Sabtu, 09 Maret 2013

Apa Yang Pernah Terjadi Pada Implementasi Kebijakan? Sebuah Pendekatan Alternatif , Peter deLeon dan Linda deLeon

Dalam sejarah administrasi publik Harold Laswell melontarkan konsep ilmu kebijakan dan pemakaiannya pada proses kebijakan. Dia yang memasukkan istilah tersebut menjadi kosa kata kebijakan publik walaupun bukan dia orang pertama yang menekankan pentingnya implementasi kebijakan. Sejak saat itu, implementasi kebijakan menjadi satu bidang kajian kesarjanaan . Pada awalnya kajian ini hanya berupa pengenalan praktis tetapi seiring perkembangan kajian ini menjadi semakin rumit dan hampir semua bidang terdekat telah dimasukinya atau terkooptasi dengan kajian implementasi ini misalnya Manajement Publik (Linn 1996) atau bertransmografi menjadi bidang studi yang spesifik secara fungsional contoh  kajian kebijakan kesejahteraan. Makalah ini mengkaji perkembangan implementasi kebijakan , kesesuaian antara teori dan definisi dengan beberapa pernyataan publik.


Perkembangan Implementasi Kebijakan: Generasi Ketiga Riset Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan sedikit terbengkalai sejak gagasan pertama Lasswell pada tahun 1950-an hingga awal tahun 1970-an. Brewer dan P. deLeon (1983) berspekulasi bahwa hal itu terjadi karena persepsi bahwa implementasi merupakan kajian yang sangat sulit untuk dipelajari sebab penyelenggara bertindak di luar wewenangnya sendiri tanpa menginformasikan pada pembuat kebijakan atau sebaliknya asumsi bahwa penyelenggara secara otomatis melaksanakan kebijakan apapun yang mereka terima. Kenyataan yang terjadi bahwa kegagalan Presiden Johnson melawan kemiskinan merupakan suatu bukti bahwa  perhatian partisipan pemerintah dan perhitungan analis kebijakan kurang memadai…..”(dikutip dari Brewer dan P. deLeon 1983, 249). Erwin Hargrove (1975) mengakui permasalahan yang sama dan dalam suatu penjelasan kiasan, yang menyebutkan kajian implementasi sebagai mata rantai yang terputus.
Generasi pertama kajian implementasi selalu terdiri dari analisa-analisa studi kasus yang dianggap muara permasalahan yang meletakkan defenisi antara kebijakan dengan pelaksanaannya tetapi  sedikit mengenai teori implementasi umum. Jeffrey Pressman dan Aaron Wildavsky menjelaskan secara luas bidang implementasi kebijakan dalam penerapan isinya. Dalam berbagai hal, implementasi kebijakan terlihat seolah-olah  dua kelompok dan bahkan sering saling berseberangan satu sama lain misalnya yang satu mengoreksi yang lain padahal mereka melakukan hal yang sama (misalnya, Allisn 1971).
Generasi kedua lebih bagus lagi dan teori yang dibangun seperti Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier (1983), Robert Nakamura dan Frank Smallwood (1980), dan pandangan luas Paul Berman (1980) mampu membawa pandangan empirisnya dan mengajukan serangkaian hipotesa arah kelembagaan dan komitmen yang mengasumsikan arah perintah dan kendali atau apa yang diketahui sebagai pandangan top-down. Dalam hal ini mereka membawa ahli empiris melihat implementasi kebijakan, mencurahkan diri untuk menemukan cara terbaik mengerakkan proposal kebijakan ke arah kesuksesan.  Model pengajuan  mereka lebih sering diabaikan sebab dianggap sebagai hasil ruwetnya masalah seperti halnya observasi Peter Deleon  . Pada generasi kedua ini mulai menjelaskan bahwa implementasi terjadi hanya ketika semua yang mempunyai pengaruh aktif terlibat di dalam perencanaan dan pelaksanaan program. Konsekuensinya, mereka mulai mengusulkan  bahwa perlunya implementasi menjadi suatu bagian dan bidang perhitungan rumusan kebijakan. Dalam pengertian ini, mereka setuju dengan Brinton Milward (1980,247) yang berpendapat bahwa jika riset kebijakan ingin meningkatkan prospek bagi suksesnya kebijakan, mereka harus memfokuskan riset mereka pada hubungan antara pengaturan jadwal dan implementasi.
