis Penilaian kemajuan organisasi
Dilakukan melalui tujuan yang telah ditetapkan, visi , misi dan program serta kebijakan organisasi. Penentuan visi, misi, tujuan, sasaran, dan target merupakan tahap pertama yang harus ditetapkan suatu organisasi dan menjadi tujuan tertinggi yang hendak dicapai sehingga setiap indikator kinerja harus dikaitkan dengan komponen tersebut. Oleh karena itu, penentuan komponen-komponen tidak hanya ditentukan oleh pemerintah tetapi juga mengikutsertakan masyarakat sehingga dapat diperoleh informasi mengenai kebutuhan publik.
2. Pengukuran kinerja berbasis anggaran.
            Pengukuran dilakukan melalui penilaian selisih antara anggaran dengan realisasinya. Teknik tersebut dikenal dengan analisis selisih anggaran(analysis of budget variance). Jika selisih terjadi menunjukkan aktual yang lebih kecil daripada jumlah pengeluaran yang ditetapkan dalam anggaran (underspending) maka berarti kinerja sebuah satuan kerja adalah baik. Jika dalam pelaksanaan anggaran mengalami perubahan maka yang dijadikan tolak ukur adalah anggaran setelah mengalami perubahan(Mahsun ,2006). Contohnya adalah dalam menganalisa anggaran berbasis kinerja pada sebuah dinas pendidikan. Maka aspek yang dilihat adalah indikator kinerja dan indikator pencapaian organisasi.
            Dengan pengertian Anggaran berbasis kinerja tersebut maka  setiap alokasi dana harus dapat diukur dari input yang ditetapkan. Untuk menghasilkan penyelenggaraan Anggaran Daerah yang efektif dan efisien, tahap persiapan/perencanaan anggaran merupakan salah satu faktor penting dan menentukan dalam keseluruhan siklus anggaran. Prinsip anggaran berbasis kinerja adalah pertama, transparansi yang merupakan keterbukaan dalam proses perencanaan, penyusunan, pelaksanaan dan pelaporan evaluasi anggaran, kedua, akuntabilitas yang merupakan pertanggungjawaban pada masyarakat, dan ketiga, ekonomis, efektif dan efisien yaitu pemilihan dan penggunaan sumber daya yang murah, penggunaan dana masyarakat yang efisien dan dapat mencapai target / tujuan pelayanan publik.
Untuk dapat menyusun Anggaran Berbasis Kinerja terlebih dahulu harus disusun perencanaan strategik (Renstra). Penyusunan Renstra dilakukan secara obyektif dan melibatkan seluruh komponen yang ada di dalam pemerintahan dan masyarakat. Agar sistem dapat berjalan dengan baik perlu ditetapkan beberapa hal yang sangat menentukan yaitu standar harga, tolok ukur kinerja dan Standar Pelayanan Minimal yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundangundangan. Pengukuran kinerja (tolok ukur) digunakan untuk menilai keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan kegiatan/program/kebijakan sesuai dengan sasaran dan tugas yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan misi pemerintah daerah. Salah satu aspek yang diukur dalam penilaian kinerja pemerintah daerah adalah aspek keuangan berupa ANGGARAN BERBASIS KINERJA. Untuk melakukan suatu pengukuran kinerja perlu ditetapkan indikator-indikator terlebih dahulu antara lain indikator masukan (input) berupa dana, sumber daya manusia dan metode kerja. Agar input dapat diinformasikan dengan akurat dalam suatu anggaran, maka perlu dilakukan penilaian terhadap kewajarannya. Dalam menilai kewajaran input dengan keluaran (output) yang dihasilkan, peran Analisa Standar Biaya (ASB) sangat diperlukan. ASB adalah penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya yang digunakan untuk melaksanakan suatu kegiatan.
Anggaran yang disusun dengan pendekatan kinerja dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (output) dari perencanaan alokasi biaya (input) yang ditetapkan
2. Output (keluaran) menunjukkan produk (barang atau jasa) yang dihasilkan dari program atau kegiatan sesuai dengan masukan (input) yang digunakan
3. Input (masukan) adalah besarnya sumber dana, sumber daya manusia, material, waktu, dan teknologi yang digunakan untuk melaksanakan program atau kegiatan sesuai dengan masukan (input) yang digunakan
4. Kinerja ditunjukkan oleh hubungan antara input (masukan) dengan output (keluaran).
Dalam makalah ini, penulis mencontohkan secara sederhana anggaran berbasis kinerja  pada dinas pendidikan. Indikator kinerja berdasarkan PP no 6 tahun 2008 yaitu :
1. Angka Melek huruf.
Adalah proporsi penduduk berusia 15 tahun keatas.
2. Angka Partisipasi Kasar
Perbandingan jumlah siswa pada tingkat SD/SMP/SMA dibagi jumlah penduduk berusia 7-18 tahun.
3. Angka Partisipasi Murni
Perbandingan penduduk berusia 7-18 tahun yang terdaftar sekolah pada tingkat pendidikan SD/SMP/SMA dibagi jumlah penduduk berusia 7-18 tahun.
4. Angka Partisipasi Sekolah(dasar)
Jumlah murid kelompok usia pendidikan dasar(7-12 dan 13-15 tahun) yang masih menempuh pendidikan dasar per 1000 jumlah penduduk usia pendidikan dasar.
5. Angka Partisipasi Sekolah(Menengah)
Jumlah murid kelompok usia pendidikan dasar(16-18 tahun) yang masih menempuh pendidikan dasar per 1000 jumlah penduduk usia pendidikan menengah.