Malcolm L.Goggin dan koleganya (1990) mengusulkan generasi ketiga kajian implementasi kebijakan pada  teori dan praktek implementasi. Mereka melihat dan menjelaskan kenapa perilaku berubah sepanjang waktu, sepanjang kebijakan dan sepanjang satuan-satuan pemerintah serta perkiraan bentuk perilaku implementasi yang mungkin terjadi selanjutnya. Boleh dikatakan tujuan dari riset generasi ketiga adalah agar menjadi lebih ilmiah. Pengetahuan lengkap mengenai keruwetan implementasi pelaksana, penulis mengajukan sejumlah hipotesa yang siap diuji (konsep teori permainan atau teori azas pelaksanaan) tetapi harapan-harapan terombang ambing dalam ketidak pastian. Sebagai contoh: hipotesa 12 negara bagian, negara bagian yang terbesar, pelaksana legimitimasi, kredibilitas serta kapabilitas memajukan minat pada azas-azas, dan sedikit menjelaskan istilah-istilah dan kalibrasi pengukuran.
Pada waktu yang sama, ilmuwan implementasi mulai mengajukan teori kemungkinan sebagai cara penyesuaian dengan ruwetnya kajian implementasi terdahulu. Dari pada membuat sebuah penerapan untuk semua, ilmuwan-ilmuwan seperti  Richard matland (1995), Helen Ingram (1990) dan Denise Scheberle (1997) yang menyarankan bahwa kondisi berbeda memerlukan strategi implementasi yang berbeda pula. Observasi terpenting lainnya dikumpulkan dari teori Matland dan teori kemungkinan yang tidak memiliki satupun strategi implementasi terbaiknya, strategi yang sesuai lebih kontekstual dalam istilah apa yang menjadi kemungkinan dan bagaimana mereka bisa dibahas didalam kasus implementasi.
Peter Deleon mengirimkan tulisannya pada pertemuan tahunan asosiasi ilmuwan politik Amerika (Absa) pada tahun 1997, yang berjudul “revisi mata rantai yang terputus: riset implementasi kontemporer”. (deLeon 1999a). Di dalam tulisan ini ia mengkaji ulang beberapa literatur kebijakan yang memfokuskan diri pada aturan dan pengaruh implementasi kebijakan dari awal tahun 1970-an dan menyimpulkan semua usaha mengembangkan cara-cara teori operasional implementasi. Dia mengklem bahwa “Kajian implementasi kebijakan telah mencapai pemikiran yang matang” (hal 313). Observasi Deleon benar-enar mengaburkan atau disebut juga pandangan yang benar-benar orisinil; Helen Ingram (1990, hal. 462) telah banyak meraih kesimpulan yang sama pada awal tahun 1990-an yang mana dia menulis “Meski meningkatnya jumlah pemerhati kajian implementasi, telah memperbanyak hingga 18 penjelasan implementasi kebijakan, tapi implementasi bidang tersebut belum mencapai konsep yang benar-benar jelas” (lihat juga Garrett 1993; Matland 1995). Namun, gegap gempita pengetahuan tentang hal ini meluas. Bulan Februari berikutnya James Lester  mengepalai sebuah diskusi ilmuwan-ilmuwan implementasi kebijakan pada asosiasi ilmuwan politik barat yang mana (setidak-tidaknya) dirancang untuk membahas tesis yang dikirimkan ke ABSA oleh deLeon seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Tetapi tak satupun konsensus bisa diraih, sebaliknya hal ini hanya menampilkan harapan-harapan.
Perkembangan yang terjadi terhadap kajian implementasi memberikan beberapa kesimpulan, diantaranya : Pertama, hubungan literatur yang baru saja membahas implementasi kebijakan, kadang-kadang diberi judul kadang-kadang tidak, yang seperti itu yang menjadi batasan dari kajian implementasi menjadi kurang jelas. Kedua, rumitnya setiap implementasi yang diterima penulis yang menjadi bagian dari porses-proses, teori kemungkinan (Matland 1995; Ingram 1990) boleh jadi ditujukan sebagai salah satu alat penjelasan yang mungkin. Dan yang ketiga, tema utama tentang lemahnya teori konsensus implementasi yang telah menjelaskan beberapa alternatif-alternatif atau pilihan-pilihan sebagai penentang harapan-harapan atau kesempatan-kesempatan yang  telah di perbaharui.

ASUMSI DAN DEFENISI
            Kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan implementasi kebijakan, dan apa hubungan implementasi dengan langkah-langkah dari proses kebijakan terutama rumusan kebijakan dan evaluasi program serta mempelajari asumsi-asumsi dasar yang melandasi perbedaan mode analisis implementasi.
Mazmanian dan Sabatier (1983 hal 20-21) menjelaskan mengenai implementasi sebagai berikut:” Implementasi melaksanakan keputusan kebijakan dasar, biasanya tergabung di dalam sebuah undang-undang tetapi bisa juga diambil dari perintah eksekutif atau mahkamah keputusan. Idealnya, keputusan tersebut mengidentifikasi permasalahan-permasalahan menjadi pembahasan, menetapkan tujuan-tujuan yang dicapai, dan dalam berbagai cara proses implementasi. Normalnya proses tersebut berjalan dengan sejumlah langkah yang berawal dengan menempuh aturan-aturan dasar, diikuti oleh output kebijakan (keputusan) pembawa implementasi, pencapaian target dengan semua keputusan-keputusan, pengaruh keputusan yang diambil, serta akhirnya revisi di dalam aturan-aturan dasar setidak-tidaknya berusaha merevisi.
Defenisi seperti itu (Lihat juga Bardach 1977 dan 1980) berusaha menangkap semua wilayah aktifitas implementasi dan di dalam pengertian itu, berusaha merangkul lebih banyak permasalahan-permasalahan yang melemahkan. Sebagai contoh Meier dan Mcfarlane (1995) menguji model Mazmanian dan Sabatier dengan serentetan tolak ukur dan menemukan bahwa beberapa hubungan yang ditujukan signifikan secara statistik tetapi mereka memaksakan kesimpulan yaitu Opersionalisasi beberapa variabel-variabel bebas yang bermasalah dan  beberapa tolak ukur masih sederhana, dan terdapat jarak antara tolak ukur yang dipilih dengan konsep-konsep yang dimasukkan di dalam variabel-variabel aturan tersebut.
Penjelasan yang memuaskan mestinya dibuat untuk menyerderhanakan landasan konsep implementasi. Sebagai contoh penjelasan Ferman (1990) menjelaskan bahwa implementasi adalah apa yang terjadi antar harapan kebijakan dengan aset kebijakan yang dirasakan. O’Toole (2000, hal 266) mengambil lampiran yang sama ketika dia menulis bahwa “Implementasi kebijakan adalah apa yang dibuat di antara pembuatan tujuan yang jelas yang merupakan bagian dari pemerintah melakukan sesuatu atau berhenti melakukan sesuatu, dengan pengaruhnya di lapangan”.
Asumsi yang sangat penting dalam implementasi adalah pembuat kebijakan bisa satu orang atau lebih ketika ia mengoperasionalkan kebijakan, pada dasarnya ketika banyak eksekutif terlibat maka implementasi menjadi komplikasi dalam menentukan pembacaan perintah yang benar dan pelaksanaan yang akurat. Jika tidak memenuhi kriteria ini, sudah tentu implementasi menjadi  hal yang kacau balau. Krisis angkatan bersenjata Kuba pada tahun 1962, ketika Presiden Jhon F Kennedi dan sekretaris pertahanan Robert Mc Namara memerintahkan angkatan laut mengisolasi Kuba pada jarak tertentu dari pulau, angkatan laut tersebut memerintahkan kesatauan (tanpa memberitahu presiden) memperluas jarak tersebut, diketahui bahwa jarak yang dekat akan memperlihatkan kapal angkatan laut terhadap angkatan udara Kuba (lihat Allson 1971). Singkatnya kedua sisi setuju mengisolasi (apa yang Mazmanian dan Sabatier [1983] sebutkan dengan istilah mandat kebijakan) tetapi mereka memiliki motivasi yang berbeda ketika melaksanakan implementasi perintah tersebut, dari sini akhirnya tidak efektif. Ketidakjelasan perintah tersebut menjadi kekacauan dalam implementasinya.
Kebanyakan ilmuwan implementasi setuju dengan pentingnya evaluasi program sebagai kunci menjadi implementasi yang baik (Mazmanian dan Sabatier 1983; Browne dan Wildavsky 1984), mereka melihat evaluasi sebagai suatu cara menilai program implementasi dan membuat usulan-usulan bagaimana implementasi bisa ditingkatkan. Implementasi kebijakan sering diperluas dalam kerangka proses kebijakan, sebagaimana ilmuwan-ilmuwan cenderung memasukkan rumusan kebijakan ke dalam bidangnya (lihat Nilward quotation, pada bagian terdahulu). Mereka memperbaiki masalah implementasi dengan membahas asal usulnya pada permulaan kebijakan.
Sebagai contoh sebuah kebijakan memerlukan suatu strategi adaptasi Berman(1980 ) maka hal ini akan mengharuskan kajian permasalahan terhadap kebijakan yang terjadi. Pergerakan analis implementasi mendekati yang lain-lainnya diistilahkan dengan rancangan kebijakan . Permasalahan dasar rancangan kebijakan adalah memisahkan kebijakan yang belum terjadi yang merupakan suatu kemampuan meramal kemungkinan masa depan . Ekspansi ini benar-benar mulai menunjukkan bagaimana langkah proses kebijakan muncul, untuk dimengerti oleh seseorang. Akumulasi ketidakpastian di dalam masing-masing tahapan dan bagaimana mereka membayangkan implementasi kebijakan juga menyajikan bagaimana sebuah teori implementasi .
Dalam kajian ini ada 2 asumsi dasar mengenai keberhasilan implementasi yaitu pelaksana dan program-program yang berkemungkinan gagal. Keberadaan seseorang yang berwenang menjadi salah satu perhatian khusus, oleh karena itu perlu meminimalisasi kesalahan komunikasi antara orang atasan dengan bawahan. Dalam implementasi , program-program yang pernah gagal harus mendapat  perhatian khusus agar tidak terjadi untuk kedua kalinya. Kesimpulan : implementasi kebijakan top down cenderung terlalu diharapkan, ketika dalam menghadapi kerumitan tidak mengecewakan. Sangatlah mungkin beberapa sifat teori partisipasi akan menuntutnya sebagai sebuah kenyataan. Kecenderungan ini tidak sama dengan kenyataan implementasi bottom-up.  Alasannya ialah implementasi merupakan refleksi dari ketertarikan umum. Memiliki kebijakan yang ditentukan oleh pembuat kebijakan yang diawasi oleh kelompok tertentu, singkatnya klien potensial mengajukan kebijakan yang secara langsung memepengaruhi mereka, implementasi kebijakan bottom-up akan cenderung menjadi lebih realistis dalam mempraktekannya, yang mana hal itu memberi kesan bahwa memiliki hubungan kemana mereka akan dan bagaimana mereka memilih. Lebih jauh arah bottom-up akan menjadi pendekatan yang lebih kondusif dan demokratis untuk proses implementasi kebijakan dibandingkan dengan model perintah atau top-down yang memerlukan sebuah diskusi besar dari argumen yang mengkonsep aturan yang tidak berkesinambungan antara satu dengan yang lain, juga orientasi yang lebih demokratis bagi analisis implementasi.