6. Angka Pendidikan yang ditamatkan
Yaitu menyelesaikan pelajaran pada kelas atau tingkat terakhir sutu jenjang sekolah di sekolah negeri atau swasta dengan mendapatkan surat tanda tamat belajar.
7. Angka rata-rata lama sekolah.
Adalah rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk usia 15 tahun keatas untuk menempuh semua jenis pendidikan formal yang pernah dijalani.
            Sedangkan Aspek pencapapaian organisasi dapat dilihat dari beberapa indikator, yaitu:
1. Realisasi Belanja . Pencapaian yang dibandingkan dengan Anggaran yang disediakan. Ketika pemerintah telah memiliki anggaran yang cukup namun dalam realisasinya tidak mampu menyerap seluruh anggaran berarti ada 2 kemungkinan. Kemungkinan pertama terjadi efisiensi anggaran atau justru ada beberapa program yang tidak terlaksana.
2. Tren penggunaan Anggaran. Penggunaan anggaran yang baik adalah dengan memperhatikan kondisi organisasi dan lingkungan.
            Jadi, antara anggaran yang dialokasikan harus sesuai dengan kinerja yang dihasilkan. Pemerintah harus mampu mengelola agar tujuan dari anggaran tersebut dapat terealisasi dan memberikan dampak/efek tehadap target group. 
Tantangan dan Peluang Implementasi Anggaran Berbasis Kinerja.
Penerapan sistem Anggaran berbasis Kinerja merupakan sebuah peluang bagi pemerintah namun disisi lain dapat menjadi tantangan. Hal itu dikarenakan dengan penerapan sistem anggaran berbasis kinerja berarti pemerintah daerah dapat menyusun arah, kebijakan dan program yang sesuai dengan kondisi masyarakat dan kondisi lingkungan daerah tersebut.  Namun disisi lain , pemerintah harus memiliki perhatian lebih khususnya dalam penampungan aspirasi masyarakat, skala prioritas yang harus tepat dan fungsi pengawasan yang lebih ketat.
Salah satu hal yang harus dipertimbangkan dalam penetapan belanja daerah adalah Analisa Standar Biaya (ASB). Alokasi belanja ke dalam aktivitas untuk menghasilkan output seringkali tanpa disertai alasan dan justifikasi yang kuat. ASB mendorong penetapan biaya dan pengalokasian anggaran kepada setiap aktivitas unit kerja menjadi lebih logis dan mendorong dicapainya efisiensi secara terus-menerus karena adanya pembandingan (benchmarking) biaya per unit setiap output dan diperoleh praktek-praktek terbaik (best practices) dalam desain aktivitas. Dalam rangka penyusunan analisis biaya diperlukan prosedur-prosedur yang dapat menjawab pertanyaan berikut :
   1. Berapa biaya yang harus dibebankan pada suatu pelayanan sehingga dapat menutupi semua biaya yang dikeluarkan untuk menyediakan pelayanan tersebut?
   2. Apakah lebih efektif jika kita mengontrakkan pelayanan kepada pihak luar daripada melaksanakannya sendiri?
   3. Jika kita meningkatkan/menurunkan volume pelayanan, apa pengaruhnya pada biaya yang akan kita keluarkan? Biaya apa yang akan berubah dan berapa banyak perubahannya?
   4. Biaya pelayanan apa yang harus dibayar tahun ini bila dibanding dengan tahun selanjutnya?
Perhitungan ASB tidak dapat distandarisasi antara propinsi/kabupaten/kota dengan propinsi/kabupaten/kota lainnya karena standarisasi harga antara suatu tempat dengan tempat lainnya dapat berbeda. Misalnya harga obat di Jawa Barat dengan Papua sangat berbeda. Demikian juga, tarif perjalanan dinas, honor-honor dll dapat berbeda antara Jawa Barat dan Papua. Secara ringkas dari uraian tersebut di atas, pada dasarnya menjelaskan bahwa anggaran berbasis kinerja disusun harus ada keterkaitan tahapan secara menyeluruh. Oleh karena tidak dapat distandarisasikan tersebut maka hal itu bisa menjadi tantangan bagi pemerintah daerah sebab jika tidak dapat perhatian khusus maka hal ini bisa menjadi sumber terjadinya KKN.
Manfaat ASB diantaranya adalah 1. Dapat menentukan kewajaran biaya untuk melaksanakan suatu kegiatan sesuai dengan Tupoksinya 2. Meminimalasi terjadinya pengeluaran yang kurang jelas yang menyebabkan inefisiensi anggaran 3. Menghindari tumpang tindih (overlapping) antara pengeluaran rutin dan pembangunan. 4. Penentuan anggaran berdasarkan tolok ukur kinerja yang jelas. 5. Unit kerja mendapat keleluasaan yang lebih besar untuk menentukan anggarannya sendiri.
Selain tantangan dalam analisa standar biaya , pemerintah daerah juga dihadapi dengan tantangan lainnya yaitu dalam proses untuk memperoleh informasi mengenai aspirasi dan kebutuhan masyarakat suatu daerah sebagai bahan masukan dalam proses penyusunan anggaran daerah guna menjamin agar arah dan kebijakan umum APBD sesuai dengan aspirasi murni (kebutuhan dan keinginan riil) masyarakat dan bukan aspirasi politik. Hal itu dilakukan dengan menggali informasi, mendeskripsikan, dan memaparkan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Pemerintah daerah seharusnya mempu merubah tantangan tersebut menjadi sebuah peluang untuk dapat memperoleh hasil yang maksimal dari sistem anggaran berbasis kinerja tersebut.