ISU PARTISIPASI PUBLIK
            Dalam delapan tahun terakhir sejumlah kebijakan ilmuwan telah membuat ringkasan pendekatan demokratis analisis kebijakan dimana aturan-aturan memiliki suara yang lebih kuat dibandingkan dengan kebijakan yang akan mempengaruhi mereka.
Memisahkan pendekatan demokrasi dengan implementasi kebijakan secara langsung akan menurunkan arah orientasi top-down dan merupakan ketidak-demokratisan dalam pendekatannya dibandingkan pandangan bottom-up. Matland (1995) berpendapat bahwa wakil terpilih sama representatifnya dengan masyarakat umum jika dibandingkan birokrasi jalanan, yang kemudian menjelaskan dan melaksanakan dalam bentuk pendekatan bottom-up. Sisi ini menjelaskan bahwa pendekatan bottom-up dinilai lebih demokratis dibandingkan pendekatan top-down. Schneider dan Ingram (1997) menekankan bahwa pendukung top-down merupakan jenis yang terbuang jauh dari pandangan masyarakat, sebab Schneider dan Ingram mengartikan bottom-up mampu menggambarkan tentang kebutuhan  dan keinginan warga negara berdasarkan survei-survei dan memfokuskan kelompok-kelompok yang berhubungan. Jarak psikologi antara pembuat kebijakan top-down dengan warga negara cukup besar .
Selanjutnya jika pejabat lokal tidak memberikan perhatian terhadap kebutuhan dan pendapat-pendapat masyarakat, maka mereka bisa saja akan menemukan identitas profesional mereka sendiri sebagai birokrasi jalanan. Biasanya apabila pemerintah tidak sesuai dengan birokrasi jalanan dan birokrasi jalanan terlalu keras terhadap pendapatnya maka polisi biasanya turut turun tangan untuk memasukkan mereka kedalam penjara. Lin (2000) membuat menjelasan bahwa meski kasus meningkat penghuni tahanan masih memiliki suara didalam pemerintahan. Jadi untuk mengatakan birokrasi jalanan tidak responsif terhadap sikap dan kondisi lokal kemudian dipilih mewakili kesalahpahaman yang serius terhadap tanggung jawab profesi mereka. Sama halnya Matland tidak bisa mengimplikasikan bahwa birokrasi jalanan dibuang dari kelompok para administrator yang berada dibirokrasi federal atau badan pembuat undang-undang negara. Berry , Portney, dan Thomson (1993) melalui kajian demokrasi penduduk kota  penduduk Amerika menghilangkan pertikaian itu dan memunculkan bottom-up sebagai pendekatan yang baik dengan pendekatan bentuk demokratis partisipan (Barber 1984).

ANGGUR BEKAS DIDALAM BOTOL YANG BARU: PANDANGAN DIREKTORAT UMUM
Permasalahan legiminasi pemerintahan sebagaimana yang disebut diatas bahwa secara undang-undang hukum tidak bisa mendikte tindakan pemerinatah secara penuh, setiap hukum dan peraturan memerlukan penafsiran. Keputusan tafsiran pemerintah ini mesti memiliki legiminasi didalam demokrasi mesti berasal dari persetujuan yang memerintah.
Teori mengenai sumber legitimisi pemerintah didalam implementasi kebijakan teori top-down dijelaskan melalui pernyataan oleh Mmette Redford (1969 hal 70) mengenai eksploitasi demokrasi: “Model sederhana ini menegaskan bahwa kontrol demokrasi mesti berjalan melalaui satu garis lurus dari perwakilan masyarakat kepada semua yang menjalankan kekuatan didalam pemerintahan yang sama. Garis tersebut berjalan dari masyarakat menuju perwakilannya didalam kompres dan kepresidenan, dan dari sana presiden sebagai kepala pelaksana selanjutnya ke departemen, dan terus ke kantor-kantor, diteruskan ke satuan-satuan yang lebih rendah dan seterusnya hingga ujung pemerintahan.”
Dua dekade sebelum Redford , bidang pemerintahan publik Dwight Waldo telah memaksa keinginan  demokrasi. Pada tahun 1948 dia mempublikasikan petunjuknya yaitu administrasi pemerintahan, sebuah kritikan yang kemudian disebut dengan manajemen pemerintahan, merupakan sebuah pandangan yang menyokong pemisahan pemerintahan dari politik, suatu penekanan terhadap efesiensi, dan mengimport teknik pemerintahan dari bisnis pribadi. Ide Waldo merupakan teori pemerintahan yang diperlukan seperti halnya teori politik, dan penerimaan asumsi undang-undang manajemen pemerintah yang menolak nilai-nilai demokrasi. Seperti halnya Denhardt (1984 hal 6) menulis Waldo melihat otoriter, yang menekankan kepada hirarki, pengendalian displin sebagaimana pembatasan, pengembangan teori pemerintahan demokrasi. Waldo tidak banyak menyokong secara langsung keterlibatan warga negara didalam implementasi program sebagai dukungan terhadap profesionalisme pejabat publik mesti dipercaya pelindungi kebutuhan mereka (1980 hal 78).
Paul H. Appleby (1949; lihat juga Martin 1965) berbeda pendapat denganWaldo, tetapi dia juga menghakimi siapa-siapa yang memisahkan politik dari pemerintahan. Appleby melihat pemerintahan sebagai proses politik yang tidak bisa dilepasakan, pada kedua tingkat kebijakan (menasehati legislatif terhadap pilihan kebijakan) dan juga pada tingkat program (pemakaian diskresi pemerintah didalam proses implementasi). Kontribusi Appleby terhadap analisis diskresi adalah padangannya secara normal, alami dan diinginkan: padangan pekerjaan birokrasi jalanan bekerja mengecek secara serampangan kekekuatan birokrasi.
Bagi ilmuwan kebijakan publik, pendekatan demokrasi langsung menjelaskan suatu penerjemahan atau pendekatan post-positif yang mengistilahkan “Rasionalitas komunikatif”. Habbermas menyajikan strategi yang tidak berkesinambungan yang membahwa isu-isu seperti bagaimana masyarakat sampai kepada perubahan sosial dan mempelajari kebijakan melalaui tulisan-tulisan dan percakapan sosial, seolah-olah bertentangan dengan wakil-wakil yang pembuat kebijakan . Haberman menjelaskan bahwa dunia sosial dan politik menderita akibat distorsi sistem komunikasi . Sistematika distorsi komunikasi Habbermas menyajikan konflik masa lalu antara pemerintah , anggota perwakilan beserta pejabat birokrasi dengan warga negaranya. Hal itu tidak akan mempengaruhi strategi implementasi kebijakan, khususnya pengajuan yang dianut oleh top-down. O’Toole (2000 hal 283) mengobservasi dan menginfestigasi top-down dan bottom-up yang direngkingkan dengan tingkat demokrasi yang berbeda. Dia melanjutkan dengen menegaskan bahwa pencapaian terhadap pendekatan implementasi membangun teori normatif demokrasi yang akan menghasilkan agenda yang memuaskan tetapi hal ini bukanlah kasus yang menarik didalam teori demokrasi yang hingga kini telah diabaikan. Kebanyakan akademisi secara intelektual dilengkapi dengan konsep-konsep sehingga relatif mudah untuk mengkritisi pendekatan yang ada berdasarkan implementasi kebijakan, juga untuk lemahnya substantif ataupun untuk konsep-konsep yang mereka janjikan.