Kesimpulan
Anggaran berbasis kinerja merupakan anggaran yang penyusunannya menggunakan pendekatan “bottom-up budgeting”. Anggaran merupakan komitmen antara pimpinan dengan pelaksana. Dengan demikian, anggaran berbasis kinerja ini dapat memacu pelaksana untuk beraktivitas secara optimal dan atau berperilaku sebagaimana yang diharapkan. Proses perencanaan anggaran dalam sistem anggaran berbasis kinerja dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu penjaringan aspirasi masyarakat dan perencanaan strategis. Sistem anggaran baru memberikan desentralisasi urusan anggaran daerah dan menggunakan pendekatan manajemen yang terpadu. Sistem anggaran ini memungkinkan semua unsur dalam sistem kemasyarakatan di daerah terlibat dalam menentukan arah pembangunan sehingga pembangunan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan riil masyarakat serta terintegrasi antarpihak terkait.
Sistem anggaran berbasis kinerja dan otonomi daerah menuntut Pemda kreatif untuk menggali dan memanfaatkan potensi daerah secara optimal untuk kemajuan daerah. Perencanaan strategis juga memungkinkan Pemda menegakkan akuntabilitas (pengukuran kinerja), pelaksanaan rencana, pemantauan pelaksanaan, dan penyediaan umpan balik untuk masyarakat sehingga ada perubahan yang positif di berbagai bidang secara terus-menerus.
Kesulitan lain dalam pengukuran kinerja adalah kesulitan dalam memastikan hubungan antara input dan output. Di pihak lain penentuan ukuran kinerja merupakan hal penting sebagai alat motivator. Contoh, salah satu akuntabilitas kinerja instansi pemerintah adalah akuntabilitas progam. Fokus kinerja akuntabilitas progam adalah pada pencapaian hasil kegiatan instansi apakah sudah memberikan kepuasan/kenyamanan kepada pelanggan (customer) dan stakeholders serta memberikan dampak positif kepada kemajuan masyarakat. Alat ukur untuk kinerja ini sangat kompleks sehingga dibutuhkan ketelitian pemerintah daerah dalam membuat dan mengawasinya.