PENDEKATAN DEMOKRATIS TERHADAP IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Demokrasi jauh lebih baik dari pada tidak demokrasi. Pendekatan demokrasi terhadap implementasi kebijakan akan menjangkau  kerangka proses kebijakan dalam memasukkan pertimbangang rumusan kebijakan  seperti menjelaskan tujuan kebijakan dengan membicarakannya  dengan partai-partai yang berpengaruh sebelum kebijakan tersebut diambil oleh pembuat kebijakan.
Pemakaian prinsip-prinsip demokrasi dalam mengimplementasikan teori perlu suatu kesepahaman mengenai kemungkinan memerintahkan sebuah pilihan strategi. Warganegara terlibat di dalam proses-proses pemerintahan (termasuk perwakilan dari partai politik, pembuat kebijakan dan pemerintah) menggunakan berbagai bentuk bahkan dengan pedoman umum yang lebih demokrasi sedikit lebih baik, di antara pilihan-pilihan tersebut. Beberapa matrik kemungkinan diusulkan membantu memperluas ilustrasi, contohnya dengan menggunakan matrik keraguan/konflik Matland (gambar1).



Gambar 1
Matrik konflik-keraguan : proses implementasi kebijakan
KERAGUAN
Rendah
Tinggi
Rendah
Implementasi Pemerintah
Implemetnasi Politik
Tinggi
Implementasi Percobaan
Implementasi Symbolik

Seperti yang telah kita catat di awal, terdapat hari-hari kerja yang penuh dengan prosedur atau kebijakan pemerintahan dan keputusan-keputusan yang mana implementasi dirancang secara mendasar dan disimpulkan tanpa rintahangan. Ukuran dari keraguan dan konflik bisa dikatakan rendah. Singkat kata, inilah pernyataan Matland, implementasi pemerintah, dan saat implementasi tersebut penting di dalam fungsional pemerintahan sehari-hari mereka tidak memperdebatkan. Implementasi di dalam kotak ini merupakan latihan dasar dalam mempraktekan pemerintahan publik secara biasanya dalam kaitan konflik dan keraguan pada tingkat rendah.
Di dalam kotak keraguan rendah/tinggi – apa yang diistilahkan Matland dengan implementasi politik – bisa terjadi ketidaksetujuan pada tujan-tujuan kebijakan. Kemungkinan lain, jika para pemain setuju dengan apa yang terjadi dengan kemajuan (bisa dikatakan pendidikan publik) sangat mungkin terjadi ketidakpastian (cenderung kepada konflik). Sebagai cara terbaik dalam mencapai tujuan-tujuan ini (voucher, bus, piagam sekolah, belajar dirumah, privat dll). Didalam kalimat Matland (1995 hal 163; emphasis in original): “Prinsip pokok dalam implementasi politik adalah bahwa hasil implementasi diputuskan dnegan kekuatan”. Di gelanggang seperti itu, implementasi berbahaya kecuali kalau kompromi bisa dibuat. Arah demokasi ingin menghindari kekerasan apabila mungkin. Di dalam kotak ini tujuan-tujuan yang paling efektif bagi tujuan ini akan mengatasi atau meniadakan apa yang kita jelaskan terdahulu dengan “Gangguan komunikasi  secara sistematis”, yang mana kelompok yang berkuasa sukses mencapai tujuan (sebagai contoh melalui monopoli imformasi teknik atau kewenangan). Dan ini merupakan penyelesaian terbaik pada lingkungan yang tidak komunikatif saat kurangnya komunikasi menjadi pendekatan yang  terus-menerus, jumlah waktu yang terjdai terpakai dengan  mudah diturunkan jika sedikitnya komunikasi itu mengurangi perselisihan yang sebaliknya terjadi selama implementasi berikutnya. Matland berpendapat bahwa orientasi atasan-bawahan adalah yang terbaik mampu menangkap elemen-elemen kekuatan di dalam otak tetapi kita membuktikan bahwa metoda demokrasi menghasilkan hal yang lebih baik, hanya sedikit memperdebatkan keputusan. Ini contoh pilihan Matland didalam kotak ini tidaklah benar-benar mendukung, sebagai pendidikan publik masih terdapat kerancuan.
Didalam kotak konflik keraguan tinggi/rendah (implementasi eksperimen), “hasilnya akan sangat tergantung kepada pelaku-pelaku yang terlibat dan yang paling aktif, prinsip utama yang mempengaruhi jenis implementasi ini adalah “kondisi kontekstual yang mendominasi proses” (Matland 1995 hal 165-166; emphasis in original) sebagai contoh yang baik adalah pembersihan udara pada tahun 1970. Terdapat  ketidakpastian umum (sebagai contoh tujuan, teknologi, dan taktik),  tetapi partisipan nampaknya setuju dengan mereka dengan nilai-nilai kebijakan. Ketika kotak ini secara umum mencapai (cepat atau lambat) suatu solusi implementasi, bagian dari solusi tersebut merupakan sesuatu yang diketahui yang ditampilkan dikotak ini dengan implementasi eksperimen, yang terus-menerus mengoreksi realisasinya dari evaluasi perkembangan. Singkat kata, saat hasil-hasil tersebut dicampur adukkan, suatu konsensus aktivitas tersebut dikenal dengan waktu izin ekperimen dan pembelajaran kebijakan. Matland (1995 hal 167) berpendapat bahwa “penjelasan proses implementasi kebijakan atasan-bawahan lebih unggul terhadap atasan-bawahan didalam menjelaskan kondisi-kondisi pada kategori ini….. model atasan-bawahan menekankan perintah pengendalian serta keseragaman tetapi gagal memasukkan perbedaan yang banyak terjadi didalam implementasi”. Dari sini akan tampak seolah-olah pendekatan demokrasi – yang mana isu-isu keraguan ini jika didiskusikan sebelum diambil – akan menjadi strategi yang lebih cocok terhadap kebijakan yang mengeisi kotak ini.
Kotak terakhir – campuran keraguan tinggi denagn tingkat konflik yang tinggi – merupakan yang paling sulit membahas strategi implementasi. Konflik didalam kongres ini diatas hubungan  yang layak merupakan contoh yang lebih baik, menggabungkan unsur-unsur konstitusi (melibatkan negara dengan gereja) bbeserta ketidakpastian diantara berbagai fraksi-fraksi keagamaan serta penganut-pengan seseorang bisa membayangkan usaha EDA membantu para pekerja di Oakland (Pressman dan Wildavsky 1974) bisa ditempatkan dalam kotan ini.   Contoh ini mengkompromikan kasus pembangkangan yang Matland maksud dengan implementasi simboli,  yang muncul  bagi orang-orang yang tidak banyak berharap disini. Implementasi kebijakan dikotori dengan hubungan sebab akibat ini (sebagai contoh hampir seluruh perang terhadap kemiskinan, model perkotaan ataupun pendukung pembersihan lingkungan).
Linn deLeon (1993 dan 1998) menggunakan kerangka kerja yang sama dengan Matland dalam menjelaskan tipe-tipe yang berbeda dibawah kondisi keraguan serta konflik yang bervariasi, dia berpendapat “ semakin anarkis situasi yang terjadi….. semakin benar bahwa partisipasi menjadi yang paling sesuai menjadi tujuan yang mempertalikan tingkatan organisasi dengan elemn-elemen publik (hal 552; emphasis in original). Situasi yang tidak terstruktur, kondisi-kondisi yang berubah serta respon kebijakan diuji cobakan. Satu-satunya cara ynag berpengaruh yang bisa memonitor situasi ini dan memaksa pengaruh apapun untuk tetap terlibat dan ikut berpartisipasi secara terus-menerus didalam proses ini. Didalam pasangan kotak interaktif ini, demokrasi mesti menjadi lebih meresap dan langsung dirasakan dibandingkan dengan metoda yang lainnya.
Argumen lemah terakhir didalam pendekatan demokrasi adalah begitu banyak kebijakan-kebijakan yang diambil secara tepat – seperti kerangka waktu yang bisa diterima – yang terjadi pada  rezim implementasi saat ini. Kegagalan yang amat sangat dari pemerintahan Reagan (seperti kongres, ia sendiri menjadi pilar yang membangun prwakilan demokrasi) berkonsultasi dengan menteri kesehatan masyarakat.