Daftar Pustaka

Ahmeth. 2010 .  Kebijakan Fiskal. Diunduh pada http://adie-wongindonesia.blogspot.com /2010 /02/kebijakan-fiskal.html' tanggal 5 Juni 2010, jam 20.00 WIB.
Ajeng. 2007. Korupsi Sebuah Endemik Bangsa yang besar ini. Diunduh pada "http://ajeng-tita.blog.friendster.com/2006/11/untuk-dipikirkan-bersama/"> tanggal 5 Juni 2010, jam 20.00 WIB.
Basuki. 2007. “Pengelolaan Keuangan Daerah”. Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Brata, Atep Adya dan Trihartanto dan Bambang. 2004. ”Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah”. Jakarta: Alex Media Kompotindo.
Durachman. 2005.  Analisis Proses Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja Di Dinas Kesehatan Provinsi Jambi. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gajahmada.  Tidak Diterbitkan
Fatimah. 2009. Analisiss kebijakan Belanja dan kinerja pelayanan dinas pendidikan dan kesehatan kota Payakumbuh. Tesis . Program Pasca Sarjana Unand. Tidak diterbitkan.
Subiyantoro, Heru dan Riphat Singgih. 2004. “Kebijakan fiskal. Pemikiran , konsep dan implementasi.” Jakarta : Kompas Media. 2004.
Soedibyo, Bambang .2001. Stabilisasi dan harmonisasi perekonomian Indonesia. Kompas, jumat 8 juni 2001 hal 4. Diunduh pada “http://kompas.com/ Stabilisasi dan harmonisasi perekonomian Indonesia” ,tanggal 5 Juni 2010, jam 20.00 WIB
Yenida. 2007. Analisis pengaruh desentralisasi fiskal terhadap belanja pelayanan daerah di Kabupaten/kota Propinsi Sumatera Barat. Tesis. Program Pasca Sarjana UNAND. Tidak diterbitkan.
Waluyo, Joko.  2007. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dan Ketimpangan Pendapatan Antardaerah Di Indonesia. Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional  Yogyakarta. Tidak diterbitkan.
Ahmad, Afridian.  2008. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Outcomes Bidang Kesehatan: Studi Empiris di Kabupaten/Kota Propinsi Sumatera Barat. Tesis. Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Padang. Tidak diterbitkan.
Pemerintah Gorontalo. 2009. Anggaran Berbasis Kinerja (Bagian II - Akhir). Diunduh pada "http://dppkad.gorontalokab. go.id/images/gorontalo.ico" /> tanggal 5 Juni 2010, jam 20.00 WIB



[1] Subdiyanto, Heru dan Riphat, Singggit.  2004. Kebijakan fiskal. Pemikiran , konsep dan implementasi.” Jakarta : Kompas Media. Hal:56
[2] Brata, Atep Adya dan Trihartanto dan Bambang. 2004. ”Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah”. Jakarta: Alex Media Kompotindo. Hal : 19.
[3] Bambang Suprasto H. 2006. Buletin Studi Ekonomi . “Peluang Dan Tantangan Implementasi Anggaran Berbasis Kinerja.” Volume 11 Nomor 3 Tahun 2006.
[4] Tesis. Fatimah. 2009. Analisiss kebijakan Belanja dan kinerja pelayanan dinas pendidikan dan kesehatan kota Payakumbuh. Program Pasca Sarjana UNAND.

0 komentar:

Posting Komentar

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com