Kesimpulan
Artikel ini menjadi tema terbaru implementasi kebijakan, menawarkan metode-metode alternatif dalam mempelajari dan mempraktekkan rancangan implementasi. Tetapi sedikit keraguan masih banyak dilakukan khususnya pada pendekatan internal demokrasi. Selanjutnya seperti yang telah kita usulkan, riset implementasi telah mencapai langkah-langkah yang bisa menentukan pilihan berdasarkan kemungkinan-kemungkinan strategi implementasi terdapat kondis-kondisi implementasi dimana pendekatan demokrasi atasan-bawahan  tidak disarankan sama halnya Matland (1995 hal 150) yang menyatakan kritiknya terhadap  analisis  bawahan-atasn, “struktur institusi, sumber-suimber yang tersedia, beserta akses-akses terhadap bidang implementasi mungkin ditentuakan secara terpusat serta substantif bisa mempengaruhi hasil kebijakan” (lihat Sabbatier 1986). Tetapi kita sependapat bahwa identifikasi kemananan nasional, krisis dan kegentingan politik  tidak secara otomatis diidentifikasi sebagai kondisi demokrasi yang mesti disingkirkan : sangat sering otomatis ini diterjemahkan dengan sesuatu yang lumrah. Mungkin juga terdapat kondisi dimana pendekatan demokrasi menjadai strategi yang dominan. Sebagai akibatnya, kita dipaksa untuk memilih seperti berikut: ketika sebuah strategi implementasi kebijakan dirancang, pendekatan demokrasi mesti menjadi pilihan yang dipilih. Implementasi mesti mengikuti prosedur-prosedur demokrasai (didalam praktek demokarasi secara langsung) kecuali analisa memperlihatkan terdapat model-model yang lain (sebagai contoh orientasi atasan-bawahan atau orientasi berdasarkan perintah, implementasi). Didalam teori yang lebih berimbang Borden membuktikan teori implementasi kebijakan dengan praktek mendasari semua ilmuwan-ilmuwan yang bergerak dari proses-proses demokrasi.
Terdapat pertanyaan yang penting yang diajukan dan dijawab sebelum demokrasi diketahui secara luas; keraguan yang sama diperdebbatkan didalam forum analisis kebijakan partisipan (P. deLeon, 1997; Lyen 1999; Weimer 1998). Kita tidak memiliki sumber-sumber isu yang diuji, komitmen politik, tingakt pemerintahan, insetif birokrasi ataupun pusat variabel implementasi lainnya. Apakah yang mungkin dipertanyakan yang menjalankan aturan dari waktu ke waktu? (situasi krisis vs situasi normal) atau pengadilan? Apa ukuran yang diberikan terhadap efesiensi  vs efektivitas, sebagai mana yang ditampilkan oleh pendukung manajemen publik baru? Secara lebih substantif O’Toole dan Montjoy (1984; lihat juga Hall dan O’Toole 2000) telah mengobservasi bahwa implementasi biasanya merupakan suatu aktifitas banyak kelompok, kondis tidak dibahas disini lebih jauh, hal itu menjadi kebodohan dalam mengasumsika bahwa sederana merangkul orang-orang dalam satu ruangan (atau stadion) mendiskusikan rumusan kebijakan dan implementasi yang akan ditemui didalanm sustu pemikiran, sekalipun mereka menganut pemikiran Habbermas. Secara langsung masyarakat bisa dan akan menolak beberapa pengadilan. Setidak-tidaknya, institusi bisa merancang yang akan meningkatkan dan melindungi diskusi sosial (Ortrom 1998). Sangat penting, mengenai penerapan sehari-hari bagaimana sejumlah permasalahan diputuskan? Singkatnya, tidak terdapat kecurigaan adanya magic implementasi. Elemenn-elemen ini dan elemen yang lainnya mendapat keuntungan dari penerapan yang lebih besar tetapi semua itu setara dengan perhatian kita bahwa pendekatan demokrasi terhadap implementasi kebijan mestinya menjadi sebuah fokus utama penceraha implementasi.
Artikel ini mendasari asal usul tabel impelementasi kebijakan, yang mendukung kerangka demokrasi, dengan pemahaman yang akan dilihat sebagai variabel pertimbangan. Hal itu tidak dimasukkan untuk menjadi akhir dari semua atau hanya itu semata, yang dirancang untuk memutuskan semua dilema implementasi. Jika kita pelajari sedikit lagi dari satu dekade yang lalau tentang kajian implementasi kebijakan, kita akan tahu bahwa sebuha ukuran tidak akan pernaha sesuai bagi semuanya dan ketika kita menghadapi kondisi-kondisi tertentu, kita lebih baik mencoba memahami isu-isu khusus dibandingkan kita mengajukan beberapa bentuk dari teori gabungan dari teori yang umum. Kita percaya bahwa pendekatan demokrasi terhadap implementasi kebijakan memerlukan tempat ditabel tersebut.

Apa Yang Pernah Terjadi Pada Implementasi Kebijakan?
Sebuah Pendekatan Alternatif

Peter deLeon dan Linda deLeon
Universitas Kolorado, Denver

0 komentar:

Posting Komentar

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com